Khutbah

Antara Jihad dan Berbakti kepada Orang Tua

Rab, 2 November 2016 | 08:00 WIB

Antara Jihad dan Berbakti kepada Orang Tua

Ilustrasi (www.huisenkuis.nl)

Khutbah I

الحمد لله الحمد لله الذي هدانا سبل السلام، وأفهمنا بشريعة النبي الكريم، أشهد أن لا اله إلا الله وحده لا شريك له، ذو الجلال والإكرام، وأشهد ان سيدنا ونبينا محمدا عبده و رسوله، اللهم صل و سلم وبارك على سيدنا محمد وعلى اله وأصحابه والتابعين بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد: فيايها الإخوان، أوصيكم و نفسي بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون، قال الله تعالى في القران الكريم: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمان الرحيم: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. صدق الله العظيم.


Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ûd RA:

سَأَلْتُ النَّبِيَّ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا، قَالَ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ، قَالَ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ الله، قَالَ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي

“Aku bertanya kepada Rasulullâh SAW, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab: ‘Shalat tepat pada waktunya.’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Berjihad di jalan Allah.’ Rasulullah menyebutkan (ketiga) hal itu kepadaku, seandainya aku bertanya lagi tentu Rasulullah akan menambahkan lagi.”

Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari jihad di jalan Allah bukanlah prioritas pertama karena ada yang lebih tinggi dan disukai oleh SWT dari pada jihad, yakni shalat di awal waktu dan berbakti kepada orang tua. Hal itu dapat kita ketahui dari urutan kalimat atau redaksi dalam  hadits di atas, yakni: 1.  الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا (shalat di awal waktu), 2. بِرُّ الْوَالِدَيْنِ (berbakti kepada kedua orang tua), dan 3. الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ (jihad di jalan Allah).

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Ketiga hal di atas, yakni:  sahalat di awal waktu, berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad di jalan Allah kesemuanya adalah perintah Allah SWT sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an:

1.  أَقِمِ الصَّلَاةَ, Tegakkanlah shalat, (Al-Isra’,  78)

2. وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا,  Berbaktilah kepada kedua orang tua (Al-Isra, 23)

3.  وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ الله,  Berjihadlah di jalan Allah (Al-Baqarah, 218)

Jika kita bandingkan antara berbakti kepada kedua orang tua dengan jihad di jalan Allah maka berbakti kepada kedua orang tua harus lebih didahulukan dari pada jihad karena ia menempati urutan kedua, sedangkan berjihad berada di urutan ketiga. Dari sisi hukum Islam, berbakti kepada kedua orang tua hukumnya fardhu ain yang berarti mengikat atau berlaku bagi setiap orang tanpa terkecuali. Sedangkan jihad di jalan Allah, menurut jumhur ulama,  hukumnya fardhu kifayah yang berarti jika sudah ada sebagian orang yang melakukannya, maka sebagian yang lain tidak wajib melakukannya sehingga tidak serta merta terkena dosa karena ketidak ikut sertaannya. Dalam keadaan tertentu, hukum jihad di jalan Allah bisa berubah menjadi fardhu ain.

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Beberapa tahun terakhir ini, terutama sejak reformasi, beberapa kekerasan atas nama agama  terjadi dimana-mana di berbagai daerah di Indonesia. Kekerasan itu dilakukan oleh sekelompok orang yang terlatih atas nama jihad dengan mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah. Pertanyaannya adalah apakah mereka mendapatkan izin dari kedua orang tuanya untuk melakukan kekerasan yang tidak hanya menewaskan orang lain tetapi juga menewaskan diri sendiri tersebut?

Pertanyaan di atas penting untuk dijawab sebab jika tidak mendapatkan izin dari kedua orang tua, maka siapa pun sebetulnya tidak diperbolekan pergi berjihad. Rasulullah SAW sendiri  tidak berani memberangkatkan seseorang untuk pergi berjihad di jalan Allah jika orang tersebut tidak mendapat izin dari orang tuanya. Padahal jihad yang diserukan Rasulullah SAW adalah jihad yang dijamin bisa dipertanggungjawabkan keabsahan dan kebenarannya di hadapan Allah SWT, dan bukan jihad yang kontroversial apalagi jihad yang keliru sama sekali.

Sikap Rasulullah SAW yang tidak bersedia memberangkatkan seseorang pergi ke medan jihad tanpa izin kedua orang tuanya dapat kita lihat pada kandungan hadits yang diriwayatkan dari `Abdullâh bin `Amr  RA berikut ini:

  جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ

“Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullâh, lalu dia minta idzin ikut berjihad. Rasulullâh bertanya: ‘Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’ Lelaki itu menjawab, “Ya.” Rasulallâh bersabda, “Berjihadlah di sisi keduanya!”

Hadits tersebut mengandung maksud bahwa seseorang yang hendak berjihad harus mendapatkan izin dari kedua orang tuanya karena jihad (dalam arti perang di jalan Allah) itu mempertaruhkan nyawa. Hanya kedua orang tuanya yang berhak memberi izin berjihad, baik orang itu sudah berkeluarga maupun belum. Hal ini tentu bisa kita mengerti karena kehadiran seseorang ke dunia ini melalui kedua orang tuanya dimana sang ibu dahulu sewaktu melahirkannya membutuhkan perjuangan yang luar biasa dengan nyawa sebagai taruhannya.

Apakah perjuangan seorang ibu yang sedemikian berat itu boleh diabaikan sang anak begitu saja sehingga ia pergi berjihad tanpa restu atau izinnya?  Tentu saja tidak! Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas, Rasululllah SAW memerintahkan agar laki-laki yang hendak ikut berjihad bersama Rasulullah SAW itu supaya pulang menemui kedua orang tuanya untuk berbakti kepada mereka. Rasulullah mengatakan,  فَفِيهِمَا فَجَاهِد, “Berjihadlah di sisi keduanya!”. Artinya berbakti kepada kedua orang tua itu juga termauk jihad di jalan Allah meski tidak secara langsung.

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Dalam hadits  lain yang diriwayatkan Ibnu Majah, dikatakan  bawa seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata:

يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّى جِئْتُ أُرِيدُ الْجِهَادَ مَعَكَ أَبْتَغِى وَجْهَ الله وَالدَّارَ الآخِرَةَ وَلَقَدْ أَتَيْتُ وَإِنَّ وَالِدَىَّ لَيَبْكِيَانِ. قَالَ : فَارْجِعْ إِلَيْهِمَا فَأَضْحِكْهُمَا كَمَا أَبْكَيْتَهُمَا.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya datang ingin berjihad bersamamu, mencari wajah Allah dan (surga) di kehidupan akhirat, dan sesungguhnya kedua orangtua saya benar-benar menangis. Beliau Rasulullah SAW menjawab: “Kembalilah kepada keduanya, buatlah mereka berdua tertawa sebagaimana kamu telah membuat mereka menangis.”

Hadits tersebut menegaskan bahwa jika orang tua tidak mengizinkan seseorang pergi berjihad bersama Rasulullah SAW, maka orang tersebut harus mengurungkan niatnya. Jika orang tua menangisi kepergian sang anak ke medan jihad karena memang tidak memberikan izin, maka sang anak harus kembali ke rumah dan melakukan sesuatu yang dapat menyenangkan hati kedua orang tuanya hingga mereka dapat tertawa bahagia untuk menghapus kecemasan dan kesedihan yang mereka rasakan sebelumnya.    

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Mengingat arti pentingnya izin orang tua dalam jihad, maka orang tua harus bisa memilah mana jihad yang bisa dipertanggungg jawabkan kepada Allah dan mana yang tidak. Jihad yang bisa dipertanggung jawabkan di hadapan Allah adalah jihad sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW bersama para sahabat. Dalam jihad seperti itu saja, Rasulullah tidak berani melanggar hak orang tua dalam kaitannya dengan izin keterlibatan seseorang. Rasulullah SAW sangat menghargai hak orang tua untuk mengizinkan atau tidak menginjinkan seseorang berjihad di medan perang.    

Dalam konteks Indonesia, contoh jihad yang mirip dengan apa yang dilakukan Rasulullah SAW adalah jihad sebagaimana dilakukan para pahlawan kita dahulu dalam rangka mengusir penjajah yang telah menindas dan menyengsarakan bangsa kita. Perjuangan mengusir penjajah sebagaimana diserukan para ulama, terutama kiai-kiai NU,  lewat seruan jihad yang kemudian dikenal  dengan Resolusi Jihad 1945 menjadi wajib dilaksanakan. Para penjajah memang harus dilawan dan diusir demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Bapak Proklamator kita - Soekarno- Hatta.  Apalagi para penjajah itu bukanlah orang-orang yang beriman tauhid alias kafir.

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Kembali kepada pertanyaan saya di awal,  apakah para pelaku kekerasan atas nama agama  di tanah air mendapatkan izin dari kedua orang tuanya?

Tentu tidak mudah untuk mendapatkan jawaban pasti karena diperlukan sebuah penelitian. Tetapi jika pertanyaan itu dikembalikan kepada kita dan diubah menjadi, “Apakah sebagai orang tua kita mengizinkan anak-anak kita melakukan kekerasan seperti itu?”

Sebagai orang tua tentu kita tidak mengizinkan dengan berbagai alasan kita masing-masing.  Tetapi persoalannya adalah para pelaku kekerasan itu umumnya sudah melepaskan diri dari  ikatannya dengan orang tua yang dibuktikan dengan sulitnya komunikasi diantara mereka. Mereka sudah lama menghilang dari rumah. Dengan kata lain mereka sudah tidak patuh lagi kepada kedua orang tua. Mereka lebih patuh dan setia kepada guru sekaligus pimpinannya. Mengapa demikian?   

Jawabnya, karena mereka telah dicuci otaknya dan diindoktrinasi bahwa orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dan menghalang-halangi jihad mereka adalah orang-orang kafir. Oleh karena itu mereka tidak segan-segan untuk mengkafirkan orang tua sendiri jika tidak sepaham dengan mereka. Jika orang tua sendiri sudah diyakini kafir, maka menurut keyakinan mereka, izin dari orang tua untuk berjihad tidak mereka perlukan.

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Anak adalah amanah dari Allah kepada kita. Anak menjadi tanggung jawab kita baik di dunia maupun di akherat. Tidak ada mantan anak sebagaimana tidak ada mantan orang tua. Hubungan anak dan orang tua bersifat abadi. Oleh karena itu, menjadi kewajiban kita untuk mendidik anak-anak kita menjadi waladun shalih – anak yang saleh. Kesalehan seperti itu akan lebih mudah dicapai ketika hubungan anak dan orang tua senatiasa baik, dimana orang tua selalu  menyayangi dan melidungi anak-anaknya.  Sebaliknya, anak-anak selalu hormat dan berbakti kepada kedua orang tua.  Insya Allah selama anak-anak kita masih hormat dan patuh kepada kita sebagai orang tua, mereka tidak akan mudah terbawa arus yang menyeret mereka kepada tindakan kekerasan yang tidak semestinya. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita dan keluarga kita masing-masing. Amin, ya rabbal alamin.  


جعلنا الله وإياكم من الفائزين الأمنين، وأدخلنا وإياكم في زمرة عباده المؤمنين : أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمان الرحيم: يايها الذين امنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا. بارك الله لي ولكم في القران العظيم ونفعني وإياكم بما فيه من الايات والذكرالحكيم، وتقبل مني ومنكم تلاوته انه هو الغفور الرحيم، وقل رب اغفر وارحم وانت خيرالراحمين

Khutbah II

الحمد لله الحمد لله الذي أكرمنا بدين الحق المبين، وأفضلنا بشريعة النبي الكريم، أشهد أن لا اله إلا الله وحده لا شريك له، الملك الحق المبين،  وأشهد أن سيدنا ونبينا محمدا عبده و رسوله، سيدالأنبياء والمرسلين، اللهم صل و سلم وبارك على نبينا محمد وعلى اله وصحبه والتابعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد:  فيأيها الناس اتقوا الله، وافعلوا الخيرات واجتنبوا عن السيئات، واعلموا أن الله يأمركم بأمربداْ فيه بنفسه، فقال عز من قائل: إن الله وملائكته يصلون على النبى، يا أيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما.  اللهم صلّ على سيدنا  محمد و على آل  سيدنا  محمد. اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الاحياء منهم والاموات انك سميع قريب مجيب الدعوات، وغافر الذنوب انك على كل شيئ قدير. ربنا اغفر لنا ذنوبنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رءوف رحيم، ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار. والحمد لله رب العالمين. عبادالله، إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون. فاذكروا الله العظيم يذكركم واشكروه على نعمه يزدكم ولذكرالله اكبر.

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta