Sirah Nabawiyah

Ajaran Rasulullah: Memperkuat Persaudaraan dan Persatuan

Sel, 26 Oktober 2021 | 14:00 WIB

Ajaran Rasulullah: Memperkuat Persaudaraan dan Persatuan

Persatuan umat selalu menjadi salah satu idealisme Nabi Muhammad.

Tak satu pun nabi yang Allah beri “stampel” tegas sebagai nabi pembawa rahmat kecuali Nabi Muhammad saw. Tidak heran jika dalam sebuah riwayat menceritakan, Nabi Musa as selalu berharap untuk dijadikan sebagai umat Nabi Muhammad, dengan harapan bisa mendapatkan naungan syafaat darinya.  

 

Meski periode kenabian berlangsung 14 abad lalu, Nabi Muhammad tetap menjadi teladan sepanjang masa. Beliau memang diutus sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, baik yang menerima risalahnya maupun yang tidak. Di antara teladan dari Rasulullah adalah komitmen kuat dan langkah nyata dalam mempersaudarakan umat.

 

Berikut ini adalah upaya-upaya Rasulullah dalam upaya membangun persaudaraan dan persatuan antarumat, baik di internal umat Islam maupun antarpemeluk agama yang berbeda,

 

  1. Mempersaudarakan Anshar dan Muhajirin

Setelah Rasulullah melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah, ada kebijakan penting yang diambil beliau, di antara yang paling masyhur adalah mempersaudarakan sahabat Anshar dan Muhajirin. Sahabat Anshar adalah sahabat Nabi di Madinah yang menerima kedatangan Rasulullah pascahijrah, sedangkan sahabat Muhajirin adalah sahabat Nabi yang melakukan hijrah bersama Nabi dari Makkah ke Madinah.

 

Kedua kelompok ini dipersaudarakan di atas prinsip kebenaran, persamaan, dan hak saling mewarisi harta setelah mati. Ikatan persaudaraan mereka lebih kuat daripada ikatan nasab dan kerabat. Kemudian, Rasulullah menegaskan tali persaudaraan di antara semua sahabat secara umum.

 

Menurut Syekh Said Ramadhan al-Buthi, ketetapan ini tetap berlaku hingga akhirnya di-nasakh (dihapus) ketika Perang Badar Kubra pecah, yaitu saat turun ayat,

 

وَاُولُوا الْاَرْحَامِ بَعْضُهُمْ اَوْلٰى بِبَعْضٍ فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

 

Artinya, “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS Al-Anfal: 75).

 

Ayat ini menghapus ketetapan yang berlaku sebelumnya. Artinya, hak waris berdasarkan ikatan persaudaraan Islam tidak berlaku lagi. Hak waris dikembalikan lagi berdasarkan ikatan darah dan kerabat meskipun secara hakiki, kaum Muslim tetap bersaudara satu sama lain. Sebelum turunnya ayat di atas, sahabat Muhajirin bisa mewarisi harta peninggalan sahabat Anshar, karena ikatan persaudaraan yang telah dijalin Rasulullah di antara mereka, meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah dan kekerabatan (Syekh Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, [Bairut: Darul Fikr, 2019], h. 161).

 

Atas dasar itu, Rasulullah menjadikan persaudaraan dan mempersatukan antara Muhajirin dan Anshar sebagai fondasi untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Semua itu kemudian diaplikasikan di tengah masyarakat yang diakui dunia memiliki sistem sosial paling unggul dan paling canggih pada zamannya.

 

Tahap demi tahap, prinsip-prinsip keadilan itu berkembang dalam wujud hukum dan undang-undang yang bersifat mengikat. Namun, semuanya tetap didasarkan atas fondasi utama, yaitu ukhuwwah islamiyah (persaudaraan Islam). Jika bukan karena fondasi itu, yang berperan memperkokoh aqidah Islam, prinsip-prinsip keadilan mustahil memberikan efek positif dalam pembangunan masyarakat Islam dan penguatan eksistensinya.

 

Sebagaimana ditegaskan oleh Syekh al-Buthi, prinsip persaudaraan yang ditanamkan Rasulullah pada komunitas Islam di Madinah bukan sekadar slogan kosong yang diperbincangkan dari mulut ke mulut, melainkan kebenaran praktik yang terhubung langsung dengan realitas kehidupan dan relasi sosial antara Muhajirin dan Anshar dan dipimpin langsung olehnya (Syekh al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, 2019: 163).

 

Alhasil, visi dan misi ini menjadi sarana paling efektif dalam mewujudkan persatuan kolektif pada masa itu. Semua ini menunjukkan bahwa upaya Rasulullah dalam membangun persaudaraan dan persatuan sosial sangat serius, hingga ia terjun langsung dalam memberikan teladan dalam mengaplikasikan visi mulia tersebut. Dengannya, ikatan sosial dengan asas iman kepada Allah swt semakin terjalin.

 

  1. Persatuan dan Perdamaian lintas Agama

Upaya kedua ini bertepatan setelah peristiwa perang Abwa, yaitu perang pertama dalam Islam yang terjadi pada bulan Safar. Umat Islam menginisiasi adanya perjanjian perdamaian. Tujuan adanya perjanjian ini tidak lain selain agar persatuan dan kerukunan terus terjalin, tak ada pertumpahan darah. Umat Islam tidak mengganggu pemeluk agama lain, pun sebaliknya.

 

Syekh ‘Ali bin Ibrahim bin Ahmad al-Halabi (wafat 1044 H) dalam salah satu kitab karangannya mengatakan, di antara upaya Rasulullah dalam membangun persatuan dan kerukunan itu adalah dengan membuat suatu perjanjian antara umat Islam dengan bani Dlamrah. Adapun isi perjanjian itu adalah sebagai berikut:

 

بِسْمِ اللّهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ. هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمّدٍ رَسُولِ اللّهِ لِبَنِي ضَمْرَةَ، فَإِنّهُمْ آمِنُونَ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَأَنّ لَهُمْ النّصْرَ عَلَى مَنْ رَامَهُمْ إلا أَنْ يُحَارِبُوا فِي دِينِ اللّهِ. وَإِنّ النَّبِي إذَا دَعَاهُمْ لِنَصْرِهِ أَجَابُوهُ، عَلَيْهِمْ بِذَلِكَ ذِمّةُ اللهِ وَذِمّةُ رَسُولِهِ، وَلَهُمْ النّصْرُ عَلَى مَنْ بَرَّ مِنْهُمْ وَاتّقَى.

 

Artinya, “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah surat perjanjian dari Muhammad Rasulullah untuk Bani Dlamrah. Sesungguhnya, harta dan jiwa mereka dijamin keamanannya, dan sesungguhnya mereka akan mendapatkan pertolongan menghadapi orang-orang yang menyerang mereka, kecuali jika mereka memerangi agama Allah. Dan, jika Rasulullah meminta pertolongan kepada mereka, mereka pun akan menolongnya. Mereka mendapat jaminan keamanan dari Allah dan Rasul-Nya dan diberi pertolongan dari mereka yang baik dan menjaga (perjanjian). (Syekh Ali al-Halabi, Insanul ‘Uyun fi Siratil Aminil Ma’mun, [Bairut, Darul Kutub Ilmiah: 2004], juz II, h. 347).

 

Alhasil, adanya perjanjian yang disepakati oleh Rasulullah dengan Bani Dlamrah ini menjadi cara paling efektif untuk membangun persatuan dan kerukunan. Umat Islam dan Bani Dlamrah tidak lagi saling bertikai dan berperang. Kemudian tercipta persatuan antarumat beragama. Tidak hanya itu, buah dari perjanjian ini justru menjadikan Bani Dlamrah semakin tertarik untuk masuk Islam bahkan tidak sedikit dari golongan mereka yang langsung bersyahadat di hadapan Rasulullah usai perjanjian.

 

Ada banyak perjanjian antara Rasulullah dan koalisi kaum kafir selain yang telah disebutkan di atas, dengan tujuan agar persatuan antarumat beragama kembali tercipta, dan tidak ada lagi peperangan antara mereka. Di antaranya adalah upaya Rasulullah dalam menghilangkan peperangan dan merajut persatuan antara umat Islam dan kaum Quraisy, yaitu perjanjian damai (suluh) Hudaibiyah, setelah umat Islam dihalang-halangi untuk melakukan ibadah.

 

Selain itu, Rasulullah juga mempersatukan suku Auz dan Khazraj, setelah sebelumnya saling membunuh antara satu dengan yang lainnya. Upaya yang lain untuk menumbuhkan persatuan dan persaudaraan adalah menghilangkan rasisme dan fanatisme kesukuan. Rasulullah pun membangun masjid untuk membangun rasa solidaritas antarsahabat. (Syekh Ali Muhammad ash-Shalabi, Sirah Nabawiyah ‘Irdu Waqai’ wa Tahlilul Ahdats, [Lebanon, Bairut, Darul Ma’rifah, 2008:  167).

 

Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa sejarah Islam pada masa kenabian menjadi bukti betapa pentingnya persatuan dan kerukunan antarumat Islam dan umat beragama. Peran dan upaya Rasulullah dalam mencegah terjadinya perpecahan di tengah masyarakat multikultural merupakan langkah yang sangat efektif untuk membangun visi dan misi mulia itu.

 

Persatuan umat selalu menjadi salah satu idealisme Nabi Muhammad. Oleh karenanya, salah satu visi dan misi yang sangat diupayakan olehnya adalah persatuan. Bahkan, jika melihat pelbagai peristiwa yang melibatkan umat Islam dan kaum kafir, Rasulullah menggunakan metode-metode alternatif untuk mengarahkan mereka menuju persatuan.

 

Mempersaudarakan sahabat Anshar dan Muhajirin, perjanjian damai dengan Bani Dlamrah, suluh Hudaibiyah, dan beberapa perjanjian lainnya, merupakan jalan terbaik yang Rasulullah upayakan guna menciptakan persaudaraan, persatuan dan solidaritas keagamaan. Oleh karenanya, upaya-upaya dan perjuangan Rasulullah saat itu, seharusnya menjadi teladan bagi umat Islam saat ini, untuk lebih mempererat tali persaudaraan dan persatuan, sehingga kerukunan dan kedamaian bisa dirasakan oleh siapa pun, termasuk oleh bangsa multikultural seperti Indonesia ini.

 

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan.


Konten ini hasil kerja sama NU Online dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI