Pada saat usianya delapan tahun, Zaid bin Haritsah al-Ka’by diajak ibundanya, Su’da binti Tsa’labah untuk mengunjungi kaumnya, Bani Ma’in, di suatu wilayah yang lumayan jauh. Satu riwayat menerangkan, mereka dirampok di tengah jalan. Riwayat lainnya menyebutkan kalau mereka tiba di Bani Ma’in dengan selamat. Namun ketika mereka baru tiba di kampung kaumnya, Bani al-Qain menyerang Bani Ma’in.
Bani al-Qain menjarah semua harta benda dan menawan anak-anak –termasuk Zaid bin Haritsah-di kampung Bani Ma’in. Anak-anak tersebut kemudian dibawa ke pasar Ukaz untuk dijual. Zaid sendiri dibeli oleh Hakim bin Hizam bin Khuwailid dengan harga 400 dirham. Kemudian Hakim bin Hizam memberikan Zaid bin Haritsah kepada bibinya, Sayyidah Khadijah, sebagai hadiah. Riwayat lain, Sayyidah Khadijah sendiri lah yang membeli Zaid di pasar Ukaz.
Singkat cerita, Sayyidah Khadijah menghadiahkan Zaid bin Haritsah kepada Nabi Muhammad sesaat setelah mereka menikah (saat itu beliau belum diangkat menjadi Nabi). Maka sejak saat itu, Zaid menjadi pelayan dan tinggal bersama dengan Nabi Muhammad. Seiring dengan berjalannya waktu, Zaid bin Haritsah menjadi salah satu sahabat Nabi yang paling istimewa. Bahkan, nantinya Nabi Muhammad mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya.
Merujuk buku Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2018), semula Zaid menangis karena teringat dengan bapak dan ibundanya. Tapi lama-lama Zaid menjadi nyaman bersama Nabi Muhammad. Perlakuan Nabi Muhammad yang lembut dan penuh kasih sayang lah yang membuat Zaid betah tinggal dengannya. Dia memiliki nasib yang beruntung karena bisa mengenal dan melayani Nabi Muhammad.
Namun di sisi lain, orang tua Zaid dirundung kesedihan yang mendalam. Ibunda Zaid, Su’ad binti Tsa’labah, terus-terusan menangis meratapi nasib anaknya yang hilang. Kesedihannya bertambah karena dirinya tidak tahu apakah Zaid masih hidup atau sudah mati. Begitupun dengan ayah Zaid, Haritsah. Dia tidak pernah berhenti mencari anaknya ke seluruh penjuru kawasan. Dia juga bertanya kepada kafilah yang ditemuinya. Saking sedihnya, Haritsah menumpahkan perasaannya itu melalui bait-bait syair.
“Oh hidupku (maksudnya putranya, Zaid), aku rela mengorbankan nyawaku demi kami, karena setiap orang pasti akan mati, meskipun dia terbuai dengan angan-angan,” kata Haritsah dalam syairnya, dikutp buku Akhlak Rasul Menurut Al-Bukhari dan Muslim (Abdul Mun’im al-Hasyimi, 2018)
Orang tua Zaid terus bersedih hingga akhirnya ada kabar kalau anaknya masih hidup. Saat itu, ada sekelompok orang dari kaum Zaid bin Haritsah menunaikan haji di Makkah. Pada saat thawaf, mereka berpapasan dengan Zaid. Keduanya berbincang-bincang dan menanyakan kabar masing-masing. Setelah kembali, rombongan tersebut langsung memberi tahu Haritsah dan Su’ad perihal keadaan dan tempat tinggal anaknya yang pernah hilang dulu.
Haritsah mengajak saudaranya, Ka’ab, untuk menemui Nabi Muhammad dan menjemput pulang Zaid. Mereka tidak lupa menyiapkan sejumlah uang untuk menebus anaknya. Sesampai di Makkah, mereka langsung menemui Nabi Muhammad. Mereka meminta izin agar anaknya dikembalikan. Tidak lupa mereka menyodorkan sejumlah uang dibawanya sebagai tebusan untuk anak mereka.
Nabi Muhammad tidak langsung menolak ataupun menerima tawaran orang tua Zaid tersebut. Beliau kemudian memanggil Zaid untuk memilih sendiri; Apakah memilih tetap bersama Nabi Muhammad atau memilih pulang dan tinggal bersama orang tuanya. Nabi Muhammad tidak mengharapkan uang tebusan itu manakala Zaid lebih memilih orang tuanya.
“Anda sungguh-sungguh berlaku adil,” kata mereka kepada Nabi Muhammad.
Zaid langsung ketika menangis melihat ayah dan pamannya. Ia tidak kuasa menahan isak tangisnya itu. Setelah kondisi Zaid cukup tenang, Nabi Muhammad menyampaikan maksud kedatangan ayahnya dan kemudian melontarkan dua pilihan tadi. Zaid tidak langsung menjawab. Baginya, itu adalah sebuah pilihan yang tidak mudah. Namun setelah lama berpikir, Zaid akhirnya menjawab untuk tetap bersama Nabi Muhammad.
Seketika itu, Haritsah mengucapkan sumpah serapah kepada anaknya. Dia tidak terima anaknya lebih memilih menjadi budak dan menolak pulang bersamanya. Nabi Muhammad kemudian mencoba menenangkan Haritsah. Beliau mengajaknya ke Hijir Ismail yang berada di sisi Ka’bah. Di sana, Nabi Muhammad mendeklarasikan bahwa mulai saat itu Zaid adalah anak angkatnya.
“Wahai segenap yang hadir di sini, saksikanlah bahwa ia –Zaid- adalah anakku. Dia adalah ahli warisku,” kata Nabi Muhammad.
Hati Haritsah dan Ka’ab menjadi tenang setelah mendengar ‘deklarasi’ Nabi Muhammad itu. Mereka menjadi maklum dan bisa menerima keputusan Zaid yang lebih memilih bersama Nabi Muhammad daripada dirinya. Mereka tahu, anaknya memiliki kedudukan mulia di Makkah. Mereka pun kembali dengan hati lega, tenang, dan puas. (A Muchlishon Rochmat)