Syariah

3 Hikmah Disunahkannya Puasa Tasu'a

Rab, 26 Juli 2023 | 06:00 WIB

3 Hikmah Disunahkannya Puasa Tasu'a

3 Hikmah Disunahkannya Puasa Tasu'a. (Foto: NU Online)

Bulan Muharam adalah bulan yang istimewa bagi orang muslim. Diantaranya karena pada bulan ini, tepatnya tanggal 10 Muharam atau Asyura disunahkan puasa sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih. Dijelaskan juga orang yang melaksanakannya akan dihapuskan dosa-dosa setahun lalu yang telah ia perbuat.


Selain Asyura juga disunahkan untuk melakukan puasa Tasu'a atau tanggal sembilan Muharam. Kesunahannya ini telah menjadi kesepakatan ulama. Diantara dalil kesunahannya adalah hadits riwayat Abdullah Ibnu Abbas.


عن عَبْد اللهِ بْن عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، يَقُولُ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


Artinya, "Dari Abdullah Ibnu Abbas ra berkata: "Ketika Rasulullah saw ‎berpuasa pada hari Asyura dan menyuruh para sahabat juga berpuasa, mereka ‎bertanya: "Wahai Rasulullah, hari Asyura itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang ‎Yahudi dan Nasrani." Kemudian Rasulullah saw bersabda: "Kalau demikian, Insya Allah tahun depan ‎kita berpuasa juga pada hari yang kesembilan. Abdullah Ibnu Abbas melanjutkan ceritanya: "Tetapi ‎sebelum datang tahun depan yang dimaksud, Rasulullah saw telah wafat."  [HR Muslim, Nomor Hadits 1134).


Berkaitan dengan disunahkannya puasa Tasu'a, Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitab Majmu' Syarah Muhadzab mengatakan ada 3 hikmah berpuasa di hari Tasu'a. Berikut penjelasannya:


Pertama, yang dikehendaki dari puasa Tasu'a adalah untuk membedakan dengan kaum Yahudi yang hanya puasa Asyura saja. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hambal dari Ibnu Abbas.


قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ وَصُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا وَبَعْدَهُ يَوْمًا 


Artinya, "Berpuasalah kalian pada hari Asyura, dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah kalian sebelumnya atau sesudahnya.” 


Oleh Ulama, hadits tersebut dipahami untuk membedakan amaliah kaum Yahudi yang hanya puasa pada tanggal 10 Muharam atau Asyura saja. Sehingga disunahkan juga melakukan puasa pada hari sebelumnya yakni puasa tanggal 9 Muharam atau Tasu'a. Atau jika tidak puasa pada tanggal 9, disunahkan puasa pada hari setelahnya yakni tanggal 11 Muharam. Atau bahkan puasa 3 hari yakni tanggal 9, 10, dan 11 Muharam. Namun demikian, tidak menjadi masalah hanya puasa Asyura saja.


Berikut dijelaskan oleh Syekh Zainuddin al-Malibadi (wafat 987 H) dalam Fathul Mu'in-nya. 


 والحكمة: مخالفة اليهود، ومن ثم سن لمن لم يصمه: صوم الحادي عشر، بل إن صامه، لخبر فيه. وفي الام: لا بأس أن يفرده


Artinya, "Hikmah puasa Tasu‘a adalah menyelisihi amaliyah Yahudi. Dari sini kemudian muncul anjuran puasa hari 11 Muharam bagi mereka yang tidak berpuasa Tasu‘a. Puasa 11 Muharam tetap dianjurkan meski mereka sudah berpuasa Tasu‘a sesuai hadits Nabi saw (hadits di atas). Imam Syafi'i dalam kitab al-Umm mengatakan: "Tidak masalah hanya puasa Asyura saja.” (Lihat Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Mu‘in pada hamisy I‘anatut Thalibin, Beirut, Darul Fikr, 2005 M/1425-1426 H, juz II, halaman 301).


Kedua, yang dikehendaki dari puasa Tasu'a adalah menyambung puasa hari Asyura dengan puasa di hari lain. Seperti dilarangnya puasa satu hari, hari Jumat saja tanpa menyambung dengan hari sebelum atau sesudahnya. Penjelasan ini disampaikan oleh Al-Khatabi dan ulama-ulama lainnya. 


Ketiga, sikap kehati-hatian dalam melaksanakan puasa Asyura karena bisa jadi hilalnya masih rendah dan terjadinya kesalahan dalam menetapkan tanggal 9 dalam hitungannya yang kenyataan sebenarnya adalah tanggal 10 Muharam atau Asyura. (Lihat: Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmû' Syarh al-Muhadzdzab, [Jeddah: Maktabah al-Irsyad: t.th], Juz VI, halaman 383). Wallahu a'lam bisshawab.


Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo