Sirah Nabawiyah

Sikap Adil Rasulullah Terhadap Non-Muslim

Jum, 8 Februari 2019 | 12:00 WIB

“Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil­lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa..,” (QS Al-Maidah: 8).

Rasulullah betul-betul menjadi suri teladan bagi seluruh umat manusia. Beliau menjalankan semua yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Termasuk menjalankan perintah Allah dalam ayat di atas, yaitu berbuat adil. Sebuah sikap yang tidak mudah dilaksanakan manusia karena kebencian dan ‘perbedaan’ yang ada diantara mereka. 

Biasanya, seseorang akan berlaku adil manakala situasi dan kondisinya menguntungkan diri, keluarga, sahabat atau pun kelompoknya. Akan tetapi, jika keadaannya merugikan dirinya maka niscaya ia akan berat –bahkan tidak- berlaku adil.  

Hal itu tidak berlaku bagi Rasulullah. Rasulullah adalah seorang yang berlaku adil kepada semuanya; kepada dirinya, keluarganya, sahabatnya, dan umat Islam sendiri. Rasulullah menjadikan keadilan sebagai sebuah hukum dan sistem yang harus ditegakkan dalam setiap situasi dan kondisi apapun. 

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku pasti memotong tangannya. Pada saat itu, hukuman dari seorang pencuri adalah potong tangan. Melalui hadits itu, Rasulullah menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan setegak-tegaknya. Apabila salah, maka harus dihukum. Tidak peduli yang melakukan kesalahan itu keluarganya sendiri, bahkan putri tercintanya.

Tidak hanya itu, Rasulullah juga menegakkan keadilan kepada mereka yang tidak se-iman atau tidak se-agama. Iya, keadilan Rasulullah meliputi non-Muslim. Merujuk buku  Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam (Raghib as-Sirjani, 2011), dikisahkan bahwa suatu ketika al-Asy’ats bin Qais dan seorang Yahudi menghadap Rasulullah. Al-Asy’ats mengadu dan meminta keadilan kepada Rasulullah karena tanahnya diambil seorang Yahudi tersebut.

Setelah mendengar curhatan dan keluh kesah al-Asy’ats, Rasulullah tidak langsung menyalahkan seorang Yahudi dan memintanya untuk mengembalikan tanah yang diperebutkan tersebut kepada al-Asy'ats. Rasulullah malah bertanya kepada al-Asy’ats apakah dirinya memiliki bukti kepemilikan atas tanah tersebut. Al-Asy’ats mengaku tidak memilikinya. 

Rasulullah kemudian meminta seorang Yahudi tersebut untuk bersumpah bahwa tanah itu memang miliknya, bukan milik al-Asy’ats sebagaimana yang dituduhkan. Rupanya al-Asy’ats keberatan dengan cara Rasulullah itu. Ia mengklaim, kalau seandainya disuruh bersumpah untuk memenangkan persengketaan tanah itu maka seorang Yahudi tersebut akan melakukan hal itu dan mengambil tanahnya.

Keberatan al-Asy’ats itu langsung dijawab Allah dengan turunnya Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 77: Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapatkan bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.

Dalam kasus itu, Rasulullah menegakkan keadilan dengan dua cara. Pertama, orang yang menuntut atau mengaku memiliki hak (al-Asy’ast) harus bisa menghadirkan bukti kepemilikan tanah. Kedua, orang yang dituntut (seorang Yahudi) harus bersumpah kepada Tuhan bahwa ia tidak melakukan apa yang dituduhkan orang mengaku memiliki hak (al-Asy’ast). Jika orang yang menuntut tidak mampu memberikan bukti-bukti kepemilikannya, maka tanah itu menjadi milik orang yang dituntut.

Begitu lah sikap adil Rasulullah. Beliau tetap berlaku adil meski pun itu terhadap non-Muslim. Beda agama tidak menjadikan Rasulullah berbuat tidak adil. Sikap adil Rasulullah itu seharusnya menjadi pegangan dan teladan bagi umat Islam agar berlaku adil dalam situasi dan keadaan apapun, termasuk kepada non-Muslim sekalipun. (A Muchlishon Rochmat)