Ramadhan

Sikat Gigi di Siang Ramadhan, antara Kemakruhan dan Anjuran

Sel, 4 Mei 2021 | 15:00 WIB

Sikat Gigi di Siang Ramadhan, antara Kemakruhan dan Anjuran

Dalam logika Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam, jika bau mulut saja diberi apresiasi besar oleh Allah, apalagi aroma harumnya.

Membincang soal siwak atau sikat gigi berarti juga bicara seputar kebersihan dan kesegaran aroma mulut. Dari sini, saya jadi teringat masa kecil di kampung. Di mana, saat siang bulan Ramadhan, kami biasa saling menjaili dengan bau mulut. Iya, bau mulut yang sungguh tidak sedap itu. Walaupun bermaksud bergurau, tapi itu sangat mengganggu. Hal ini berawal dari pemahaman dangkal kami tentang hadits kesunnahan membiarkan bau mulut saat puasa yang kami peroleh dari guru-guru daras kami di surau.

 

Kita tahu bahwa kesunnahan tidak bersiwak di siang hari bulan Ramadhan adalah hukum yang berdasar. Dalilnya sangat jelas dan shahih. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa Islam getol menyuarakan kebersihan, keindahan lingkungan, serta kenyamanan sosial. Itu juga dengan dalil-dalil yang tak kalah kuatnya. Jadi, saya mendugawalau tidak berdasarmungkin kami dan para bocah lainnya yang senang saling menjaili dengan bau mulut, merasa risih dengan kesunnahan membiarkan bau mulut tersebut. Akhirnya, diekspresikan melalui saling menjaili.

 

Artinya, persoalan ini tampak kontradiktif. Satu sisi, kita diperintah menjadi pribadi yang sehat, bersih, dan harum. Di sisi lain, kita juga dianjurkankhususnya bagi yang puasamembiarkan mulutnya dalam keadaan bau dan tidak bersih. Hal serupa, saat kita didorong untuk menjadi pribadi yang apik sosial, kita juga secara tidak langsung disuruh merusak kenyamanan sosial itu. Bagaimana tidak, bila di tengah siang bulan Ramadhan, misalnya, saat menjalankan sunnah membiarkan bau mulut, kita juga meregup fadhilah shalat berjamaah. Sadar atau tidak, harus diakui bahwa bau mulut peserta shalat berjamaah, sangat mengganggu jamaah lainnya. Padahal, bulan Ramadhan tidak hanya soal peningkatan kualitas spiritual tapi juga sosial.

 

Oleh karena itu, baik sekali bila kita mengkaji ihwal hukum bersiwak ini. Khususnya bagi yang berpuasa. Dalam literatur fiqih, memang terjadi silang pendapat di kalangan ulama. Jangankan lintas mazhab, pada internal mazhab Syafi’i saja ramai membahas ini.

 

Menurut Imam Syafi’i sendiri, membiarkan bau mulut saat berpuasa dimulai sejak tergelincir matahari hingga terbenam merupakan sebuah kesunnahan. Bahkan ada keistimewaan (fadhilah) tersendiri daripada menghilangkannya. Berbeda dengan sebagian ulama Syafi’i sentris, seperti Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam as-Sulami (660 H), misalnya. Ia justru berpendapat, lebih afdal membersihkan mulut daripada membiarkannya dalam keadaan bau. Bila diamati, sebenarnya para ulama kita tidak lagi membincangkan mana yang baik dan yang tidak baik. Tetapi, membahas mana yang lebih baik di antara dua hal baik tersebut. Mengingat, keduanya mengantongi dalil dan argumentasi yang sama-sama kuat.

 

Dalam hal ini, baik Imam Syafi’i maupun Syekh ‘Izzuddin, senapas untuk berdalil dengan hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, yang berbunyi:

 

لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك

Artinya, “Sungguh bau mulut orang berpuasa, lebih harum di sisi Allah daripada aroma misk (sebutlah kasturi)” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Mereka juga sepakat bahwa maksud kata ‘athyabu’ dalam hadits bukanlah harum mewangi secara indrawi. Tetapi tentang apresiasi besar Allah subhanahu wa ta’ala kepada orang yang rela membiarkan bau napasnya saat puasa. Bedanya, terletak pada logika hukum dan argumentasi yang ditawarkan.

 

Dari hadits di atas, sang pendiri mazhab Syafi’i mengatakan, ketika Allah mengaitkan antara bau mulut orang puasa dengan pahala yang begitu besar, berarti bau mulut (khaluf) adalah alasan Tuhan mengapresiasi mereka dengan pahala. Karena itu, makruh hukum membersihkannya. Pendek kata, bila khaluf ini dihilangkan, lalu apa alasan Tuhan akan mengganjari lebih hambanya? Bukankah besar-kecilnya ganjaran tergantung bagaimana beban yang dipikul?

 

Dalam ushul fiqh, pendekatan ini dikenal dengan ima‘. Suatu metode yang digunakan untuk mengetahui illat (alasan) munculnya sebuah hukum, yang ditandai dengan adanya korelasi antara hukum (pemberian pahala dari Allah) dan sifat (membiarkan bau mulut) yang disebutkan dalam redaksi dan konteks dalil yang sama.

 

Sedangkan Syekh ‘Izzuddin tidak hanya berhenti di sini, tetapi meneruskannya ke tingkat analogi hukum (qiyas). Hematnya, ini bukan semata tentang bau mulut. Tetapi pahala di balik bau mulut tersebut (lihat Syekh ‘Izzuddin, Maqâshid ash-Shaum, hal. 13). Maka, jika bau mulut saja diberi apresiasi besar oleh Allah subhanahu wa ta’ala, apalagi aroma harumnya. Tentu akan diapresiasi lebih besar. Bukankah sebuah penghormatan bila menemui seorang mulia dengan aroma napas segar nan harum? Apalagi saat menghadap sang pencipta semesta dengan segala kemuliaan dan keagungan-Nya? Pasti jauh lebih baik. Inilah yang dikenal pakar ushul fiqh dengan qiyas aulawi.

 

Sebuah hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berbunyi:

 

لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة

Artinya, “Kalau saja aku tidak memberatkan umatku, niscaya pasti kuperintahkan mereka untuk bersiwak di setiap shalat” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Hadits tersebut merupakan bentuk perhatian besar syariat akan kebersihan, terutama saat menghadap Allah dalam shalat. Itu artinya, membersihkan mulut dengan siwak atau sikat gigi jauh lebih mulia dibandingkan membiarkannya dalam keadaan bau. Perdebatan di atas dapat dijumpai lebih detailnya dalam kitab Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam (juz 1, hal. 30).

 

Secara umum, silang pendapat ini terbagi dua; yaitu pendapat yang memakruhkan bersiwak bagi yang berpuasa, dan pendapat yang menganjurkannya. Kelompok yang memakruhkan, di samping berdalil dengan hadis khaluf (tentang bau mulut) di atas, juga diperkuat dengan hadits riwayat Khabbab Ibnu al-Art, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

إذا صمتم فاستاكوا بالغداة ولا تستاكوا بالعشي فإنه ليس من صائم تيبس شفتاه إلا كانتا نورا بين عينيه يوم القيامة

Artinya, “Apabila kalian berpuasa, bersiwaklah di pagi hari, dan jangan bersiwak di waktu sore. Karena siapa pun yang berpuasa, sementara dua bibirnya kering, maka di hari kiamat keduanya akan bersinar di antara dua matanya” (HR al-Baihaqi). (Syekh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, juz 1, hal. 327)

 

Sementara pendapat yang menganjurkan, dikuatkan dengan dalil, di mana Abu Ishaq Ibrahim bin Baithar al-Khawarizmi bertanya kepada ‘Ashim ihwal hukum bersiwak saat puasa di pagi dan sore hari. Berikut redaksi lengkapnya (dalam kitab, juz, dan halaman yang sama):

 

أيستاك الصائم أول النهار وآخره؟ قال نعم، قلت: عمن؟ قال: عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم

Artinya, “Apakah orang puasa boleh bersiwak di pagi dan sore hari? ‘Ashim menjawab, ‘Iya’. ‘Dari siapa?’ tanya Abu Ishaq. ‘Dari Anas bin Malik yang ia terima dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, jawab Anas” (HR Abu Ishaq Ibrahim al-Khawarizmi).

 

Penulis sendiri, lebih condong terhadap pendapat kedua yang menganjurkan untuk membersihkan mulut saat puasa, kapan pun ia membutuhkannya. Sebab, ini lebih realistis dan sesuai dengan tabiat kemanusiaan kita. Lebih penting lagi, pendapat ini lebih ramah sosial dibandingkan pendapat pertama. Wallahu a’lam bisshawâb.

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, Alumni sekaligus pengajar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur. Sekarang, mengampu pengajian kitab Qawâid al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm karya syekh Izzuddin bin Abdissalam.