Sirah Nabawiyah

Saat Nabi Muhammad Rindu Kampung Halamannya, Makkah

Sel, 4 Juni 2019 | 02:14 WIB

Nabi Muhammad saw lahir di Makkah pada 12 Rabi’ul Awwal tahun gajah. Beliau tinggal di Makkah selama kurang lebih 53 tahun sebelum akhirnya hijrah (pindah) ke Madinah. Selama tinggal di Makkah, setidaknya ada tiga fase yang dilalui Nabi Muhammad. Fase pertama, fase anak-anak hingga menikah atau usia 25 tahun. Pada fase ini, Nabi Muhammad tumbuh bersama dengan keluarga dan teman-temannya. Kendati demikian, beliau tidak menyembah berhala –sesuatu yang lazim dilakukan masyarakat Makkah pada saat itu, termasuk oleh kerabat dekat Nabi sendiri.

Fase kedua, menikah sampai menerima wahyu atau usia 40 tahun. Nabi Muhammad mulai merasakan ‘kegelisahan’ pada fase ini. Beliau merasa ‘ada yang salah’ dengan masyarakat Makkah yang menyembah berhala. Nabi Muhammad kemudian mulai menyendiri (ber-khalwat atau ber-tahannus) di Gua Hira untuk menenangkan pikiran dan hati. Di Gua Hira, ia bermunajat, bertaqarrub, dan bermujahadah kepada Sang Maha Pencipta. Kegiatan ini berlangsung selama beberapa bulan hingga suatu ketika malaikat Jibril mendatangai dan memberinya wahyu dari Allah. Sejak saat ini, Nabi Muhammad dikukuhkan menjadi Rasul Allah. Beliau kemudian mendakwahkan Islam kepada keluarga dekatnya secara sembunyi-sembunyi.

Hingga saat ini, kehidupan Nabi Muhammad di Makkah masih ‘aman-aman’ dan baik-baik saja. Dalam artian, belum ada yang menentang, memusuhi, dan berbuat kasar kepadanya. Kendati demikian, para elit musyrik Quraisy mulai tidak terima dengan dakwah yang disampaikan Nabi Muhammad.

Fase ketiga, turunnya wahyu untuk berdakwah secara terang-terangan hingga hijrah ke Madinah atau usia 53 tahun. Ini menjadi fase terakhir Nabi Muhammad tinggal di Makkah. Pada fase ini, Nabi Muhammad mulai menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk Makkah secara terang-terangan. Tidak sedikit yang menjadi pengikut Nabi, namun juga banyak yang memusuhi dakwahnya. Karena motif tertentu –seperti ekonomi, takut kehilangan pengaruh, kekuasaan, dan kehormatan jika masuk Islam- mereka menentang dakwah Nabi Muhammad. Berbagai macam upaya dilakukan untuk menghentikan dakwah Islam. Mulai dari menyuap Nabi, melakukan tindak kekerasan kepada Nabi dan pengikutnya, hingga memboikot umat Islam. Namun semuanya gagal membuat Nabi Muhammad berhenti mendakwahkan Islam. 

Dari hari ke hari, kaum musyrik Makkah semakin berani menentang, menghalangi, dan bertindak kasar kepada Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Beliau kemudian mendapatkan perintah dari Allah untuk berhijrah ke Madinah –setelah berdakwah selama 13 tahun di Makkah. Maka sejak saat itu, Nabi Muhammad meninggalkan kampung halamannya, Makkah, dan menetap di Madinah. Hingga akhir hayatnya, Nabi tinggal di Madinah selama 10 tahun.

Di Madinah, keadaan Nabi Muhammad dan umat Islam membaik. Tidak ada lagi penindasan dan kekerasan kepada mereka. Malah, banyak penduduk Madinah yang berbondong-bondong masuk Islam dan menjadi pengikut Nabi Muhammad. Di sana, Nabi Muhammad dan umat Islam juga mendapatkan keluarga baru, yaitu kaum Anshar (penduduk Madinah yang memeluk Islam). 

Kendati demikian, Nabi Muhammad terkadang rindu dengan kampung halamannya, Makkah. Kota dimana beliau menghabiskan masa anak-anak, remaja, dan dewasanya. Kota yang banyak menyimpang kenangan. Kota dimana Ka'bah berada. Ia berharap bisa berkunjung ke sana –walau sebentar, namun keadaan belum memungkinkan. Salah satu kisah kerinduan Nabi Muhammad pada Makkah terekam dalam kitab Syarah Az-Zarqani Ala Mawahib Laduniyah karya Muhammad Az-Zarqani.

Dikisahkan, suatu ketika seorang sahabat yang bernama Ashil al-Ghifari baru saja datang dari Makkah. Ia kemudian berkunjung ke rumah Nabi Muhammad setiba di Madinah. Ketika hendak menemui Nabi Muhammad, Sayyidah Aisyah bertanya kepada Ashil al-Ghifari perihal keadaan terbaru Makkah.

“Aku melihat Makkah subur wilayahnya dan menjadi bening aliran sungainya,” jawab Ashil al-Ghifari. Sayyidah Aisyah kemudian mempersilahkan Ashil duduk untuk menunggu Nabi menyelesaikan pekerjaannya di dalam kamar.

Tidak berselang lama, Nabi Muhammad keluar kamar dan menanyakan hal yang sama kepada Ashil al-Ghifari, yaitu ‘Bagaimana keadaan Makkah sekarang?’ Beliau sangat ingin tahu bagaimana kondisi Makkah terkini. Kali ini, Ashil al-Ghifari menjawab dengan jawaban yang lebih panjang dan detail dari sebelumnya. 

"Aku melihat Mekkah subur wilayahnya, telah bening aliran sungainya, telah banyak tumbuh idzkirnya (nama sejenis pohon), telah tebal rumputnya, dan telah ranum salamnya (sejenis tanaman yang biasa digunakan untuk menyamak kulit)," kata Ashil al-Ghifari.

“Cukup wahai Ashil. Jangan kau buat kami bersedih,” sela Nabi Muhammad dengan penuh rindu.

Demikianlah tabiat manusia, dia akan merindukan kampung halamannya. Begitupun dengan Nabi Muhammad. Beliau sangat merindukan Makkah setelah sekian tahun meninggalkannya. Nabi Muhammad dan umat Islam baru bisa berkunjung ke kampung halamannya, Makkah, ketika terjadi peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah) pada 10 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah. Iya, Nabi dan umat Islam baru bisa melunasi kerinduannya pada kampung halamannya 8 tahun setelah beliau meninggalkan kota itu. (Muchlishon)