Sirah Nabawiyah

Kisah Abdul Muttalib, Nufail bin Habib dan Penyerangan Ka’bah oleh Abrahah

Sab, 31 Oktober 2020 | 16:00 WIB

Kisah Abdul Muttalib, Nufail bin Habib dan Penyerangan Ka’bah oleh Abrahah

Lukisan Ka'bah di Makkah. (Gambar: kissclipart.com)

Di tahun Rasulullah dilahirkan, Tahun Gajah (‘âm al-fîl), ada sebuah peristiwa penyerangan tentara gajah yang dipimpin Abrahah untuk menghancurkan Ka’bah. Sebelum upaya penghancuran dilakukan, terjadi perjumpaan singkat antara Abdul Muttalib dan Abrahah. Kisah singkatnya sebagai berikut:

 

Ketika Abrahah sampai di dekat Makkah, tepatnya di al-Magmas, ia memerintahkan tentaranya untuk merampas ternak milik penduduk Makkah dan sekitarnya. Sebagian darinya, sekitar 200 unta milik Abdul Muttalib (wa kâna fî al-sirhi mi’atâ ba’îr li ‘abdil mutthalib). Setelah itu Abrahah mengutus Hannathah al-Himyari ke Makkah untuk membawa ke hadapannya orang yang paling terhormat di kalangan Quraisy (asyraf quraisy), sekaligus untuk menyampaikan bahwa ia datang tidak untuk memerangi bangsa Quraisy, terkecuali jika mereka menghalangi usaha mereka dari menghancurkan Ka’bah. (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyadh: Dar Thayyibah, 1999, juz 8, h. 484).

 

Hannathah al-Himyari mendatangi Makkah dan diarahkan ke rumah Abdul Muttalib bin Hasyim. Ia menyampaikan pesan yang diberikan Abrahah kepadanya. Lalu Abdul Muttalib menjawab:

 

والله ما نريد حربه، وما لنا بذلك من طاقة، هذا بيت الله الحرام، وبيت خليله إبراهيم فإن يمنعه منه فهو بيته وحرمه، وإن يخلي بينه وبينه، فوالله ما عندنا دفع عنه

 

“Demi Allah, kami (pun) tidak berkeinginan untuk memeranginya, (lagi pula) kami tidak memiliki kemampuan untuk itu. Ini adalah rumah Allah yang disucikan (Baitullah al-Harâm), dan rumah kekasih-Nya, yaitu Ibrahim. Karena itu, jika Dia mempertahankannya (atau menjaganya) dari (penghancuran), maka (sudah sepantasnya karena) ia adalah rumah-Nya yang disucikan. Dan, jika Dia membiarkan antara rumah-Nya dan Abrahah, maka demi Allah, kami tidak (memiliki kemampuan) untuk mempertahankannya” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 484-485)

 

Setelah mendengar jawaban Abdul Muttalib, Hannathah al-Himyari mengajak Abdul Muttalib untuk menemui Abrahah, dan ia pergi bersamanya. Ketika Abrahah melihat Abdul Muttalib, ia terkejut atas perawakan Abdul Muttalib yang tinggi, tampan, dan penuh wibawa. Abrahah turun dari singgasananya dan duduk bersama Abdul Muttalib di permadani yang terhampar (al-bisâth). Abrahah berkata kepada penerjemahnya untuk menjelaskan keperluannya, dan Abdul Muttalib mengatakan:

 

إن حاجتي أن يرد علي الملك مائتي بعير أصابها لي

 

“Sesungguhnya keperluanku adalah (meminta agar) raja (berkenan) mengembalikan dua ratus unta milikku yang telah dirampas” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485)

 

Abrahah terkejut mendengarnya, lalu menyuruh penerjemahnya untuk berkata:

 

لقد كنت أعجبتني حين رأيتك، ثم قد زهدت فيك حين كلمتني، أتكلمني في مائتي بعير أصبتها لك، وتترك بيتا هو دينك ودين آبائك قد جئت لهدمه، لا تكلمني فيه؟

 

“Sungguh aku kagum (akan penampilan dan wibawamu) saat (pertama kali) melihatmu, kemudian (kesanku) padamu (berubah menjadi) meremehkan ketika (mendengar) ucapanmu. Apakah kau (hanya) berbicara kepadaku tentang dua ratus untamu yang dirampas, dan mengabaikan rumah (Baitullah) yang merupakan agamamu dan agama nenek moyangmu, (padahal) kedatanganku untuk merobohkannya, (dan kau) tidak berbicara tentang itu kepadaku?” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485)

 

Abdul Muttalib menjawab:

 

إني أنا رب الإبل، وإن للبيت ربا سيمنعه

 

“Sesungguhnya aku adalah pemilik unta itu, dan sesungguhnya untuk rumah itu (Baitullah), Pemiliknya lah yang akan mempertahankannya.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485)

 

Abrahah berkata, “Dia tidak akan bisa menghalangiku merobohkannya.” Abdul Muttalib menjawab, “anta wa dzâka” (jika begitu, [terserah] Anda). (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485)

 

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Abdul Muttalib tidak datang sendirian menemui Abrahah. Ia bersama sejumlah pembesar Arab lainnya. Para pembesar ini menawarkan sepertiga harta Tihamah pada Abrahah dengan syarat Ka’bah tidak dihancurkan. Abrahah menolak tawaran mereka, sekaligus mengembalikan dua ratus unta milik Abdul Muttalib (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485).

 

Kemudian Abdul Muttalib menemui orang-orang Quraisy di Makkah, dan memerintahkan mereka keluar dari kota Makkah (bil khurûj min makkata), dan berlindung di puncak perbukitan, karena takut pada serangan tentara Abrahah. Lalu, Abdul Muttalib bersama sebagian orang-orang Quraisy bergegas menuju Ka’bah dan memegang pintunya. Mereka semua berdoa dan memohon pertolongan kepada Allah dari serangan Abrahah dan tentaranya. Abdul Muttalib berujar sembari memegang pintu Ka’bah:

 

لاهُمَّ إن المرء يمنع رحلَه فامنع حِلَالك لا يغلبن صليبهم ومحالهم غدوا محالك

 

“Ya Allah, sesungguhnya seseorang (harus) mempertahankan rumahnya, karena itu pertahankanlah rumah (milik)-Mu. Jangan sekali-kali biarkan salib dan situs (ibadah yang mereka buat) menang atas rumah-Mu.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485)

 

Tujuan utama Abrahah hendak menghancurkan Ka’bah adalah, agar tempat peribadatan yang ia bangun menjadi destinasi ziarah utama menggantikan Ka’bah. Tempat itu disebut al-Qullais, karena tingginya bangunan membuat qalansuwah (semacam peci) yang memandangnya hampir terlepas dari kepala. Tapi, hal itu tidak berjalan mulus, dan ia memutuskan untuk menghancurkan Ka’bah. (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 484)

 

Setelah selesai berdoa, Abdul Muttalib bersama orang-orang Quraisy keluar menuju daerah perbukitan. Menurut Imam Muqatil bin Sulaiman, orang-orang Quraisy meninggalkan dua ratus unta di sekitar Ka’bah untuk dikurbankan, dengan harapan ada sebagian bala tentara Abrahah yang mengambilnya tanpa hak, akibatnya Allah akan menghukum mereka (la’alla ba’dl al-jaisy yanâlu minhâ syai’an bi ghairi haqqin, fa yantaqimullah minhu). (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485).

 

Di pagi harinya, Abrahah bersiap memasuki Makkah dan menyiapkan gajahnya yang bernama Mahmud. Bala tentaranya pun disiapkan. Setelah semuanya siap, tentara Abrahah menghadapkan gajah ke arah Makkah. Namun, sebelum gajah disiapkan menuju Makkah, Nufail bin Habib membisikkan sesuatu ke gajah tersebut. Ia berkata:

 

ابرك محمود، وارجع راشدا من حيث جئت، فإنك في بلد الله الحرام

 

“Mahmud, menderumlah, dan kembalilah ke arah dari mana kau datang. Karena sesungguhnya kau berada di negeri Allah yang disucikan” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485)

 

Nufail bin Habib al-Khas’ami adalah orang yang menghalangi laju tentara Abrahah ketika melintasi wilayah Khas’am. Ia dan pengikutnya berhasil menahan tentara Abrahah selama dua bulan, meski pada akhirnya Abrahah berhasil mengalahkannya dan menawan Nufail bin Habib. Pada mulanya, Abrahah hendak membunuhnya, tapi ia urungkan niatnya dan menjadikan Nufail sebagai penunjuk jalan. (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 484).

 

Setelah mendengar bisikan Nufail bin Habib, gajah itu menderum (berlutut dengan keempat kakinya), dan Nufail bergegas lari menuju perbukitan tempat orang-orang Quraisy berlindung. Para tentara memukul-mukul gajah, berusaha membuatnya berdiri, tapi tidak berhasil. Mereka pun memukul kepalanya dengan alat berat dan memasukkan tongkat di telinganya, tapi gajah itu tetap diam. Mereka mencoba mengarahkannya ke arah Yaman, gajah itu bangkit dengan sendirinya dan berjalan setengah berlari menuju ke arah Yaman. Kemudian mereka mengarahkannya ke arah Syam, dan hal yang sama pun terjadi, gajah itu bangkit dan berjalan menuju ke arahnya. Namun, jika diarahkan ke Makkah, gajah itu menderum dan tidak mau bergerak sedikit pun (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485).

 

Kemudian Allah mengirim sekelompok burung dari arah laut. Setiap burung membawa tiga batu, satu di paruhnya dan dua di kakinya. Besar batu itu kurang lebih sebesar kacang. Tidak seorang pun yang tidak binasa terkena batu itu, dan mereka lari tunggang langgang. Sementara orang-orang Quraisy dan Arab lainnya menyaksikan kejadian itu dari atas bukit. Banyak dari pasukan Abrahah yang mencari Nufail bin Habib agar ditunjukkan jalan pulang, tapi ia berada di atas bukit bersama orang-orang Quraisy dan Arab lainnya.

 

Dan, di tahun inilah Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan. Sebuah kelahiran yang menandai perubahan zaman, dari kegelapan menuju terang benderang. Allahumma shalli wasallim ‘alaih.

 

Wallahu a’lam bish-shawwab....

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen