Sirah Nabawiyah

Peran dan Keadaan Wanita Sebelum dan Sesudah Datangnya Islam

Rab, 20 Juli 2022 | 16:01 WIB

Peran dan Keadaan Wanita Sebelum dan Sesudah Datangnya Islam

Sebelum menikah, hak kekuasaannya dimiliki oleh ayah dan saudaranya yang laki-laki. Setelah menikah, ia dimiliki suaminya. Dengan kata lain, wanita tidak memiliki peran sama sekali dalam hidupnya sendiri.

Agama Islam adalah ajaran yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan kemuliaan. Ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad ini menjadi agama revolusioner yang mampu merubah suatu keadaan hina menjadi mulia, keadaan yang buruk menjadi sempurna. Di antara bukti dari semua itu adalah penghormatan agama Islam pada wanita.


Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam salah satu kitabnya, Fiqhu al-Mar’ah dalam kitabnya menjelaskan keadaan dan peran wanita sebelum datangnya Islam. Menurutnya, keadaan wanita sebelum datangnya Islam sangat menyedihkan.

 

Sebelum menikah, hak kekuasaannya dimiliki oleh ayah dan saudaranya yang laki-laki. Setelah menikah, ia dimiliki suaminya. Dengan kata lain, wanita tidak memiliki peran sama sekali dalam hidupnya sendiri. Kerajaan dan bangsa besar yang ada saat itu juga memperlakukan wanita dengan sangat hina, di antaranya:


Bangsa Arab Jahiliyah

Kedudukan wanita pada masa Arab jahiliah dan di dunia secara umum, adalah kehidupan dalam kehinaan dan kerendahan. Khususnya di bumi Arab, para wanita dibenci kelahiran dan kehadirannya di dunia. Sehingga kelahiran bagi mereka merupakan awal dari kematiannya. Para bayi wanita yang dilahirkan di masa itu segera di kubur hidup-hidup di bawah tanah. Kalaupun para wanita dibiarkan untuk terus hidup, mereka akan hidup dalam kehinaan dan tanpa kemuliaan. Sebbagaimana firman Allah,


وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ


Artinya, “Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, ‘Karena dosa apa dia dibunuh?’” (QS. At-Takwir [81]: 8-9)


Tidak hanya itu, wanita yang sempat hidup dewasa mereka dilecehkan dan tidak memperoleh bagian dalam harta warisan. Mereka dijadikan sebagai alat pemuas nafsu para lelaki belaka, yang ketika telah puas direguk, segera dibuang tak ada harga dan nilai. Di masa itu pula, para lelaki berhak menikahi banyak wanita tanpa batas, tidak mempedulikan akan keadilan dalam pernikahan.


Bangsa Yunani

Salah satu bangsa hebat yang sangat dikenal sebelum datangnya Islam adalah Yunani. Bangsa ini terkenal memiliki peradaban dan kebudayaan yang maju saat itu. Hanya saja, peradaban dan budaya yang maju tidak lantas membuat wanita mulia. Sejumlah fakta mengatakan bahwa perempuan pada sistem kemasyarakatan bangsa Yunani tidak memiliki tempat yang layak.


Kaum laki-laki saat itu mempercayai bahwa wanita merupakan sumber penyakit dan bencana. Sehingga mereka memposisikan perempuan sebagai makhluk yang rendah dan sangat hina. Ini bisa dilihat ketika seorang lelaki menerima tamu, para perempuan saat itu hanya dijadikan pelayan dan budak semata. Bahkan, perempuan tidak boleh disejajarkan dalam satu meja makan dengan kaum pria.


Beberapa perubahan yang terjadi seiring perjalanan waktu, tak banyak memberikan keuntungan bagi wanita. Nafsu syahwat dijadikan dasar diberikannya kebebasan bagi para wanita. Dengan kata lain, kebebasan yang diberikan kepada mereka hanya sebatas seksual semata. Oleh karenanya, tak heran bila pada zaman itu banyak perempuan yang menjadi pelacur.


Bangsa Romawi

Bangsa lain yang juga tidak kalah hebat adalah Romawi. Bangsa ini dikenal memiliki militer yang sangat kuat. Bangsa mana pun akan kewalahan jika sudah berhadapan dengan bangsa ini. Hanya saja, kehebatan militer tak membuktikan bahwa mereka juga hebat dalam memuliakan wanita.


Dalam catatan sejarah, kaum lelaki pada masa itu, memiliki hak mutlak terhadap keluarganya. Ia bebas melakukan apa saja terhadap wanita. Saat itu, mereka diperlakukan layaknya budak, bisa dijual dan dibeli kapan pun dan di mana pun. Bahkan, diperbolehkan bagi laki-laki membunuh istri dalam keadaan tertentu.


Meski peradaban Romawi mengalami perkembangan yang sangat pesat dan signifikan, namun tetap saja perempuan berada dalam posisi yang hina; sebagai pemuas nafsu lelaki saja. Meski perempuan mendapatkan kebebasan, bentuknya hanya sebatas bebas menikah dengan lelaki mana saja. Tak pelak bila perceraian pada masa itu jumlahnya sangat besar, sekalipun penyebabnya sangat sepele.


Peradaban Persia

Membahas tentang peradaban yang maju, maka Persia juga tidak kalah maju dengan bangsa lainnya. Bahkan, Persia merupakan koloni yang menetapkan hukum dan sistem sosial bagi wilayah jajahannya. Hanya saja, hukum yang mereka terapkan tak memberikan keadilan bagi perempuan. Bila ada perempuan yang melakukan kesalahan, sekalipun kecil, akan dihukum dengan berat. Bahkan bila ia mengulangi kesalahannya, tak segan hukuman mati akan dijatuhkan.


Di negeri itu, seorang perempuan dilarang menikah dengan lelaki yang bukan penganut ajaran Zoroaster (agama kuno di Persia) sedangkan lelaki bebas bertindak sesuai dengan kehendaknya. Kehidupan perempuan menjadi terbelenggu. Tidak itu saja. Bila dalam keadaan haid, mereka akan diisolasi ke tempat yang jauh di luar kota dan tak satu pun yang boleh bergaul dengannya, selain pelayan yang meletakkan makanan atau minuman untuknya.


Demikian gambaran-gambaran keadaan wanita sebelum datangnya Islam. Mereka tidak merasakan keadilan sedikit pun. Diperlakukan tidak sebagaimana mestinya, tidak diberikan haknya. Seolah, wanita saat itu sama halnya dengan hewan yang bisa diperlakukan sesuai kehendak pemiliknya.


Wanita Setelah Datangnya Islam

Dalam kondisi yang tidak manusiawi seperti itu, Islam datang dengan membawa ajaran dan program-program kemanusiaan, termasuk mengangkat derajat wanita dan memberikan hak kebebasan kepada mereka. Islam memberikan hak-hak istimewa kepadanya, sesuai dengan fungsi dan kedudukannya. Wanita dan pria berasal dari keadaan yang sama, dan mereka pun mempunyai balasan yang sama pula di sisi Allah.


Syekh Muhammad Mutawali asy-Sya’rawi dalam kitabnya mengatakan:


اِنَّ الاِسْلَامَ حِيْنَ جَاءَ اِلَى الْعَالَمِ رَفَعَ مَكَانَةَ الْمَرْأَةِ وَأَعْطَاهَا حُرِّيَتَهَا وَكَرَامَتَهَا وَشَخْصِيَتَهَا وَسَاوَى بَيْنَهَا وَبَيْنَ الرَّجُلِ فِي الْحُقُوْقِ وَالْوَاجِبَاتِ.


Artinya, “Sungguh ketika Islam datang ke bumi, ia mengangkat derajat wanita, memberikan kebebasannya, kemuliaannya, keperibadiannya, serta menyamaratakannya dengan laki-laki dalam hak-hak dan kewajiban.” (Syekh Sya’rawi, Fiqhu al-Mar’ah al-Muslimah, 2019, halaman 9).


Di antara bentuk dan program dalam Islam yang memuliakan wanita adalah penyamarataan dengan laki-laki dalam hal perolehan pahala dan siksa atas suatu perbuatan, sebagaimana firman Allah, yaitu:


مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ


Artinya, “Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl [16]: 97)


Allah melarang manusia untuk menjadikan sebagai harta benda milik suami, yang jika suami tersebut mati dapat diwarisi sebagaimana halnya harta benda. Allah juga melarang manusia untuk mengambil apa yang telah diberikan ahli waris kepada wanita. Selain itu, Dia juga memerintahkan manusia untuk bergaul dengan cara yang baik dengannya. Dia berfirman:


يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهاً وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ


Artinya, “Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang baik.” (QS An-Nisa [4]: 19)


Demikian sejarah wanita yang dianggap hina dan tidak memiliki peran apa-apa dalam hidupnya sebelum datangnya Islam, hingga mengangkat derajat dan memberikan haknya setelah datangnya Islam. Wallahu a’lam.

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.