Shalawat/Wirid

7 Macam Wirid Menurut Sayyid Abdullah Al-Haddad

Jum, 24 Februari 2023 | 11:00 WIB

7 Macam Wirid Menurut Sayyid Abdullah Al-Haddad

Ilustrasi: Dzikir, wirid dan mengaji (Freepik).

Wirid pada umumnya dipahami sebagai amal-amalan berupa bacaan-bacaan tertentu terutama setelah menunaikan shalat. Pemahaman seperti ini sejalan dengan definisi wirid sebagaimana dikemukakan oleh WJS Poerwadarminta sebagai berikut:


“1. Kutipan-kutipan dr Quran yang ditentukan untuk dibaca (untuk dipelajari), 2. Zikir yang diamalkan sesudah salat.” (Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, [Jakarta, PN Balai Pustaka: 1983], halaman 1151).  
 

Namun, definisi tersebut masih sempit atau belum memadai karena baru mencakup wirid-wirid berupa aqwal (ucapan) saja dan belum mencakup wirid yang berupa af’al (perbuatan) maupun afkar (pemikiran atau perenungan).   
 

Pengelompokan macam-macam wirid di atas berdasarkan pada contoh amal-amalan yang juga disebut sebagai wirid oleh Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam kitabnya Risâlatul Mu‘âwanah, sebagai berikut: 
 

  1. wirid berupa shalat sunnah;
  2. wirid membaca Al-Qur'an;
  3. wirid berupa mempelajari ilmu yang bermanfaat;
  4. wirid membaca kitab-kita tafsir, hadits dan tasawuf;
  5. wirid berupa dzikir;
  6. wirid berupa dzikir doa setelah shalat; dan
  7. wirid berupa tafakur; (Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah, [Dar Al-Hawi: 1994], halaman 37-59).
 

Dalam kaitan ini, Muhammad Al-Baqir memberikan keterangan berupa catatan kaki dalam buku terjemahan berjudul “Thariqah Menuju Kebahagiaan” pada halaman 95 sebagai berikut:
 

“Wirid: do’a, zikir, ayat-ayat Al-Quran atau salat dan amal-amal ibadah lainnya yang dibaca atau dikerjakan pada waktu-waktu tertentu setiap hari.” (Muhammad Al-Baqir, Thariqah Menuju Kebahagiaan, halaman 9).
 

Keterangan di atas sejalan dengan amalan-amalan wirid sebagaimana dikemukakan oleh  Sayyid Abdullah Al-Haddad yang menyebutkan bahwa wirid tidak hanya berupa bacaan-bacaan tertentu yang dilakukan setelah shalat, tetapi lebih luas dari itu, yakni amal ibadah apapun bentuknya yang dibaca atau dikerjakan pada waktu-waktu tertentu (tidak selalu setelah shalat) dan dirutinkan setiap hari. 
 

Adapun contoh macam-macam wirid sebagaimana dikemukakan oleh  Sayyid Abdullah Al-Haddad dalam kitab Risâlatul Mu‘âwanah dapat diuraikan sebagai berikut: 
 

1. Wirid shalat sunnah. Sayyid Abdullah Al-Haddad menyebutkan shalat-shalat sunnah yang bisa dijadikan wirid setiap hari adalah shalat sunnah rawatib (shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat fardhu), witir, dhuha dan tahajud. (Halaman 37-40). 
 

2. Wirid membaca Al-Qur'an. Sayyid Abdullah Al-Haddad menjelaskan bahwa sebaiknya paling sedikit dalam sehari semalam kita membaca Al-Quran sebanyak 1 juz (one day one juz), sehingga dalam sebulan bisa khatam 30 juz. Atau membaca surat-surat tertentu pada waktu-waktu tertentu, seperti  surat As-Sajadah, surat Al-Mulk, surat Al-Waqi’ah, surat Al-Kahfi, surat Al-Baqarah ayat 285-286, surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas, dan sebagainya. (Halaman 45).
 

3. Wirid berupa mempelajari ilmu yang bermanfaat. Sayyid Abdullah Al-Haddad menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ilmu bermanfaat dalam hal ini adalah ilmu-ilmu yang menambah pengetahuan kita tentang Allah, hal-hal yang diperintahkan-Nya, hal-hal yang dilarang-Nya dan ilmu yang dapat mendorong kita meraih kebahagiaan akhirat.  
 

Dengan kata lain ilmu bermafaat  yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmu aqidah, syariah dan akhlak. Ilmu-ilmu ini sebaiknya dipelajari setiap hari sebagai wiridan. (Lihat halaman 49).
 

4. Wirid berupa membaca kitab-kitab tafsir, hadits dan tasawuf. Sayyid Abdullah Al-Haddad mendorong kita untuk memperbanyak membaca kitab-kitab tafsir, hadits, dan tasawuf. 
 

Khusus terkait kitab tasawuf, beliau memberikan catatan untuk tidak membaca kitab-kitab atau risalah yang ditulis oleh para tokoh sufi tertentu, seperti  Syekh Muhammad bin Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Arabi yang berisi hal-hal yang samar dan hakikat-hakikat pengetahuan yang tidak jelas (seperti konsep wahdatul wujud: pen.), karena dikhawatirkan menimbulkan pemahaman yang salah bagi pembacanya.
 

Kitab berjudul Al-Mi’raj wal Madhnun karangan Imam Al-Ghazali juga disarankan untuk tidak dibaca. Demikian pula kitab-kitab yang berisi aliran hulul dan ittihad juga disarankan dihindari untuk dibaca demi keselamatan. (Lihat halaman  49-50). 
 

5. Wirid dzikir. Sayyid Abdullah Al-Haddad memberikan contoh wirid berupa dzikir. Dalam hal ini adalah dzikir yang terikat dengan waktu dan bilangan tertentu yang dilakukan dengan hati dan lisan secara bersama-sama. Misalnya adalah taqdis (pengkudusan Allah dengan mengucapkan subhanal malikil quddus) dan tauhid (pengesaan Allah) serta tahlil dengan mengucapkan La ilaha illallah).  
 

Dalan merutinkan wirid ini supaya dilakukan dengan duduk dalam keadaan suci dari hadats besar maupun kecil, di tempat  yang sunyi dengan menghadap kiblat, seluruh anggota badan hendaknya tenang dengan kepala menunduk, dan mengingat Allah dengan hati yang hadir. (Lihat halaman 51-52).
 

6. Wirid dzikir, doa dan shalawat setelah shalat. Sayyid Abdullah Al-Haddad mendorong kita untuk membaca dzikir dan doa setelah shalat. Di antara dzikir dan doa setelah shalat yang paling utama dan dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah doa sebagai berikut: 
 

اللّهُـمَّ أَعِـنِّي عَلـى ذِكْـرِكَ وَشُكْـرِك ، وَحُسْـنِ عِبـادَتِـك
 

Artinya: “Ya Allah, bantulah aku dalam berzikir dan bersyukur kepada-Mu serta membaikkan ibadah kepada-Mu.” 
 

Setelah itu kemudian mengucapkan subhanallah 33 kali, alhamdulillah 33 kali dan Allahu Akbar 33 kali. Lalu menutupnya (untuk melengkapi bilangan seratus) dengan bacaan:
 

لا إلهَ إلاَّ اللَّه وحْدهُ لاَ شَرِيكَ لهُ، لَهُ المُلْكُ، ولَهُ الحمْدُ، وَهُو عَلَى كُلِّ شَيءٍ قَدِيرٌ 
 

Artinya: “Tidak ada Tuhan kecuali Allah yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nya segala kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatu.” 
 

Selain itu, baik juga setelah shalat mewiridkan bacaan shalawat untuk Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat halaman 52-54).
 

7. Wirid berupa tafakur. Sayyid Abdullah Al-Haddad mendorong kita untuk membiasakan diri dengan wirid berupa tafakur (merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah) selama satu atau beberapa jam pada siang dan malam hari. Namun demikian waktu terbaik adalah tengah malam.  
Selanjutnya Sayyid Abdullah Al-Haddad menguraikan macam-macam tafakur, yakni:

  1. tafakur tentang luasnya ilmu Allah;
  2. tafakur tentang kelalaian diri;
  3. tafakur tentang kefanaan kehidupan duniawi;
  4. tafakur tentang kematian; dan
  5. tafakur tentang akhlak, amalan dan hukuman. 
     

Namun demikian, Sayyid Abdullah Al-Haddad mewanti-wanti kaum Muslimin untuk tidak bertafakur tentang Dzat Allah karena bisa terjerumus ke dalam jurang keraguan dan kesesatan. (Lihat halaman 54-59).
 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa wirid sesungguhnya tidak sebatas amalan-amalan yang berupa aqwal (ucapan), tetapi juga mencakup amalan atau af’al (perbuatan) dan afkar (pemikiran/perenungan) yang dilakukan secara teratur pada waktu-waktu tertentu.
 

Cakupan wirid yang cukup luas ini penting diketahui agar kita  tidak mudah menuduh orang yang​​​​​tidak melakukan wirid hanya karena  jarang terlihat membaca amalan-amalan tertentu seusai shalat. Bisa jadi ia lebih banyak melakukan wirid dengan banyak tafakur atau membaca berbagai macam kitab atau buku yang dapat meningkatkan keyakinannya tentang kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala, atau melakukan wirid lainnya. 
 

 

Ustadz Muhammad Ishom, Dosen Fakultas Agama Islam Univesitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.