Qunut nazilah atau ‘qunut petaka’ diamalkan ketika umat Islam menghadapi atau mengalami persoalan yang berat, entah itu soal keamanan, bencana alam, tragedi kemanusiaan, dan lain sebagainya. Meski doanya berbeda, namun praktik qunut nazilah kurang lebih sama dengan qunut Shalat Subuh. Ia dibaca sebelum sujud atau setelah i'tidal di rakaat terakhir setiap shalat wajib lima waktu.
Kesunahan qunut nazilah tidak berlaku pada shalat lainnya, selain shalat lima waktu tersebut. Ia disunnahkan untuk dibaca dan diamalkan sejauh bencana masih menimpa umat Islam. Jika bencana ‘sudah tidak ada’, maka tidak disunnahkan lagi. Demikian dikatakan Sayyid Bakri dalam kitab I‘anatut Thalibin.
Adalah Nabi Muhammad saw orang yang pertama kali mengamalkan qunut nazilah. Pemicu beliau membaca qunut nazilah adalah tragedi ar-Raji dan Bir Ma’unah. Dalam dua tragedi itu, utusan umat Islam yang ditugaskan Nabi Muhammad untuk mengajarkan Islam kepada Suku ‘Adhal/’Udhul dan al-Qarahs, serta penduduk Nejd dibantai.
Merujuk buku The Great Episodes of Muhammad saw (Said Ramadhan al-Buthy, 2017), pada bulan Shafar tahun ke-4 Hijriyah, utusan Suku ‘Adhal/’Udhul dan al-Qarah datang menghadap Nabi Muhammad. Mereka meminta Nabi Muhammad agar mengirim beberapa sahabatnya untuk mengajarkan Islam di wilayah mereka. Nabi Muhammad lalu mengutus 10 sahabatnya –riwayat lain menyebut enam orang- yang terdiri dari Ashim bin Tsabit (sebagai ketua delegasi), Abdullah bin Thariq, Khubaib bin Adi, Khalid bin al-Bakir, Marstad bin Abi Marstad, dan Zaid bin Datsanah.
Ketika utusan Nabi Muhammad sampai di desa ar-Raji, Bani Lahyan –yang sebelumnya diminta Suku ‘Adhal/’Udhul dan al-Qarah- mengepung utusan Nabi Muhammad. Pasukan Bani Lahyan yang terdiri dari 100 pemanah berjanji tidak akan membunuh jika mereka bersedia menyerah. Ashim bin Tsabit dan beberapa orang lainnya menolak menyerah. Mereka langsung dieksekusi mati di tempat. Sementara Zaid bin Datsinah, Abdullah bin Thariq, dan Khubaib bin Adi bersedia menyerah. Mereka kemudian dijual di pasar budak di Makkah. Pada akhirnya, mereka juga dibunuh tuan-tuan yang membelinya sebagai pembalasan atas meninggalnya tokoh-tokoh musyrik Makkah dalam Perang Badar.
Beberapa hari berselang, seorang dari kepala suku Bani Amir, Abu Bara’ Amir bin Malik Mula’ib al-Asinnah, mendatangi Nabi Muhammad. Dia meminta agar Nabi Muhammad mengirimkan beberapa sahabatnya untuk mengajarkan Islam di wilayahnya di Najd. Semula Nabi Muhammad khawatir utusannya akan bernasib sama dengan tragedi ar-Raji. Abu Bara’ meyakinkan Nabi dan siap memberikan jaminan perlindungan (jiwar). Nabi Muhammad akhirnya mengutus 70 orang yang dikenal dengan nama ‘al-Qurra’.
Singkat cerita, utusan yang dipimpin Al-Mundzir bin Amir itu dihabisi Amir bin Thufail ketika sampai di wilayah Bir Ma’unah. Hanya ada satu orang yang lolos dari peristiwa pengkhianatan Bani Sulaim tersebut, yaitu Amr bin Umayyah al-Dhamri –riwayat lain menyebutkan Muhammad bin Uqab. Sahabat yang selamat tersebut kemudian balik ke Madinah dan memberi tahu Nabi Muhammad tentang tragedi tersebut.
Nabi Muhammad sangat sedih dengan dua tragedi yang merenggut nyawa sahabatnya tersebut. Terlebih, kejadiannya hampir bersamaan, yakni sama-sama bulan Shafar 4 Hijriyah. Sebagaimana keterangan dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad saw dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih (M Quraish Shihab, 2018), Nabi Muhammad kemudian berdoa agar Allah memberikan balasan kepada para pengkhianat tersebut selama sebulan penuh setiap Shalat Shubuh. Doa Nabi itulah yang kemudian disebut dengan qunut nazilah atau ‘qunut petaka’ dan terus diamalkan hingga kini, terutama ketika umat Islam sedang menghadapi suatu persoalan yang berat.
Perlu diketahui bahwa pengkhianatan itu bukan dilakukan oleh Abu Bara’ –orang yang mengusulkan agar Nabi mengirim utusan untuk mengajarkan Islam kepada kaumnya, namun oleh anak saudaranya Abu Bara’, Amir bin Thufail. Setelah tragedi itu, Abu Bara’ memerintahkan anaknya, Rabiah, untuk membunuh Amir bin Thufail. Karena bagaimanapun, sebelumnya dia sudah berjanji akan memberikan jaminan perlindungan (jiwar) kepada utusan Nabi, namun akhirnya gagal. Itu dilakukan ‘untuk membayar kegagalan’ itu.
Amir bin Thufail hanya terluka setelah ditikam dengan tombak oleh Rabiah. Amir kemudian menuju Madinah untuk membunuh Nabi Muhammad. Mengetahui hal itu, Nabi Muhammad berdoa agar Amir bin Thufail dibalas atas perbuatannya. Di tengah perjalanan, Amir singgah di rumah seorang perempuan yang terkena penyakit. Amir tertular dan meninggal di tengah padang pasir. (A Muchlishon Rochmat)