Sirah Nabawiyah

Rajabiyyah, Tradisi Menyembelih di Bulan Rajab

Sel, 31 Januari 2023 | 16:00 WIB

Rajabiyyah, Tradisi Menyembelih di Bulan Rajab

Rajab (Ilustrasi: NU Online).

Bulan Rajab adalah bulan yang sangat istimewa. Sejak zaman Jahiliyah, bangsa Arab menyebut bulan Rajab sebagai bulan berkah, bulan penuh kebaikan. Bulan Rajab adalah bulan penuh ketenangan dari hiruk-pikuk peperangan. Diceritakan bahwa setiap datang bulan Rajab bangsa Arab Jahiliyah selalu mematahkan anak panah mereka serta menyimpan senjata demi menjaga kedamaian di bulan Rajab.


Selain itu, bangsa Arab Jahiliyah juga gemar bersedekah di bulan Rajab. Ada sebuah tradisi unik di bulan Rajab yang mereka lakukan yaitu menyembelih hewan ternak untuk dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan khusus di sepuluh hari pertama bulan Rajab. Tradisi ini disebut sebagai athirah atau dikenal juga dengan Rajabiyyah. Tujuannya adalah untuk mengharapkan keberkahan hidup dengan menyembelih dan bersedekah di bulan Rajab.(Ath-Thahawi Abu Ja’far, Syarh Musykil al-Atsar, [Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1994], juz III, halaman 84).


Kemudian, datanglah ajaran agama Islam yang membawa anjuran untuk melestarikan tradisi ‘athirah serta mensyariatkan kurban di hari raya Idul Adha. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah


قال رسول الله على كل أهل بيت في كل عام أضحية وعتيرة


Artinya, “Rasulullah bersabda, ‘(hendaknya) Bagi setiap keluarga pada setiap tahunnya, menyembelih kurban serta ‘athirah,’” (HR Ibnu Majah).


Menurut Syekh Abu Bakar al-Kasani, ulama mazhab Hanafi dalam Kitab al-Bada’ius Shana’i, perintah ‘athirah ini telah disalin (naskh) dengan perintah berkurban di hari raya Idhul Adha dengan dalil hadits.


قال رسول الله نسخ صوم رمضان كل صوم ونسخ الأضحى كل ذبح


Artinya, “Rasulullah bersabda, ‘Puasa Ramadhan menyalin seluruh (perintah) puasa (sebelumnya), dan berkurban menyalin seluruh (perintah) menyembelih (sebelumnya),” (HR Daruquthni).


Menurut Syekh Ibnu Qudamah al-Maqdisi, ulama mazhab Hanbali dalam Kitab al-Mughni, perintah ‘athirah telah disalin (naskh) dengan dalil hadits.


قال رسول الله لا فرع ولا  عتيرة


Artinya, “Rasulullah bersabda ‘Tidak ada (perintah) fara’ juga ‘athirah,” (HR Abu Dawud).


Pendapat Ibnu Qudamah al-Maqdisi ini juga disepakati oleh Syekh Muhammad al-Hattabi dan mayoritas ulama mazhab Maliki. Walhasil, mayoritas ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali menyatakan bahwa tidak disunnahkan ‘athirah dalam syariat Islam.(Kementerian Wakaf Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [Kairo: Darus Shofwah,2001] juz.29 hal.278)


Sedangkan menurut mazhab Imam Asy-Syafi’I ‘athirah yang diniatkan karena Allah hukumnya adalah sunnah. Hal ini sebagaimana yang diutarakan oleh An-Nawawi:


والصحيح عند أصحابنا وهو نص الشافعي استحباب العتيرة


Artinya,“Dan pendapat yang sahih menurut ashab kita juga ketetapan imam asy-Syafi’I adalah sunnah ‘athirah,” (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim [Beirut: Dar Ihya’ Turats, 1998], juz III, halaman 137).


Sedangkan menurut Imam Asy-Syafi’i hadits “Tidak ada (perintah) fara’ juga ‘athirah”.(HR.Abu Dawud) memiliki tiga makna, yaitu;1. Tidak ada kewajiban ‘athirah,2. Larangan ‘athirah dengan niat dipersembahkan kepada berhala sebagaimana adat orang Arab Jahiliyah,3. Taraf kesunnahan dan pahalanya tidak menyamai perintah berkurban karena ‘athirah dikategorikan sebatas sedekah. (An-Nawawi, al-Majmu’ Syarh Muhadzab [Beirut: Darul Fikr, 2007] juz VIII, halaman 445). 


Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang ulama madzhab Syafi’I dalam Kitab Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari menyatakan bahwa ada dalil lain yang menjelaskan kesunnahan ‘athirah yaitu:


عن أبي العشراء عن أبيه أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن العتيرة فحسنها


Artinya, ‘Diceritakan dari Abu al-‘Asyara’ dari ayahnya bahwa Rasulullah (pernah) ditanyai mengenai ‘athirah maka beliau menganggapnya sebagai kebaikan,” (HR Abu Dawud).


Selain itu, Rasulullah juga membebaskan para sahabat untuk melaksanakan ‘athirah atau meninggalkannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah ketika haji wada’


عن الحارث بن عمرو أنه لقي رسول الله صلى الله عليه وسلم في حجة الوداع فقال رجل من الناس يا رسول الله العتائر؟ فقال من شاء عتر ومن شاء لم يعتر


Artinya, “Diceritakan dari al-Harits bin ‘Amr bahwa beliau bertemu Rasulullah pada haji wada’, maka bertanyalah seorang laki-laki dari manusia ‘Wahai Rasulullah (bagaimana hukum) ‘athirah?’ Maka, Rasulullah menjawab ‘Barang siapa yang menginginkan (hendaknya) ia ber-‘athirah dan barang siapa yang tidak menghendaki (hendaknya) ia tidak ber-‘athirah,’” (HR An-Nasa’I).


Simpulan yang dapat difahami disini adalah menyembelih hewan yang kemudian disedekahkan di bulan Rajab yang dikenal dengan tradisi ‘Athirah atau Rajabiyah adalah sunnah menurut mazhab Syafi’I. Sedangkan, menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali tidak disunnahkan ‘Athirah atau Rajabiyah. Hal ini semua adalah keberagaman ijtihad para ulama dalam ilmu fiqih yang harus kita hormati. 


Terlepas dari perkhilafan ini, para ulama sepakat bahwa bulan Rajab adalah salah satu dari bulan-bulan haram yang disunnahkan untuk banyak bersedekah, beramal saleh serta beribadah kepada Allah. Semoga bulan Rajab ini dapat kita maksimalkan dengan banyaknya ibadah, sedekah serta beramal shalih sebagai bekal kita di hari akhirat. Wallahu ‘alam bis shawab.


Ustadz Muhammad Tholchah al-Fayyadl, Mahasiswa Al-Azhar Kairo