Yang demikian itu tercermin di dalam Al-Qur’an di mana dengan jelas dan tegas Allah menyatakannya dalam beberapa ayat di antaranya:
“Allah Tidakmembebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Sebagai contoh meski “berdiri” di dalam shalat merupakan rukun yang wajib dilaksanakan namun shalat dengan duduk atau tidur diperbolehkan bagi orang yang—karena kondisi tertentu—tak mampu melaksanakannya dengan berdiri. Beberapa makanan yang secara tegas dihukumi haram dalam kondisi darurat diperbolehkan untuk dimakan demi menyelamatkan nyawa manusia.
Demikian pula dengan ibadah puasa yang merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Meski ibadah tahunan ini pada dasarnya diwajibkan atas setiap individu muslim tapi Allah tetap saja memberi keringan bagi orang-orang tertentu karena sebab-sebab tertentu. Orang yang sakit adalah salah satunya. Ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa bila karena sakitnya justru puasa akan memberinya mudarat. Bahkan, bila orang yang sakit tersebut nekat berpuasa—mungkin karena begitu bersemangat beribadah—hingga terjadi kematian, justru agama menghukuminya sebagai orang yang bermaksiat, bukan beribadah.
Dalam hal ini Syaikh Nawawi Banten memerinci beberapa hukum orang yang sakit berkaitan dengan boleh tidaknya ia tidak berpuasa. Dalam kitab Kaasyifatus Sajaa beliau menjelaskan:
"Bagi orang sakit, berlaku tiga kondisi: (1) bila diduga adanya mudarat yang membolehkan bertayamum maka dimakruhkan berpuasa bagi orang yang sakit dan diperbolehkan baginya berbuka; (2) bila mudarat yang diduga tersebut terwujud dengan dugaan yang kuat dapat menimbulkan kerusakan dan hilangnya manfaat suatu anggota badan maka haram berpuasa bagi orang tersebut dan wajib berbuka (alias haram berpuasa)--bila ia tetap terus berpuasa sehingga meninggal dunia maka ia meninggal dalam keadaan bermaksiat; (3) bila sakit yang diderita adalah sakit yang ringan seperti pusing, sakit telinga dan gigi maka tidak diperbolehkan berbuka (alias wajib berpuasa) kecuali bila dikhawatirkan akan bertambah sakitnya dengan berpuasa" (lihat: Muhammad Nanawi Al-Bantani, Kaasyifatus Sajaa [Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiyah, 2008], hal. 199).
Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif sebagai penghulu di lingkungan Kementerian Agama Kota Tegal.
====
Catatan: tulisan ini pertama kali tayang di NU Online pada 8 Juni 2017, pukul 15.00. Artikel diunggah ulang dengan minor penyuntingan.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menata Pola Hidup Positif Pasca-Ramadhan
2
Membatalkan Puasa Syawal karena Disuguhi Hidangan saat Bertamu, Bagaimana Hukumnya?
3
Khutbah Jumat: Meraih Pahala Berlimpah dengan Puasa Syawal
4
Hukum Mengulang Akad Nikah karena Grogi
5
Khutbah Jumat: Syawal, Menjalin Silaturahmi dan Memperkokoh Persatuan Bangsa
6
Tellasan Topak, Tradisi Perayaan Lebaran Ketupat di Madura pada 8 Syawal
Terkini
Lihat Semua