Ramadhan

Rukun-rukun Itikaf

Sab, 1 Mei 2021 | 22:00 WIB

Rukun-rukun Itikaf

Rasulullah SAW beritikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan. Hal ini dilakukannya sampai beliau wafat. Sepeninggal Rasulullah SAW, tradisi itikaf dilanjutkan oleh para istrinya

Itikaf merupakan ibadah yang dianjurkan. Pada sepuluh akhir bulan Ramadhan ibadah itikaf semakin dianjurkan. Karena tergolong ibadah itikaf memiliki rukun dan syarat-syarat tersendiri. Pembahasan itikaf biasanya ditempatkan setelah kajian puasa.


Berikut ini keterangan yang kami kutip sebagian dari ulama bermazhab syafi’i:


قوله (وَلَهُ) أَيْ الِاعْتِكَافِ (شَرْطَانِ) أَيْ رُكْنَانِ فَمُرَادُهُ بِالشَّرْطِ مَا لَا بُدَّ مِنْهُ بَلْ أَرْكَانُهُ أَرْبَعَةٌ كَمَا سَتَعْرِفُهُ


Artinya, “Itikaf memiliki dua syarat, maksudnya dua rukun. Yang dimaksud syarat adalah sesuatu yang harus ada. Bahkan itikaf itu memiliki empat rukun sebagaimana kau akan mengenalnya,” (As-Syarbini Al-Khatib, Al-Iqna fi Halli Alfazhi Abi Syuja, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H], halaman 247).


Adapun rukun itikaf yang dimaksud adalah sebagai berikut:


1. Niat.


Niat dipasang di dalam hati sebagaimana ibadah lainnya. Orang yang bernazar itikaf harus meniatkan kewajiban pada niat itikafnya karena itikaf nazarnya merupakan itikaf wajib. hal ini penting dilakukan untuk membedakannya dengan yang sunah.


2. Berdiam/mukim.


Seseorang harus bermukim atau “berdiam” di tempat itikaf minimal selama tumakninah lebih sedikit. Dengan demikian, itikaf tidak cukup “berdiam” selama tumakninah saja. Orang yang mondar-mandir di masjid dengan durasi itikaf dan meniatkannya sebagai itikaf tergolong telah melaksanakan itikaf. 


3. Di masjid.


Masjid menjadi tempat yang disyaratkan oleh mazhab syafi’i. Dengan demikian, itikaf pada selain masjid menurut mazhab syafi’i tidak sah (sebagian ulama membolehkan itikaf pada selain masjid). Masjid sebagai tempat itikaf didasarkan pada hadits riwayat Bukhari, Muslim, ijma, dan Surat Al-Baqarah ayat 187.


Masjid jami merupakan tempat ideal daripada masjid lainnya karena lebih dapat menampung banyak jamaah. Masjid jami juga sangat dianjurkan sebagai tempat itikaf karena mereka yang beritikaf tidak perlu keluar masjid untuk shalat Jumat.


4. Orang yang beritikaf.


Orang yang beritikaf harus muslim, berakal, dan suci dari hadats besar. Dengan demikian itikaf orang kafir, itikaf orang gangguan kejiawaan, dan itikaf orang yang berhadats besar tidak sah.


Adapun potongan Surat Al-Baqarah ayat 187 adalah sebagai berikut:


وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ


Artinya, “…Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf di dalam masjid…” (Surat Al-Baqarah ayat 187).


Adapun hadits yang menjelaskan itikaf antara lain diriwayatkan Sayyidah Aisyah RA:


وَعَنْهَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ


Artinya, “Dari Sayyidah Aisyah RA, Rasulullah SAW beritikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan. Hal ini dilakukannya sampai beliau wafat. Sepeninggal Rasulullah SAW, tradisi itikaf dilanjutkan oleh para istrinya” (HR Bukhari dan Muslim).


Demikian rukun-rukun dan syarat-syarat ibadah itikaf yang terdapat dalam kitab fiqih mazhab syafi’i. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)