Sirah Nabawiyah

Perang Abwa dan Perjanjian Damai Rasulullah dengan Bani Dlamrah

Sab, 11 September 2021 | 00:45 WIB

Perang Abwa dan Perjanjian Damai Rasulullah dengan Bani Dlamrah

Tidak hanya itu, perang Abwa juga menjadi permulaan perang dari beberapa peperangan selanjutnya. (vipis.org)

Membahas tentang peperangan yang terjadi pada zaman Rasulullah, maka yang tergambar adalah upaya Rasulullah dan para sahabat untuk menegakkan Islam agar tidak diremehkan oleh orang-orang kafir. Perang yang terjadi saat itu merupakan solusi terakhir yang memang tidak bisa ditawar dengan solusi yang lain. Dari adanya perang yang merupakan solusi terakhir itu, ada beberapa peperangan di mana umat Islam berhasil meraih kemenangan dan sukses dalam membumikan Islam di wilayah tersebut, dan ada juga beberapa peperangan yang umat Islam justru harus menerima kekalahan.


Imam Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim ats-Tsa’labi (wafat 427), dalam salah satu karya tafsirnya mengatakan, bahwa peperangan yang terjadi pada masa Rasulullah sangat banyak, dan bisa terbagi menjadi dua bagian, (1) peperangan yang diikuti oleh Rasulullah; dan (2) peperangan yang tidak diikuti olehnya. Menurut ats-Tsa’labi, jumlah peperangan yang diikuti Rasulullah pada masa hidupnya adalah sebanyak dua puluh enam peperangan, di antaranya adalah perang Abwa’ atau yang juga dikenal dengan perang Waddan. (ats-Tsa’labi, Al-Kasyfu wal Bayan ‘an Tafsiril Qur’an, [Bairut, Darul Ihya al-‘Arabi, Lebanon: 2002], juz VI, halaman 475).


Waddan atau Abwa merupakan salah satu daerah yang terletak di antara kota Makkah dan Madinah. Oleh karenanya, perang ini diberi nama Perang Abwa/Wuddah. Perang yang satu ini memang tidak terlalu masyhur sebagaimana perang Uhud dan perang Badar, bahkan dalam kitab-kitab sirah juga jarang disebutkan. Meski demikian, perang ini tetaplah peristiwa bersejarah yang tidak boleh dilupakan umat Islam dalam mengingat perjuangan Rasulullah. Tidak hanya itu, perang Abwa juga menjadi permulaan perang dari beberapa peperangan selanjutnya.


Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dalam sirah-nya menjelaskan, bahwa hadits-hadits shahih dan atsar menyebutkan perintah perang turun setelah hijrahnya Rasulullah. Di antaranya adalah hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, kemudian dipublish oleh Syekh al-Buthi:


اَلْأَنَ نَغْزُوْهُمْ وَلَايَغْزُوْنَا


Artinya, “Saat ini, kita yang akan memerangi mereka, bukan mereka yang akan memerangi kita.” (HR Bukhari)


Menurut al-Buthi, hadits ini akhirnya direalisasikan pada bulan Safar tahun kedua hijriah bertepatan dengan bulan Agustus, tahun 623 M, tepatnya 12 bulan setelah Rasulullah menetap di Madinah setelah hijrah. Saat itulah pertama kali Rasulullah bergerak keluar untuk berperang. Saat itu pula, ia hendak menyerang kaum Quraisy dan Bani Hamzah. Namun, Bani Hamzah menawarkan perjanjian sehingga perang tidak terjadi. Rasulullah dan para sahabat kembali ke Madinah. Perang pertama ini dikenal dengan sebutan Perang Waddan. (Al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah ma’a Mujazin li Tarikhil Khilafahir Rasyidah, [Bairut, Darul Fikr: 2019], halaman 171).


Sebagaimana jamak diketahui, hijrah Rasulullah dan para sahabat ke Madinah untuk menghindar dari ancaman dan hinaan orang kafir Quraisy yang selalu mengganggu mereka. Perjuangan umat Islam di Makkah mendapat tantangan yang sangat hebat dari pemuka Quraisy. Umat Islam menerima serangan dan mental, dikucilkan dan diberi sanksi berupa embargo ekonomi. Sebagian dari mereka ada yang terpaksa melakukan hijrah ke Habsyah karena kerasnya penindasan yang dilakukan orang kafir Quraisy. Nabi Muhammad dituduh sebagai penyair, bahkan ada yang menuduhnya sebagai tukang sihir. Al-Qur’an dianggap sebagai syair yang dirangkai oleh Nabi Muhammad.


Hari demi hari umat Islam mendapatkan tekanan dan cobaan yang begitu kuat dari orang kafir Quraisy. Ketika itulah, kaum muslimin terpaksa melakukan hijrah ke Madinah. Sesampainya di Madinah, perlakuan aniaya kafir Quraisy tidak berhenti begitu saja, mereka tidak tinggal diam dan membiarkan Rasulullah hidup tenang bersama sahabat Muhajirin dan Anshar di sana. Ancaman datang silih berganti, hinaan dan fitnah selalu berdatangan kepada mereka, tebaran fitnah sana-sani, bahkan, tidak lama setelah hijrahnya Nabi Muhammad, kafir Quraisy mengumumkan perang untuk menyerang Rasulullah dan umat Islam.


Di saat yang sama, umat Islam benar-benar berada dalam ancaman yang tidak gampang. Siap atau tidak sekali pun, mereka harus berani menghadapi koalisi kafir Quraisy yang hendak memerangi mereka. Dalam kondisi seperti itulah Allah menurunkan ayat pertama yang mengizinkan umat Islam untuk berperang. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:


أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ


Artinya, “Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.” (QS Al-Hajj: 39).


Syekh Dr. Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ayat pertama yang memberi izin kepada umat Islam untuk melakukan perang. Tepatnya pada tahun kedua setelah hijrahnya Rasulullah ke Madinah. Latar belakang turunnya ayat ini tidak lain disebabkan banyaknya hinaan dan cacian sekaligus ancaman yang kerap diluncurkan oleh orang kafir dan musyrik kepada umat Islam saat itu. (Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, [Bairut, Darul Fikr, Damaskus: 2012], juz II, halaman 261).


Strategi Rasulullah

Setelah orang kafir Quraisy mengampanyekan perang melawan umat Islam dan ada izin dari Allah swt untuk memberikan perlawanan kepada mereka. Tibalah waktunya umat Islam unjuk badan menghadapi semua kekejaman yang orang kafir lakukan kepada mereka. Peperangan ini kemudian disebut dengan perang Abwa (ghazwatul Abwa’) atau ada juga yang menamainya dengan perang Waddan (ghazwatul Waddan).


Syekh Sulaiman bin Musa al-Andalusi (wafat 643 H) mengatakan, sebelum Rasulullah dan para sahabat bergegas menuju lokasi perang, ia merencanakan strategi yang akan digunakan saat perang meletus, kesepakatan terakhir yang diambil Rasulullah dan para sahabat adalah strategi menyekat kaum Quraisy yang didominasi oleh orang-orang kafir Quraisy dan orang Musyrik lainnya, yaitu umat Islam berpencar dan menempati tempat yang berbeda, tujuannya tidak lain kecuali agar orang kafir Quraisy bisa dikepung di tempat tersebut.


Namun, rencana matang yang umat Islam sepakati tidak terlaksana, hal itu disebabkan orang-orang kafir telah pergi dan pulang sebelum umat Islam datang. Akibatnya, strategi yang sudah disepakati tidak bisa diterapkan serta upaya pengepungan mereka tidak terlaksana. (Sulaiman al-Andalusi, al-Iktifa min Maghazi Rasulillah wal Khulafa, [Bairut, Darul ‘Alam: 1999], juz II, halaman 5).


Perjanjian Rasulullah dan Bani Dlamrah

Setelah umat Islam tidak mendapati seorang pun di tempat perang, mereka pulang tanpa terjadi peperangan dan genjatan senjata. Namun, tanpa Rasulullah dan sahabat sadari, mereka disekat oleh kaum kafir yang diprakarsai oleh Makhsy bin Amr adl-Dlamrah, dan beberapa koalisi kaum kafir dari Bani Dlamrah.


Melihat reaksi mereka yang datang secara tiba-tiba, umat Islam langsung sigap dan siap untuk meluluhlantakkan dan memukul mundur pasukan yang dipimpin oleh Makhsy bin Amr. Hanya saja, kedatangan mereka ternyata bukan untuk berperang melawan Rasulullah dan umat Islam saat itu, mereka hanya ingin membuat kesepakatan dengan Rasulullah agar antarmereka dan umat Islam tidak berperang sehingga keputusan damai disepakati oleh Rasulullah dan pasukan Bani Dlamrah.


Syekh ‘Ali bin Ibrahim bin Ahmad al-Halabi (wafat 1044 H) dalam salah satu kitab karangannya mengatakan, di antara isi perjanjian itu adalah sebagai berikut:


بِسْمِ اللّهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ. هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمّدٍ رَسُولِ اللّهِ لِبَنِي ضَمْرَةَ، فَإِنّهُمْ آمِنُونَ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَأَنّ لَهُمْ النّصْرَ عَلَى مَنْ رَامَهُمْ إلا أَنْ يُحَارِبُوا فِي دِينِ اللّهِ. وَإِنّ النَّبِي إذَا دَعَاهُمْ لِنَصْرِهِ أَجَابُوهُ، عَلَيْهِمْ بِذَلِكَ ذِمّةُ اللهِ وَذِمّةُ رَسُولِهِ، وَلَهُمْ النّصْرُ عَلَى مَنْ بَرَّ مِنْهُمْ وَاتّقَى.


Artinya, “Dengan menyebut nama Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Ini adalah surat perjanjian dari Muhammad Rasulullah untuk Bani Dlamrah. Sesungguhnya, harta dan jiwa mereka dijamin keamanannya, dan sesungguhnya mereka akan mendapatkan pertolongan menghadapi orang-orang yang menyerang mereka, kecuali jika mereka memerangi agama Allah. Dan, jika Rasulullah meminta pertolongan kepada mereka, mereka pun akan menolongnya. Mereka mendapat jaminan keamanan dari Allah dan Rasul-Nya dan diberi pertolongan dari mereka yang baik dan menjaga (perjanjian). (‘Ali al-Halabi, Insanul ‘Uyun fi Siratil Aminil Ma’mun, [Bairut, Darul Kutubil ‘Ilmiah: 2004], juz II, halaman 347).


Sebagaimana penjelasan di atas, perang ini merupakan perang pertama di mana Rasulullah terjun langsung dalam memimpin jalannya peperangan. Ini menunjukkan bahwa umat Islam bukanlah kelompok lemah yang bisa dihina dan diremehkan oleh kafir Quraisy dan orang-orang musyrik saat itu.


Umat Islam sudah memiliki kekuatan militer yang cukup untuk memberikan perlawanan kepada siapa pun yang mencoba memerangi ajaran Islam dan menghalangi penyebarannya. Demikian sejarah perang Abwa/Waddan yang bisa penulis sampaikan. Wallahu A’lam bisshawab.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan.