Syariah

Ukuran Fidyah Utang Puasa Orang yang Sudah Meninggal

Ahad, 14 Juni 2020 | 10:00 WIB

Ukuran Fidyah Utang Puasa Orang yang Sudah Meninggal

Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i mengakomodasi berbagai pandangan ulama perihal ukuran fidyah hutang puasa

utang puasa orang yang telah meninggal dapat dibayar dengan fidyah (makanan pokok untuk orang miskin) meski sebagian ulama membolehkan qadha puasa oleh wali almarhum. Tetapi ulama berbeda pendapat perihal ukuran pembayaran fidyah utang puasa orang yang telah meninggal dunia.


والمنصوص في الام هو الاول وهو الصحيح والدليل عليه ماروى ابن عمر أن النبي صلي الله عليه وسلم قال " من مات وعليه صيام فليطعم عنه مكان كل يوم مسكين " ولانه عبادة لا تدخلها النيابة في حال الحياة فلا تدخلها النيابة بعد الموت كالصلاة


Artinya, “Pendapat manshus dalam Kitab Al-Umm adalah pendapat pertama. Ini pendapat yang sahih. Dalil atas pendapat ini adalah hadits riwayat Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda ‘Siapa saja yang wafat dan ia mempunyai utang puasa, hendaklah orang miskin diberi makan pada setiap hari utang puasanya.’ Puasa adalah ibadah yang tidak dapat digantikan pada saat orang hidup, maka ia tidak digantikan setelah matinya seperti ibadah shalat,” (Abu Ishaq As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyah: 2010 M], juz VI, halaman 337).


Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i mengakomodasi berbagai pandangan ulama perihal ukuran fidyah utang puasa yang ditinggalkan karena sengaja oleh orang yang meninggal dunia.


وإن قلنا) يطعم عنه نظرت فان مات قبل أن يدركه رمضان آخر أطعم عنه عن كل يوم مسكين وإن مات بعد ما ادركه رمضان آخر ففيه وجهان (احدهما) يلزمه مدان مد للصوم ومد للتأخير (والثاني) يكفيه مد واحد للتأخير لانه إذا أخرج مدا للتأخير زال التفريط بالمد فيصير كما لو أخره بغيره تفريط فلا تلزمه كفارة


Artinya, “(Jika kami mengatakan) diberi makan kepada orang miskin (atas utang puasa orang yang meninggal), maka harus dipertimbangkan dahulu. Jika almarhum meninggal sebelum datang Ramadhan berikutnya, maka setiap hari utang puasanya dibayarkan sebanyak satu mud kepada orang miskin. Tetapi jika almarhum meninggal setelah Ramadhan berikutnya tiba, mazhab Syafi’i memiliki dua pendapat.

 

Pertama, walinya wajib membayar dua mud atas utang puasa per harinya; dengan rincian satu mud sebagai fidyah puasa dan satu mud lagi atas penundaan qadha puasanya. Kedua, wali cukup membayar fidyah sebanyak satu mud atas penundaan qadha puasanya karena ketika seseorang mengeluarkan satu mud atas penundaan maka dengan sendirinya hilang kelalaian tersebut. Dengan demikian kasusnya serupa dengan kasus orang yang menunda puasanya tanpa kelalaian dan tidak wajib kafarah padanya,” (Abu Ishaq As-Syairazi, Al-Muhadzdzab pada Al-Majmu’ , [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyah: 2010 M], juz VI, halaman 337)


Sebagian ulama mengatakan bahwa utang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan fidyah atau sedekah makanan pokok sebanyak satu mud atau bobot seberat 675 gram/6,75 ons beras.


Ulama mazhab Syafi’i memiliki dua pendapat perihal seseorang yang meninggal dan belum sempat meng-qadha utang puasanya baik dengan maupun tanpa uzur. Pertama, (ini pendapat paling masyhur dan shahih) menurut penulis dan mayoritas ulama serta manshuh pada qaul jadid, wajib dibayarkan fidyah satu mud yang diambil dari peninggalan almarhum. Puasa yang dilakukan walinya tidak sah. Pandangan ini dipegang oleh Al-Qadhi Abu Thayyib dalam Kitab Al-Mujarrad. Ini pendapat yang manshush dari Imam As-Syafi’i dalam kitab-kitabnya yang terbaru dan kebanyakan pandangan lamanya.


Kedua, pandangan qadim. Pandangan ini sahih menurut sekelompok ulama terkemuka mazhab Syafi’i. Pandangan ini dapat menjadi alternatif. Wali almarhum boleh berpuasa untuk membayar utang puasa almarhum. Puasanya juga sah. Tetapi boleh juga utang puasa almarhum dibayar dengan fidyah dan bebas tanggungan almarhum.


Pembayaran puasa almarhum itu tidak wajib dilakukan oleh walinya, tetapi oleh orang yang dipilih oleh walinya. Argumentasi atas kedua pendapat ini terdapat di dalam kitab. Saya akan menjelaskannya dalam baba tersendiri. (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyah: 2010 M], juz VI, halaman 337-338). Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)