Sirah Nabawiyah

Kisah Ibnu Mas’ud tentang Berhemat dalam Memberikan Nasihat

Ahad, 9 Januari 2022 | 13:00 WIB

Kisah Ibnu Mas’ud tentang Berhemat dalam Memberikan Nasihat

Ibnu Mas’ud sengaja memberikan ceramah dengan waktu yang jarang, sebagaimana Rasulullah saw memberikan ceramah kepadanya. (Ilustrasi: IlmFeed)

Nabi Muhammad saw menjelaskan bahwa agama adalah nasihat. Kebaikan-kebaikan yang terkandung dalam setiap ajaran agama hendaknya mendorong manusia agar saling menasihati dalam kebaikan pula. Namun, Nabi Muhammad juga memberikan teladan bahwa nasihat hendaknya tidak dilakukan dengan intensitas sering sehingga akan membuat seseorang menjadi bosan dan mengurangi kualitas nasihat itu sendiri.


Berhemat dalam memberikan nasihat disampaikan oleh KH Zakky Mubarak (2021) yang mengungkapkan kisah tentang salah seorang sahabat senior Nabi Muhammad bernama Ibnu Mas’ud.


Ibnu Mas’ud yang juga banyak meriwayatkan hadits shahih mempunyai tradisi memberikan nasihat kepada para jamaah. Namun, nasihat tersebut ia lakukan hanya satu hari dalam sepekan, yaitu setiap hari Kamis saja.


Dari tradisi berhemat dalam memberikan nasihat tersebut, tiba-tiba ada salah seorang jamaah yang menggebu-gebu dalam mencari nasihat. Ia meminta kepada Ibnu Mas’ud agar memberikan nasihat setiap hari, bukan hanya satu hari sepekan.


Merespons keinginan salah seorang jamaahnya itu, Ibn Mas’ud menjelaskan bahwa sebetulnya tidak ada halangan dan tidak ada keberatan baginya untuk memberikan nasihat atau ceramah setiap hari. Tetapi ia khawatir kalau jamaah merasa bosan.


Ibnu Mas’ud sengaja memberikan ceramah dengan waktu yang jarang, sebagaimana Rasulullah saw memberikan ceramah kepadanya. Kata Ibn Mas’ud, Rasulullah saw merasa khawatir kalau kami bosan menerima nasihat (HR. Muslim).


Kisah tersebut juga menegaskan bahwa seseorang yang gemar mengobral nasihat menunjukkan bahwa orang tersebut banyak bicara dan mengobral perkataan. Hal itu merupakan petunjuk bahwa seseorang itu kurang baik.


KH Zakky Mubarak menukil salah satu Sabda Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan dari Abi Yakhdzan, Amr bin Yasr ra:


فَقَالَ أَبُوْ يَقْظَانَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ، وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ، مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ، فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ، وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ، (رواه مسلم)


Abu Yaqdzan ra berkata: Sesungguhnya ia telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan singkatnya khotbah menunjukkan kecerdasannya dan ke dalam ilmunya. Maka panjangkanlah shalatmu dan persingkatlah khutbahmu”. (HR. Muslim Nomor 869)


Rasulullah saw dijelaskan dalam banyak riwayat bahwa ia senantiasa memberikan nasihat dengan lemah lembut, tidak pernah memukul, membentak, dan memaki sahabatnya. Hal itu sesuai tuntunan Al-Qur’an bahwa dakwah, ceramah, dan nasihat wajib dilakukan dengan sikap yang mengedepankan kebijaksanaan.


ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ


Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan berbantahlah dengan mereka secara baik.” (QS. An-Nahl: 125)


Bahkan umat manusia bisa melihat bahwa sosok Nabi Muhammad merupakan nasihat itu sendiri karena kemuliaan dan keluhuran akhlaknya.


Habib Luthfi bin Yahya dalam buku Secercah Tinta (2012) mengungkapkan tiga penopang keberhasilan dakwah Nabi Muhammad yang nukil dari sebuah ayat Al-Qur’an:


لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ 


Artinya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Taubah: 128)


Pertama, azizun ‘alaih ma’anittum (berat terasa olehnya penderitaanmu). Karena sepanjang hayatnya, terutama yang dipikirkan oleh Nabi Muhammad adalah umatnya. Ia sama sekali tidak menginginkan umatnya menderita di hari kemudian.


Kedua, harishun ‘alaikum (sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu). Ini merupakan ungkapan cinta, kasih sayang sekaligus harapan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya.


Ketiga, bil mu’minina raufur rahim (amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin). Beliau memiliki rasa kasih sayang teramat mendalam pada kaum beriman.


Tiga sifat itulah yang kemudian menopang keberhasilan nasihat dan dakwah Nabi Muhammad. Akhlak mulia, cinta, dan kasih sayang yang mewujud dalam penjelasan ayat di atas merupakan fondasi dakwah Nabi dengan mengedepankan akhlakul karimah karena tersimpan harapan besar Nabi Muhammad kepada umatnya.

 

Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon