Sejarah Penetapan Tahun Hijriah dan Muharram Sebagai Bulan Awalnya
Rabu, 10 Agustus 2022 | 17:00 WIB
Sistem penanggalan Hijriah dimulai mengacu pada peristiwa hijrah, akan tetapi bulan pertama dalam kalender ini adalah Muharram, bukan Rabi’ul Awwal. (Foto: NU Online)
Muhamad Abror
Penulis
Sistem penanggalan Islam atau kalender Hijriah ditetapkan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dengan mengacu pada peristiwa hijrah umat Muslim dari Makkah ke Madinah pada 622 M. Apa faktor yang mendorong dibuatnya sistem penanggalan ini? Mengapa Muharram yang dijadikan sebagai awal bulan? Simak penjelasannya.
Sejarah Penetapan Tahun Hijriah
Jauh saat jumlah umat manusia belum sebanyak seperti sekarang, sistem penetapan titi mangsa suatu peristiwa atau pengalaman sejarah sebenarnya sudah ada, hanya saja belum tertata dengan baik sehingga sering menimbulkan problem terutama dalam urusan administratif.
Umat manusia dulu menggunakan peristiwa-peristiwa lokal besar sebagai acuan untuk menentukan waktu terjadi pengalaman sejarah. Karena sifatnya regional maka tidak ada keseragaman sistem yang menyeluruh. Sejumlah sejarawan mencatat, acuan pertama yang digunakan umat manusia untuk menentukan waktu adalah peristiwa diturunkannya Nabi Adam dari surga.
Kemudian secara periodik mengacu pada peristiwa diutusnya Nabi Nuh, lalu bencana banjir bah pada zaman Nuh yang menenggelamkan kaum tak beriman, bencana angin topan, pembakaran Nabi Ibrahim oleh Raja Namrud, diutusnya Nabi Yusuf, diutusnya Nabi Musa, diutusnya Nabi Sulaiman, diutusnya Nabi Sulaiman, diutusnya Nabi Isa, hingga diutusnya Nabi Muhammad saw.
Di wilayah Arab pra Islam sendiri banyak peristiwa-peristiwa besar yang juga menjadi acuan dalam menentukan titi mangsa seperti penyerangan tentara gajah yang dipimpin Raja Abrahah, pembangunan Ka’bah, peristiwa Perang Fijar, banjir Arim (sailul arim), dan lain sebagainya. Tentu, di wilayah selain Arab juga memiliki peristiwa-peristiwa besar yang menjadi acuan penghitungan waktu seperti ini.
Baca Juga
Bulan dan Kalender Hijriyah
Sikap Umar bin Khattab
Sistem penetapan waktu primitif terus berjalan sebagaimana sudah menjadi tradisi. Hingga akhirnya pada masa pemerintahan Umar bin Khattab muncul beberapa problem administratif. Berangkat dari kasus inilah Umar merumuskan sistem penanggalan Islam yang sekarang dikenal dengan kalender Hijriah. Ibnul Atsir dalam Al-Kamil fit Tarikh menjelaskan dengan detail berikut ragam riwayatnya terkait ini.
Dikisahkan, sekali waktu Abu Musa al-Asy’ari menghaturkan kepada Umar bahwa ada surat yang diterimanya dari sang khalifah tidak memiliki titi mangsa sehingga cukup membingungkan. Umar pun mengumpulkan sejumlah tokoh untuk mencari solusi. Sebab, jika problem ini dibiarkan pasti akan muncul kasus-kasus serupa di kemudian hari.
Terjadilah diskusi yang membahas pembuatan sistem penanggalan. Lalu muncul beberapa usulan tentang kapan penanggalan tersebut dimulai. Sebagian mengusulkan agar mengacu pada peristiwa diutusnya Nabi Muhammad. Karena kurang pas, Umar mengajukan pendapat agar mengacu pada peristiwa hijrah umat Muslim dari Makkah ke Madinah saja, sebab hijrah merupakan momen transformasi dakwah Islam besar-besaran.
Dalam versi riwayat lain oleh Maimun bin Mahran dikisahkan. Sekali waktu Umar menerima dokumen tentang sengketa utang-piutang yang tertulis jatuh tempo pada bulan Sya’ban. Hanya, sulit diidentifikasi Sya’ban kapan; tahun ini, sekarang, atau tahun depan.
Menyikapi problem administratif ini, Umar segera mengambil langkah agar dibuat sistem penanggalan yang jelas. “Buatlah penanggalan yang sekiranya semua orang bisa mengetahuinya,” titah Umar.
Terjadilah diskusi panjang antara beberapa tokoh yang memunculkan sejumlah usulan. Mereka mencoba mengacu pada sistem kalender yang pernah dibuat orang-orang terdahulu. Ada yang mengusulkan agar meniru model sistem kerajaan Romawi dengan mengacu pada masa Dzulqarnain. Karena masa itu terlalu jauh maka usulan ditolak.
Ada pula yang mengusulkan agar meniru model sistem Persia. Karena biasanya jika raja Persia berganti akan merevisi sistem penanggalan raja sebelumnya maka usulan ini juga ditolak. Mereka akhirnya berpikir tentang berapa lama Nabi Muhammad berdakwah di Madinah. Setelah diketahui selama 10 tahun maka disepakatilah sistem penanggalan mengacu pada peristiwa hijrah yang terjadi pada Rabi’ul Awwal 662 M.
Alasan Muharram Jadi Awal Bulan
Kendati sistem penanggalan Hijriah dimulai mengacu pada peristiwa hijrah, akan tetapi bulan pertama dalam kalender ini adalah Muharram, bukan Rabi’ul Awwal. Mengapa demikian? Mari kita simak penjelasan Muhammad bin Sirin sebagaimana dikutip Ibnul Atsir dalam Al-Kamil fit Tarikh.
Sekali waktu seorang laki-laki datang menghadap Umar dan mengusulkan untuk dibuat sistem penanggalan. “Penanggalan yang bagaimana maksudmu?” tanya sang khalifah penasaran. “Sistem penanggalan sebagaimana dibuat oleh orang-orang non Arab tentang bulan dalam tahun tertentu,” terang laki-laki. “Ide yang bagus,” timpal Umar.
Dibuatlah sistem penanggalan dengan mengacu pada peristiwa hijrah. “Kira-kira dimulai dari bulan apa?” tanya Umar. “Dari Ramadhan saja,” jawab orang-orang. “Lebih baik Muharram saja, sebab pada bulan tersebut umat Muslim baru saja selesai menunaikan ibadah haji,” usul sebagian lainnya yang kemudian disepakati.
Dari riwayat di atas jelas bahwa ide Muharram untuk dijadikan awal bulan dalam kalender Hijriah adalah karena motivasi teologis. Sebab, orang yang pulang haji terbebas dari dosa, sehingga cocok untuk mengawali tahun. Harapannya, momen suci ini menjadi keberkahan tersendiri dalam satu tahun ke depan. (Ibnul Atsir, Al-Kamil fit Tarikh, 1987, juz I, h. 12-14)
Dalam versi lain yang lebih ilmiah, Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan. Alasan Muharram sebagai awal bulan karena pada bulan tersebut umat Muslim memulai tekad untuk melaksanakan hijrah ke Madinah. Adapun perjanjian untuk hijrah dilakukan pada pertengahan Dzulhijjah yang merupakan awal hijrah.
Sedangkan, hilal pertama yang tampak setelah perjanjian dan bertekad untuk hijrah tersebut jatuh pada Muharram. Sehingga pantas jika Muharram ditetapkan sebagai awal tahun baru Islam. (Ibnu Hajar, Fathul Bari, tanpa tahun: juz VII, h. 330). Wallahu a’lam.
Ustadz Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta
Terpopuler
1
Arus Komunikasi di Indonesia Terdampak Badai Magnet Kuat yang Terjang Bumi
2
PBNU Nonaktifkan Pengurus di Semua Tingkatan yang Jadi Peserta Aktif Pilkada 2024
3
Pergunu: Literasi di Medsos Perlu Diimbangi Narasi Positif tentang Pesantren
4
Kopdarnas 7 AIS Nusantara Berdayakan Peran Santri di Era Digital
5
Cerita Muhammad, Santri Programmer yang Raih Beasiswa Global dari Oracle
6
BWI Kelola Wakaf untuk Bantu Realisasi Program Pemerintah
Terkini
Lihat Semua