Syariah

Shalat Khusyu dengan Menghadirkan Niat dalam Hati dan secara Lisan

Ahad, 30 Juni 2019 | 15:30 WIB

Shalat Khusyu dengan Menghadirkan Niat dalam Hati dan secara Lisan

ilustrasi: @wikipedia

Niat bagaikan pintu gerbang yang memisahkan antara dua ruang yang berbeda. Ruang profan keduniawian yang hina dengan ruangan sakral di mana seorang hamba akan berkomunikasi dengan-Nya. Karena itu ketika hati telah berniat, maka pintu itu telah terbuka dan berarti kaki sudah menginjak ke ruang sakral. <>Teguhkanlah hati ucapkanlah selamat tinggal kepada dunia yang penuh dengan berbagai urusan yang sepele. Karena urusan yang ada di depan jauh lebih penting dari segala-galanya.

Hadirkanlah niat di dalam hati bersamaan dengan lisan yang mengucapkan takbir. Karena sesungguhnya niat itu adalah menyengaja melakukan sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya dalam hal ini adalah takbiratul ihram ‘Allahu Akbar’. Panjang kata Allah dalam ‘Allahu Akbar’ menurut Imam Ali Syibromalisi hanya dibatasi maksimal ukuran tujuh alif tidak boleh lebih. Diharapkan dengan panjang tujuh alif ini dapat memuat segala unsur niat yang adalah dalam hati.

Adapun hal yang harus termuat dalam hati ketika berniat adalah kejelasan sifat shalatnya. Fardhu atau sunnah, Dhuhur atau Ashar, dan seterusnya. Oleh karena itulah niat shalat fardhu  minimal berbunyi ushalli fardha dhuhri  (aku niat shalat Dhuhur) adapun keterangan tambahan arba’a raka’tin, mustaqbilal qiblati, ada’an, lillahi ta’ala (empat raka’at, menghadap kiblat, sekarang juga –tidak qadha’-, karena Allah) adalah sunnah hukumnya. Demikian keterangan dalam Fathul Muin.

Selain mengucap takbir di lisan dan niat dalam hati juga harus dibarengi dengan mengangkat tangan dan meletakkannya di bawah dada di atas pusat, dengan tangan kanan di atas tangan kiri. Sebagaimana kemuliaan tangan kanan dai pada tangan kiri. Sebaiknya tangan itu diangkat dengan tidak lertalu tinggi, sekira jari jempol sepadan dengan telinga. Dan diangkat dengan tidak terlalu keras demikian juga ketika menurunkannya.

Syaikh Nawawi dalam NIhayatuz Zain, menerangkan bahwa pengangkatan ini sebagai isyarat membuka hijab antara seorang hamba dan Allah swt. sehingga antara keduanya tidak ada lagi penghalang.

والحكمة فى هذا الرفع الإشارة إلى رفع الحجاب بين العبد وربه. وقال الشافعي وحكمته إعظام جلال الله تعالى ورجاء ثوابه

Hikmah di dalam pengangkatan tangan (ketika takbir) adalah isyarat membukakan tabir antara seorang hamba dan Allah swt. Imam Syafi’I berkata bahwa hikamah mengangkat tangan adalah pengakuan seorang hamba akan keagungan-Nya dan mengharap pahala dari-Nya.        

Dengan kata lain, niat sebagai pintu gerbang memasuki alam sakral harus disertai dengan mengangkat tangan sambil menyeru takbir sebagai pembuka hijab.  Hal seolah menjadi syarat akan penyamaan frekuensi antar seorang hamba dengan Allah swt. karena sebuah komunikasi akan terjalin jika dalam frekuensi yang sama  (Red. Ulil H).


Catatan: Naskah ini terbit pertama kali di NU Online pada Rabu, 21 Mei 2014 pukul 06:00. Redaksi mengunggahnya ulang dengan sedikit penyuntingan.

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua