Ramadhan

Makna Idul Fitri Menurut Prof Quraish Shihab

Sen, 2 Mei 2022 | 16:00 WIB

Makna Idul Fitri Menurut Prof Quraish Shihab

Ilustrasi Idul Fitri. (Foto: NU Online)

Mengurai arti Idul Fitri, Muhammad Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1999) mengartikan bahwa Id berarti kembali dan fithr dapat diartikan agama yang benar atau kesucian atau asal kejadian. Kalau umat Islam memahaminya sebagai agama yang benar, maka hal itu menuntut keserasian hubungan karena keserasian tersebut merupakan tanda keberagaman yang benar. 


Dalam hal ini, Nabi Muhammad bersabda, Al-Din Al-Muamalah. Nasihat menasihati dan tenggang rasa juga termasuk ajaran agama karena Nabi juga bersabda, Al-Din Al-Nashihah. Dengan demikian, setiap yang ber-Idul Fitri harus sadar bahwa setiap orang dapat melakukan kesalahan; dan dari kesadarannya itu ia bersedia untuk memberi dan menerima maaf.


Fithrah berarti kesucian. Ini dapat dipahami dan dirasakan maknanya pada saat seorang hamba duduk merenung sendirian. Ketika pikiran mulai tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat teratasi, akan terdengar suara nurani yang mengajaknya berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Maha Mutlak, yang mengantarnya untuk menyadari betapa lemahnya manusia di hadapan-Nya, dan betapa kuasa dan perkasanya Yang Maha Agung itu.


Suara yang didengar itu adalah suara Fithrah manusia, suara kesucian. Setiap orang memiliki fithrah itu, terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walaupun sering terabaikan karena kesibukan dan dosa-dosa sehingga suaranya begitu lemah hanya sayup-sayup terdengar. Suara itulah yang dikumandangkan pada Idul Fitri, yakni Allahu Akbar, Allahu Akbar


Jika kalimat pengagungan Allah itu tertancap dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur-unsur lain selain Allah semata. Tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi, kecuali kepada-Nya.


Ketika hal itu terjadi pada seseorang, terjadilah apa yang seperti dilukiskan oleh Ibnu Sina dalam Al-Isyarat wa Tanbihat (Disadur dari Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiyfi Al-Islam, Dar Al-Kutub Al-Lubnaniy, 1982) sebagai berikut:


Orang tersebut menjadi arif, yang bebas dari ikatan raganya. Dalam dirinya terdapat ikatan yang tersembunyi, namun pada dirinya sendiri tampak sebagai sesuatu yang nyata. Ia selalu gembira, banyak senyum. Betapa tidak, sejak ia mengenal-Nya, hatinya dipenuhi oleh kegembiraan. Dengan melihat Yang Maha Suci, semua dianggapnya sama, karena memang semua makhluk Allah. Semua wajar mendapatkan Rahmat, baik yang taat maupun yang bergelimang dosa. Ia tidak akan mengintip-intip kelemahan orang, tidak pula mencari kesalahannya. Ia tidak akan marah, tidak pula tersinggung, walaupun melihat yang mungkar sekalipun, karena jiwanya selalu diliputi Rahmat dan kasih sayang, dan karena ia memandang keindahan, ia melihat sir Allah (rahasia Allah) terbentang ke dalam qudrat-Nya. Bila ia mengajak kepada kebaikan, ia akan melakukannya dengan lemah lembut, tidak dengan kekerasan, tidak pula dengan kecaman, kritikan yang melukai atau ejekan. Ia akan selalu menjadi pemaaf. Betapa tidak, sedang di dadanya sedemikian lapang, sehingga tidak ada tempat bagi kesalahan orang lain. Ia tidak akan menjadi pendendam. Bagaimana ia mampu mendendam, sedang seluruh ingatannya hanya tertuju kepada Yang Maha Suci lagi Maha Agung itu.


Terkait dengan kesucian, Quraish Shihab menjelaskan bahwa kesucian adalah gabungan tiga unsur: benar, baik dan indah. Sehingga seseorang yang ber-Idul Fitri dalam arti kembali ke kesuciannya akan selalu berbuat yang indah, benar, dan baik.


Bahkan lewat kesucian jiwanya itu, ia akan memandang segalanya dengan pandangan positif. Ia selalu mencari sisi-sisi yang baik, benar, indah. Mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika, dan mencari yang benar menghasilkan ilmu.


Dengan pandangan yang demikian, ia akan menutup mata terhadap kesalahan, kejelekan, dan keburukan orang lain. Kalaupun itu terlihat, selalu dicarinya nilai-nilai positif dalam sikap negatif tersebut. Dan kalaupun itu tak ditemukannya, ia akan memberinya maaf bahkan berbuat baik kepada yang melakukan kesalahan. (Fathoni)