Kadang seseorang mengalami dilema antara melaksanakan kewajiban shalat Jumat dan menghindar dari kerumunan karena terjangkit penyakit menular.
M. Mubasysyarum Bih
Kolomnis
Kewajiban shalat Jumat sudah tidak diragukan lagi, berdasarkan banyak dalil dari Al-Qur’an dan al-Hadits. Di beberapa kitab fiqih banyak dijelaskan tentang ancaman dan beratnya dosa meninggalkan Jumat tanpa udzur syar’i (alasan yang diterima syariat).
Namun di sisi lain, agama menganjurkan agar menjaga kesehatan, baik untuk keselamatan individu atau jamaah. Hal tersebut dapat dibuktikan misalnya dengan kesunnahan berobat bagi orang sakit, anjuran menjaga lingkungan yang sehat, kewajiban kolektif belajar ilmu medis, bahkan agama mewajibkan kepada pemerintah untuk membantu biaya berobat orang sakit yang tidak mampu dalam kondisi kas negara memadai. Bila tidak memungkinkan pembiayaan dari kas negara, kewajiban tersebut dibebankan kepada orang Muslim yang kaya (mayasir al-muslimin).
Menjadi sesuatu yang cukup dilematis bagi orang yang mengidap penyakit menular (berdasarkan tinjauan medis). Di satu sisi, Jumatan adalah kewajiban, di sisi yang lain penyakit menularnya akan membahayakan keselamatan jamaah lain. Sebetulnya, apakah orang yang mengidap penyakit menular tetap wajib Jumatan? Atau justru dilarang hadir?
Salah satu dasar teologis wujud faktanya penyakit menular adalah hadits Nabi:
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ
“Menghindarlah dari pengidap penyakit lepra seperti engkau menghindar dari singa” (HR. Ahmad, al-Bukhari, dan lainnya).
Al-Imam al-Syafi’i sebagaimana dikutip Syekh Khatib al-Syarbini menegaskan:
الجذام والبرص مما يزعم أهل العلم بالطب والتجارب أنه يعدي كثيرا، وهو مانع للجماع لا تكاد نفس أحد أن تطيب أن يجامع من هو به، والولد قل ما يسلم منه
“Lepra dan kusta adalah salah satu penyakit yang diduga oleh pakar kedokteran dapat menular secara massif. Penyakit tersebut dapat mencegah hubungan badan, hampir pasti tidak ditemukan seseorang yang bersedia berhubungan badan dengan pengidap penyakit tersebut. Anak pengidap penyakit tersebut jarang sekali selamat dari penularan penyakit yang diderita bapak/ibu biologisnya” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj [Beirut: Dar al-Ma’rifat Beirut], juz 3, hal. 268).
Wujudnya penyakit menular tidak bertentangan dengan hadits Nabi “tidak ada penyakit menular”, sebab hadits tersebut konteksnya adalah penolakan terhadap anggapan kaum jahiliyah bahwa menularnya penyakit bukan dari perbuatan Allah, namun dari kekuatan penyakit itu sendiri.
Dalam lanjutan referensi di atas, Syekh Khatib al-Syarbini kembali menegaskan:
فإن قيل كيف قال الشافعي إنه يعدي وقد صح في الحديث لا عدوى؟ .أجيب بأن مراده أنه يعدي بفعل الله لا بنفسه والحديث ورد ردا لما يعتقده أهل الجاهلية من نسبة الفعل لغير الله تعالى وأن مخالطة الصحيح لمن به شيء من هذه الأدواء سبب لحدوث ذلك الداء
“Jika dipertanyakan; bagaimana mungkin Imam al-Syafi’i mengatakan lepra dan kusta menular, sementara terdapat hadits shahih; “tidak ada penyakit menular”. Kejanggalan tersebut dijawab bahwa yang dikehendaki al-Syafi’i adalah penyakit menular karena perbuatan Allah, bukan karena perbuatan penyakit itu sendiri. Sedangkan konteksnya hadits adalah penolakan terhadap keyakinan kaum Jahiliyyah yaitu penisbatan perbuatan kepada selain Allah, dan bahwa bergemulnya orang sehat dengan pengidap penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab (dalam konteks hukum kebiasaan, bukan hukum hakikat) terjadinya penyakitnya menular”. (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 3, hal. 268-269, cetakan Dar al-Ma’rifat Beirut Lebanon).
Dalam tinjauan fiqih Jumat, penderita penyakit menular tidak terkena tuntutan kewajiban Jumatan, sebab dapat memberikan rasa tidak nyaman kepada jamaah lain, bahkan melebihi ketidaknyamanan jamaah disebabkan bau aroma tidak sedap orang yang mengonsumsi semisal jengkol. Pertimbangan mengganggu jamaah lain ditegaskan para ulama menjadi salah satu faktor yang menyebabkan gugurnya kewajiban Jumatan.
Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli sebagaimana dikutip Syekh Abdul Hamid al-Syarwani mengatakan:
عبارة النهاية ومثل ذلك من بثيابه أو بدنه ريح كريهة كدم فصد وقصاب وأرباب الحرف الخبيثة وذي البخر والصنان المستحكم والجراحات المنتنة والمجذوم والأبرص ومن داوى جرحه بنحو ثوم؛ لأن التأذي بذلك أكثر منه بأكل نحو الثوم
“Redaksi kitab al-Nihayah; Disamakan dengan hal tersebut di atas (pengonsumsi semisal bawang yang menyebabkan bau mulut tidak sedap) yaitu orang yang di pakaian atau badannya terdapat bau yang dibenci (tidak sedap) seperti darah bekam, tukang kayu dan pekerja-pekerja rendahan, orang yang memiliki bau mulut yang akut, pengidap luka-luka yang berbau anyir, pengidap lepra dan kusta serta orang yang pengobatan lukanya membutuhkan semisal bawang, sebab mengganggu jamaah dengan hal yang tersebut di atas lebih besar dari mengonsumsi semisal bawang” (Syekh Abdul Hamid al-Syarwanin, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah], juz 3, hal. 54).
Tidak hanya gugur kewajiban Jumatnnya, penderita penyakit menular juga dilarang masuk masjid, shalat Jumat dan bergemul dengan orang sehat. Dalam lanjutan referensi di atas, Syekh Abdul Hamid al-Syarwani mengatakan:
ومن ثم نقل القاضي عياض عن العلماء منع الأجذم والأبرص من المسجد، ومن صلاة الجمعة، ومن اختلاطهما بالناس.
“Dan karena pertimbangan di atas, al-Qadli ‘Iyadl mengutip dari para Ulama perihal tercegahnya pengidap penyakit lepra dan kusta dari memasuki masjid, melaksanakan shalat Jumat dan bergemul dengan manusia (yang sehat)”. (Syekh Abdul Hamid al-Syarwanin, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah], juz 3, hal. 54).
Dalam referensi lain ditegaskan, kewajiban mencegah pengidap lepra dan kusta dibebankan kepada siapa pun yang mampu, baik pemerintah atau warga sipil, sebab pencegahan penularan penyakit tersebut bagian dari amar ma’ruf nahi munkar (memerintah kebaikan dan mencegah kemunkaran).
Syekh Ibnu Ziyad dalam himpunan fatwanya mengatakan:
يجب منع الأبرص والمجذوم من الجماعة ومن مخالطة الناس، سواء الإمام وغيره ممن قدر على ذلك، لأنه من باب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر.
“Wajib mencegah pengidap lepra dan kusta dari shalat Jamaah dan bergemul dengan orang sehat, baik imam atau lainnya dari orang yang mampu mencegahnya, sebab pencegahan tersebut merupakan bagian dari memerintah kebaikan dan mencegah kemunkaran”. (Syekh Ibnu Ziyad, Ghayath Talhkhish al-Murad, hal. 28).
Pencegahan terhadap penderita penyakit menular dari interaksi sosial meniscayakan ia tidak dapat bekerja dan beribadah dengan maksimal. Dalam hal ini, agama Islam memberi tanggung jawab kepada pemerintah atau orang kaya (jika kas negara tidak memadai) untuk membantu biaya hidupnya selama masa karantina.
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menegaskan:
ومن ثم منع نحو أبرص وأجذم من مخالطة الناس وينفق عليهم من بيت المال أي فمياسيرنا فيما يظهر
“Dan dari pertimbangan (mengganggu) tersebut, orang yang mengidap penyakit sejenis lepra dan kusta dicegah dari bergemul dengan manusia. Ia wajib diberi nafkah dari kas negara (jika memadai), kemudian dari sumbangan orang-orang kaya menurut pendat yang jelas”. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Hamisy Hasyiyah al-Syarwani [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah], juz 3, hal. 54).
Demikian penjelasan mengenai tinjauan fiqih Jumat bagi pengidap penyakit menular. Semoga bermanfaat. Semoga kita senantiasa dijauhkan dari wabah penyakit menular.
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Terpopuler
1
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
2
Ulama Sufi Dunia Syekh Muhammad Hisham Kabbani Wafat dalam Usia 79 Tahun
3
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
4
Ricuh Aksi Free West Papua, PWNU DIY Imbau Nahdliyin Tetap Tenang dan Tak Terprovokasi
5
Khutbah Jumat: Meraih Keselamatan Akhirat dengan Meninggalkan 6 Perkara
6
GP Ansor Jatim Ingin Berangkatkan Umrah Bapak Penjual Es Teh yang Viral dalam Pengajian Gus Miftah
Terkini
Lihat Semua