Sirah Nabawiyah

Persembahan Qabil dan Habil: Kurban Perdana yang Berbuah Petaka

Ahad, 2 Januari 2022 | 18:00 WIB

Persembahan Qabil dan Habil: Kurban Perdana yang Berbuah Petaka

Allah  memerintahkan Nabi Adam ‘alaihissallam untuk menikahkan putra dan putrinya yang tidak menjadi bagian saudara kembarnya (Qabil dengan Layudza dan dan Habil dengan Iqlimiya).

Syekh Syamsuddin al-Qurthubi dalam Kitab al-Jami’ li Ahkamil Qur’an menceritakan tentang cikal bakal pertama kali pelaksanaan kurban dilakukan. Dalam kitabnya disebutkan bahwa orang pertama yang melakukan kurban adalah Qabil dan Habil, yaitu kedua putra Nabi Adam ‘alaihimus salam.


Kejadian itu terjadi ketika Nabi Adam diperintah oleh Allah  untuk menikahkan putra putrinya. Dalam catatan sejarah, setelah Nabi Adam dan Siti Hawa diturunkan ke bumi dan memiliki dua putra serta dua putri, yaitu Qabil yang kembar dengan Iqlimiya, dan Habil yang kembar dengan Layudza.


Allah  memerintahkan Nabi Adam ‘alaihis salam untuk menikahkan putra dan putrinya yang tidak menjadi bagian saudara kembarnya (Qabil dengan Layudza dan dan Habil dengan Iqlimiya).


Setelah perintah itu disampaikan kepada anak-anaknya, rupanya Qabil tidak bisa menerima perintah ini. Ia lebih suka untuk menikahi saudara kembarnya sendiri, yaitu Iqlimiya, yang memang lebih cantik daripada Layudza. Dengan sikap sangat menolak, Qabil berkata:


قال قابيل أنا أحق بأختي


Artinya, “Qabil berkata, saya lebih berhak dengan saudara perempuanku.” (Syekh Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Beirut: Darul Fikr, 2003], juz VI, halaman 134).


Qabil tidak menerima dengan perintah itu, bahkan ia berdalih bahwa seharusnya pernikahan itu terjadi antara saudara kembar, karena baginya, saudara kembar menunjukkan hak dan tidaknya untuk dinikahi. Jika sudah kembar, maka tentunya saudara kembarnya yang pastas.


Berbagai nasihat dan rayuan disampaikan Nabi Adam pada Qabil agar ia mau menikahi Layudza dan mengikhlaskan saudara kembarnya menikah dengan Habil. Hanya saja, berbagai upaya yang dilakukan sang ayah sama sekali tidak membuahkan hasil. Bahkan, tak sesekali Qabil melempar kata-kata tidak sopan kepadanya.


Ia berani berkata, “Allah tidak pernah memerintahkan pernikahan ini. Semuanya hanyalah kehendakmu sendiri.”


Sikap keras kepala yang ditampakkan oleh Qabil membuat ayahnya begitu terpukul, Nabi Adam sangat bingung untuk menyikapinya. Sebagai sosok ayah dari keduanya, Nabi Adam tidak menginginkan pernikahan itu dilaksanakan dengan cara keras kepala berupa upaya memaksa keduanya untuk sama-sama menerima. Dalam keadaan seperti itu, akhirnya Nabi Adam mengatakan:


فقال آدم فقربا قربانا فأيكما يقبل قربانه فهو أحق بالفضل


Artinya, “Nabi Adam berkata, (lakukankalah) dengan kurban. Siapa saja yang kurbannya diterima (oleh Allah), dia lebih berhak untuk mendapatkan yang baik (Iqlimiya).” (Al-Qurthubi, 2003 M: VI/134).


Setelah itu, keduanya sepakat untuk melakukan kurban dan menentukan waktu kapan dilakukannya ritual itu. Qabil sangat yakin bahwa dirinya yang lebih layak dan lebih berhak untuk bisa menikahi saudara kembarnya. Ia juga sangat yakin bahwa kurbannya yang akan diterima oleh Allah.


Pada waktu yang telah ditentukan, masing-masing dari Qabil dan Habil sudah siap dengan kuban persembahannya.


Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Qabil yang merupakan seorang petani mengurbankan hasil panennya. Hanya saja ia memilih hasil panen yang paling buruk dan jelek. Bahkan, di tengah perjalanan, saat melihat masih ada bulir yang bagus dan baik dari hasil panen yang dibawa, Qabil mengambilnya, membersihkannya, kemudian memakannya.


Adapun Habil yang berprofesi sebagai peternak kambing membawa kambing terbaiknya untuk dikurbankan. Ia sangat berhati-hati ketika memilih, bahkan sangat memperhatikan kambingnya yang lain khawatir masih ada kambing yang lebih baik dari kurban yang akan ia bawa. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut: Darul Fikr, 1997 M], juz VI, halaman 158).


Setelah mereka berdua melaksanakan kurban, lantas Nabi Adam berdoa kepada Allah  untuk menentukan kurban siapa yang diterima-Nya. Setelah beberapa waktu dari doa yang dipanjatkan Nabi Adam, ternyata kurban Habil yang diterima. Dengan demikian, Habil yang berhak untuk menikahi Iklimiya.


Melihat semua itu, Qabil pun sangat iri dan marah pada saudaranya. Bahkan dengan sikap tidak menerima akan hasil yang telah menjadi ketetapan Allah, ia mengancamnya dengan mengatakan:


أتمشي على الأرض يراك الناس أفضل مني؟ لأَقْتُلَنَّكَ


Artinya, “Apakah engkau akan berjalan dengan bangga di bumi ini dan orang-orang akan mengira bahwa engkau lebih baik dari diriku? Sungguh aku akan membunuhmu.”


Mendengar ancaman saudaranya, dengan tenang Habil menjawab,


ولم تقتلني؟ ولا ذنب لي في قبول الله قرباني. وإنما يتقبل الله من المتقين


Artinya, “Kenapa engkau akan membunuhku? Sedangkan tidak ada yang salah bagiku ketika Allah menerima kurbanku. Sungguh Allah menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qurthubi, 2003 M: VI/134).


Mendengar jawaban dari Habil, bertambahlah kemarahan dan sifat berang pada adiknya itu. Bahkan ia benar-benar berniat untuk membunuhnya ketika sudah ada kesempatan.


Qabil sangat tidak menerima dengan hasil dari kurban yang telah dilakukan, apalagi mendengar nasihat dari adiknya. Ia sudah lupa akan kemanusiaan bahkan lupa dengan saudaranya sendiri. yang terlintas dalam benaknya hanyalah tentang cara untuk membunuhnya.


Menurut Syekh Abdul Haq bin ‘Athiyah al-Andalusi dalam kitab tafsirnya, kesempatan pun datang saat Nabi Adam melakukan ibadah haji ke Baitullah al-Haram. Qabil akhirnya mempersiapkan segala kebutuhan yang ia butuhkan saat melaksanakan rencana jahatnya. Akhirnya, Qabil berhasil membunuh adiknya, Habil. (Syekh Abdul Haqq bin ‘Athiyah, Tafsir Ibnu ‘Athiyah, [Beirut: Darul Kurub, 2010 M], juz II, halaman  178).


Kisah ini sebenarnya telah tersurat secara singkat dalam Al-Qur’an, Allah  berfirman:


وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَاناً فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ


Artinya, “Ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, ‘Sungguh, aku pasti membunuhmu!’ Dia (Habil) berkata, ‘Sungguh Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.” (Surat Al-Ma’idah ayat 27).


Dari tindakan tersebut, sampai saat ini dosa Qabil akan terus bertambah bila terjadi pembunuhan karena ia adalah orang yang pertama kali melakukan dan mencontohkan perbuatan keji itu sebagaimana telah disampaikan oleh Rasulullah , yaitu:


لاَ تَقْتُلْ نَفْسًا ظُلْمًا اِلاَّ كَانَ عَلىَ ابْنِ أَدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِّهُا


Artinya, “Tidaklah seseorang dibunuh dengan aniaya, kecuali putra Adam yang pertama (Qabil) mendapat bagian dari dosanya.” (HR Al-Bukhari).


Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa berkurban sebenarnya sudah dilakukan jauh sebelum pengutusan Nabi Muhammad. Dalam kejadian itu, Qabil tercatat sebagai orang pertama yang tega membunuh saudaranya demi keinginan hawa nafsu belaka, disertai dengan rasa iri ketika kurban yang ia bawa tidak diterima oleh Allah.


Disebabkan sikap iri pada adiknya, Qabil telah mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai pembunuh pertama di balik peristiwa pertama kali pelaksanaan kurban.

 


Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.