LTM PBNU Berupaya Kembalikan Fungsi Masjid sebagai Ruang Ibadah yang Inklusif dan Mendidik
NU Online · Selasa, 24 Juni 2025 | 18:00 WIB

Ketua LTM PBNU Mokhamad Mahdum (tengah) dalam konferensi pers Kick-Off Program Ngaji Fasholatan dan 1.000 Masjid Inklusif di Jakarta, pada Selasa (24/6/2025). (Foto: NU Online/Fathur)
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta NU Online
Ketua Lembaga Takmir Masjid Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LTM PBNU) H Mokhamad Mahdum menyampaikan dua misi besar yang saat ini tengah diperjuangkannya. Pertama, mengembalikan masjid sebagai ruang ibadah yang mendidik. Kedua, mendorong transformasi masjid menjadi ruang yang inklusif bagi semua kalangan, termasuk anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
Hal ini disampaikan Mahdum dalam peluncuran program kolaborasi antara PBNU dan Kementerian Agama yakni Ngaji Fasholatan dan 1.000 Masjid Inklusif yang menjadi proyek percontohan nasional.
“Jangan sampai orang shalat, tapi pemahamannya terhadap fiqih dan Al-Qur’an masih sangat minim. Ini tugas utama kami di LTM,” ujar Mahdum dalam konferensi pers Kick-Off Program Ngaji Fasholatan dan 1.000 Masjid Inklusif di Jakarta, pada Selasa (24/6/2025).
Program Ngaji Fasholatan diarahkan untuk memberikan edukasi praktis seputar shalat, mulai dari tata cara wudhu, pelafalan bacaan, hingga pemahaman fikih yang sesuai dengan tradisi Ahlussunnah wal Jamaah. Targetnya adalah para jamaah dari berbagai lapisan, mulai dari anak-anak hingga orang tua.
"Kalau orang baru sekali khatam Qur’an langsung dijadikan imam, padahal belum paham fikih, itu bisa menimbulkan masalah. Kita ingin tata kembali ini, agar ada adab dan pemahaman dalam praktik ibadah," jelasnya.
LTM PBNU juga akan menyebarkan panduan-panduan visual ibadah di masjid-masjid, seperti yang sudah banyak diterapkan di Masjidil Haram. Selain itu, para pengajar akan melalui pelatihan khusus agar mampu menyampaikan materi dengan tepat sasaran.
Mahdum juga menyoroti realitas bahwa banyak masjid di Indonesia masih belum ramah bagi kelompok rentan. Tangga yang curam, tidak adanya ramp untuk kursi roda, dan sikap takmir yang belum memahami psikologi anak, menjadi tantangan nyata di lapangan.
"Masih banyak ibu-ibu yang sulit naik tangga ke lantai dua, tidak ada akses kursi roda. Anak-anak dianggap gaduh, malah diusir dari masjid. Ini keliru. Masjid harus menjadi rumah untuk semua,” tegasnya.
Karena itu, LTM PBNU mendorong setiap Pengurus Wilayah (PWNU) untuk memiliki minimal satu masjid percontohan inklusif yang benar-benar menerapkan prinsip ramah difabel, anak, lansia, dan perempuan. Masjid ini akan menjadi benchmark nasional.
Mahdum menyebut bahwa proyek ini sejatinya sudah lama disiapkan oleh LTM PBNU, namun belum dijalankan secara masif. Kehadiran program Kemenag menjadi pemantik yang mempercepat realisasi proyek ini di berbagai daerah.
"Kita sudah punya program dari dulu, sekarang tinggal inline saja. Semua LTM di bawah PBNU sudah kami konsolidasikan," jelasnya.
Ia mengingatkan, keberhasilan program ini sangat bergantung pada tiga hal yakni mindset, skill set, dan tool set.
Tidak semua perubahan harus dimulai dari infrastruktur mahal, tetapi dari pemahaman dasar para pengelola masjid tentang pentingnya inklusivitas dan pelayanan kepada jamaah.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi pengelolaan zakat, infak, dan sedekah sebagai sumber utama pendanaan mandiri bagi masjid. Jika dana dikelola secara kredibel dan program inklusif terlihat nyata, ia yakin jamaah akan mendukung dengan suka rela.
"Jangan semua dibebankan ke pemerintah. Jamaah akan membantu jika melihat perubahan nyata dari uang mereka,” katanya.
LTM PBNU bahkan tengah menyusun basis data jamaah dan profil masjid NU untuk mendukung perencanaan jangka panjang menuju masjid yang ramah dan responsif terhadap kebutuhan umat.
Melalui pelatihan khusus untuk guru-guru ngaji, kata Mahdum, LTM PBNU juga akan menyebarkan buku panduan dan materi ajar berbasis kitab klasik tentang tata cara ibadah. Tujuannya agar praktik fikih tidak hanya ada di pesantren, tetapi juga membudaya di masyarakat umum.
"Kita ingin menjelaskan hal mendasar seperti bedanya bersih dan suci, adab perempuan saat haid, hingga zikir yang benar menurut tradisi NU. Semua ini agar jamaah makin paham dan masjid makin hidup," jelas Mokhamad.
Direktur Urais dan Bina Syariah Kemenag Arsyad Hidayat mengungkapkan bahwa Masjid yang inklusif juga berarti akses fisik dan sosial yang memadai bagi kelompok rentan.
Data internal Kemenag menyebutkan bahwa dari 47 masjid yang disurvei secara acak, 46 di antaranya belum ramah difabel dan lansia. Hal ini menjadi catatan penting dalam percepatan program masjid inklusif.
“Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, seluruh fasilitas umum termasuk rumah ibadah wajib mengakomodasi kebutuhan mereka. Masjid tidak boleh terkecuali,” ujarnya.
Menurut Arsyad, upaya menjadikan masjid ramah difabel mencakup penyediaan ramp, kursi roda, toilet khusus, ruang tunggu, hingga penyesuaian teknis pelaksanaan ibadah. Takmir juga perlu diberikan pemahaman tentang psikologi anak dan lansia agar pelayanan menjadi holistik dan manusiawi.
Terpopuler
1
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
2
Houthi Yaman Ancam Serang Kapal AS Jika Terlibat dalam Agresi Iran
3
Menlu Iran Peringatkan AS untuk Tanggung Jawab atas Konsekuensi dari Serangannya
4
Pengumuman Hasil Seleksi Wawancara Beasiswa PBNU ke Maroko 2025, Cek di Sini
5
Mudir 'Ali JATMAN: Tarekat adalah Warisan Asli Wali Songo
6
Hukum Makan Balut dalam Islam: Halal atau Haram? Ini Penjelasan Lengkap Ulama
Terkini
Lihat Semua