Sirah Nabawiyah

Sya’ban, Sahabat yang Memilih Tinggal Berjauhan dengan Nabi

Sel, 25 September 2018 | 23:00 WIB

Kedatangan Nabi Muhammad saw. di Madinah menjadi magnet bagi masyarakat Madinah. Mereka berkeinginan agar Nabi Muhammad saw. tinggal di rumahnya. Tidak lain, itu dilakukan agar mereka bisa dekat terus dengan Nabi Muhammad saw. Seorang nabi dan rasul terakhir.

Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Nabi Muhammad saw. menemukan sebidang tanah milik dua orang anak yatim Sahl dan Suhail. Ia kemudian membelinya. Di atasnya dibangun rumah Nabi Muhammad dan istrinya. Di tanah yang sama, tepat di samping rumah Nabi Muhammad saw. dibangun Masjid Nabawi untuk tempat ibadah umat Islam.

Masjid Nabawi yang berdempetan dengan rumah Nabi Muhammad menjadi pusat kegiatan umat Islam pada saat itu. Mulai dari tempat Nabi Muhammad saw. mengajarkan ajaran Islam hingga tempat umat Islam menyusun rencana perang. Tempat yang begitu strategis ini menarik para sahabat untuk tinggal di sekitarnya. Mereka berbondong-bondong membangun rumah di sekitaran Masjid Nabawi dan rumah Nabi agar bisa terus mengikuti shalat lima waktu bersama Nabi Muhammad, bergabung dalam majelis ilmu dan hikmah yang diselenggarakan Nabi, dan lain sebagainya.

Namun ternyata, tidak semua sahabat memiliki keinginan untuk tinggal dekat dengan Nabi Muhammad saw. dan Masjid Nabawi. Ada satu sahabat yang lebih memilih tinggal berjauhan dengan Nabi Muhammad saw. 

Namanya Sya’ban. Rumahnya paling jauh dari rumah Nabi Muhammad saw. dan Masjid Nabawi jika dibandingkan dengan sahabat-sahabat lainnya. Disebutkan bahwa jarak rumah Sya’ban dengan Masjid Nabawi atau rumah Nabi adalah kira-kira tiga jam jalan kaki. Meski demikian, Sya’ban tidak pernah ketinggalan shalat berjamaah bersama Nabi Muhammad saw. di Masjid Nabawi.

Sya’ban bahkan selalu datang paling awal dibandingkan sahabat yang lainnya. Ia selalu mengambil di posisi bagian pojok masjid ketika shalat dan i’tikaf. Alasannya, dengan duduk di bagian pojok masjid ia tidak ingin mengganggu sahabat yang datang kemudian. Oleh sebab itu, ia selalu datang pertama agar untuk tidak ketinggalan, walau satu rakaat saja, shalat berjamaah bersama Nabi Muhammad.

Rupanya, kabar Sya’ban –yang berjalan tiga jam dari rumahnya ke Masjid Nabawi- sampai ke telinga Ubay bin Ka’ab. Seorang mantan pendeta Yahudi yang memeluk Islam dan menjadi sahabat Nabi Muhammad saw. Karena kasian, Ubay bin Ka’ab menyarankan Sya’ban agar membeli seekor keledai agar perjalanannya lebih cepat dan kakinya tidak sakit.

“Demi Allah, aku tak senang kalau rumahku berdekatan dengan rumah Rasulullah. Aku lebih suka tinggal di sebuah rumah yang jauh dari rumah beliau,” kata Sya’ban kepada Ubay bin Ka’ab, sebagaimana dikutip dari buku Pesona Ibadah Nabi.

Ubay bin Ka’ab kaget dengan jawaban Sya’ban. Kemudian ia melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah. Tidak lama berselang, akhirnya Rasulullah mengonfirmasi kepada Sya’ban mengapa ia tidak suka tinggal dengannya. Sya’ban mengungkapkan, suatu ketika Nabi Muhammad saw. pernah bersabda bahwa setiap langkah seseorang yang menuju masjid maka satu dosanya akan diampuni  atau derajatnya dinaikkan satu peringkat. 

Itu lah yang membuat Sya’ban ingin rumahnya jauh dari rumah Nabi Muhammad yang bersebelahan dengan Masjid Nabawi. Tidak lain, ia ingin agar langkahnya ke Masjid Nabawi banyak. Sehingga dosa-dosanya diampuni dan derajatnya diangkat. 

Pada saat sakaratul maut, Sya’ban diperlihatkan oleh Allah pahala dan ganjaran atas perbuatannya itu –menempuh perjalanan yang jauh dari rumahnya ke Masjid Nabawi untuk shalat jamaah. Hijab Sya’ban dibuka Allah sehingga ia bisa melihat bentuk surga sebagai ganjarannya. Mengetahui pahalanya itu, Sya’ban malah menyesal. Ia mengatakan, mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi dari Masjid Nabawi sehingga mendapatkan pahala lebih indah dan lebih baik. (A Muchlishon Rochmat)