Syariah

Anjuran untuk Bertobat di Akhir Tahun

Sel, 18 Juli 2023 | 10:00 WIB

Anjuran untuk Bertobat di Akhir Tahun

Anjuran untuk Bertaubat di Akhir Tahun. (Foto: NU Online)

Saat ini umat Islam berada di akhir bulan Dzulhijjah. Dalam kalender Islam, bulan ini berada di urutan paling akhir. Artinya, umat Islam kini tengah berada di akhir tahun Hijriah 1444 H. Momen ini menjadi waktu refleksi yang sempurna untuk mengevaluasi perjalanan hidup kita dan merencanakan langkah-langkah ke depan. Di antara segala kegiatan dan tujuan yang kita perjuangkan, terdapat satu hal yang tak boleh dilupakan, yaitu hubungan kita dengan Sang Pencipta, Allah SWT. 


Untuk itu, Taubat kepada Allah adalah langkah penting dalam menghadapi akhir tahun. Ini momentum yang tepat untuk kita merenungi segala dosa dan kealpaan dari jalan Allah selama setahun yang telah berlalu. Taubat adalah proses introspeksi mendalam dan perubahan hati yang membawa seseorang untuk kembali kepada jalan yang benar dan bertaubat dari dosa-dosa dan kesalahan masa lalu. Bertaubat pada Allah memberi kita kesempatan untuk membersihkan diri, memperbaiki hubungan kita dengan Allah. 


Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:


كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ اَلْخَطَّائِينَ اَلتَّوَّابُونَ


Artinya, “Semua manusia melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertobat” (HR At-Tirmidzi).


Konsep Taubat 

Taubat dalam agama Islam adalah proses kembali kepada Allah setelah melakukan dosa atau kesalahan. Taubat memiliki beberapa elemen penting, yaitu penyesalan yang tulus atas dosa yang dilakukan, meninggalkan dosa tersebut, dan bertekad untuk tidak mengulanginya di masa depan. 


Imam Al Ghazali dalam kitab Raudhatut Thalibin wa 'Umdatus Salikin mengatakan hakikat dari taubat ialah kembali dari maksiat menuju taat, dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat, serta mengatur ilmu, hal, dan amal, begitu juga dalam pengaturan pada setiap maqam (kondisi). 


Tiga kombinasi; ilmu, hal, dan maqam merupakan pondasi yang kuat agar seseorang merenungi hakikat taubat. Ilmu, kata Imam Ghazali, merupakan pengikat keimanan pada Allah. Hal ini merupakan perasaan menyesal yang lahir dari taubat, dan amal merupakan perbuatan yang baik, yang timbul dan lahir dari perasaan dalam hati dan anggota tubuh. Artinya, tiga kombinasi ini, akan melahirkan manusia yang baru, yang berharap ridha Allah. 


Lebih lanjut, taubat tidak sekadar ucapan semata, hendaknya dilaksanakan dengan pertemuan yang konsisten, tidak kembali pada dosa yang lampau. Agar taubat seseorang disebut sebagai taubat nasuha, ada beberapa hal yang perlu dilaksanakan dalam proses pertaubatan tersebut. Imam Ghazali menyebutnya ada 4 rukun taubat yakni mengetahui, menyesal, bertekad tak mengulangi, dan meninggalkan segala dosa. 


واما اركانها فاربعة: علم و عزم و ترك والقدر الواجب من الندم مايحث على الترك


Artinya; Adapun rukun taubat itu ada empat perkara; mengetahui [dosanya], menyesal, meninggalkan dosa, dan bertekad dengan sekuat tenaga tidak mengulangi dosa yang telah ditinggalkan tersebut." [Abu Hamid Al Ghazali, Raudhatut Thalibin wa 'Umdatus Salikin, [Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyah, tt] hal. 151]


Dengan demikian, penyesalan yang mendalam atas dosa-dosa yang telah dilakukan termasuk dalam rukun taubat yang harus diamalkan. Penyesalan yang tulus termasuk langkah penting dalam pertaubatan. Pahami bahwa dosa tersebut telah menjauhkan kita dari Allah, dan bersiaplah untuk mengubah diri menjadi lebih baik. 


Di samping itu, orang yang bertaubat juga seyogianya meninggalkan dosa tersebut. Setelah menyadari kesalahan dan dosa-dosa yang telah dilakukan, buatlah tekad yang kuat untuk meninggalkan dosa-dosa tersebut. Hal ini mungkin membutuhkan perubahan gaya hidup, kebiasaan, atau pergaulan. Berusaha meninggalkan dosa-dosa tersebut adalah langkah penting dalam mempraktikkan taubat.


Tak kalah penting ialah seorang yang bertaubat harus mengingat bahwa taubat yang ia lakukan berkat dari karunia Allah. Tidak menganggap bahwa taubat itu semata karena dirinya sendiri, melainkan ada campur tangan dari hidayah Allah. Sebab hanya Allah yang menciptakan taubat di dalam dirinya. Kesadaran akan campur tangan ilahi dalam proses taubatnya, merupakan bentuk keimanan kepada Allah, sebab erat kaitannya dengan kuasa Allah. 


Lebih lanjut, jika sudah demikian, maka ia akan mampu membersihkan segala kotoran dari hatinya, misalnya; sombong, iri hati, mudah marah, mengumpat, dan meninggalkan segala yang dilarang Allah. Syekh Abdul Qadir Al Jailani dalam kitab Sirrul Asrar menerangkan manusia tidak cukup bertaubat dari lahiriyah seperti mencuri, berzina, dan membunuh. Tetapi juga harus dibarengi juga dengan membersihkan diri dari dosa hati. 


Syekh Abdul Qadir memberikan ilustrasi, orang yang bertaubat dengan dosa lahiriyah saja seperti orang yang memotong rumput hanya pada bagian cabangnya dan enggan mencabutnya sampai ke akarnya  sehingga rumput seperti itu pasti akan tumbuh lagi, bahkan jauh lebih rimbun dari sebelumnya. Untuk itu, seyogianya orang bertaubat menjauhi segala dosa yang lahiriyah dan bathiniyah, yang memastikan rumput “dosa” tersebut tidak akan tumbuh lagi, karena sudah dibabat sampai ke dalam “hati” yang terdalam. [Syekh Abdul Qadir Al Jailani, Sirrul Asrar wa Mazhharul Anwar fima Yahtaju ilaihi Al Abrar [Jakarta; Turos Pustaka Islam, Cet 1, 2019] hal. 65].


Manfaat Taubat di Akhir Tahun

Bertaubat pada Allah pada momentum akhir tahun memiliki manfaat yang luar biasa bagi individu. Pertama, taubat membantu membersihkan hati dan jiwa dari beban dosa yang mengganggu kesejahteraan spiritual. Dosa-dosa yang terus ditumpuk dalam diri seseorang dapat merusak ketenangan batin dan menjauhkan diri dari kedekatan dengan Allah. Dengan bertaubat, kita membebaskan diri dari beban tersebut dan mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang bersih.


Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman dalam Q.S Az-Zumar [39] ayat 53;


قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ


Artinya; "Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."


Kedua, taubat memberikan kesempatan bagi perbaikan diri. Setiap manusia pasti melakukan kesalahan, namun, taubat mengajarkan kita untuk belajar dari kesalahan tersebut dan berkomitmen untuk tidak mengulanginya di masa depan. Saat kita melihat kembali perjalanan hidup kita di tahun yang telah berlalu, taubat memungkinkan kita untuk mengidentifikasi area-area yang perlu diperbaiki dan berusaha melakukan perubahan yang positif.


Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda;


{مَا مِنْ شَيْءٍ أَحَبُّ إلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ شَابٍّ تَائِبٍ وَمَا مِنْ شَيْءٍ أَبْغَضُ إِلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ شَيْخٍ مُقِيْمٍ عَلَى مَعَاصِيْهِ}.


Artinya; “Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah ta’ala dari pada pemuda yang taubat dan tidak adalah yang lebih dibenci Allah ta’ala dari pada orang tua yang selalu istiqamah pada kemaksiatan-kemaksiatannya.” 


Ketiga, taubat membantu memperkuat hubungan kita dengan Allah. Allah SWT adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Ketika kita dengan sungguh-sungguh bertaubat, Allah menerima taubat kita dengan tangan terbuka. Ini memberi kita rasa kedamaian dan kepercayaan bahwa kita tidak sendirian dalam perjalanan hidup ini. Dengan memiliki hubungan yang kuat dengan Allah, kita merasa lebih dekat dan terlindungi.


Sebagaimana dalam Q.S al Baqarah [2]  ayat 222, Allah berfirman; 


اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ


Artinya; "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri."


Dalam kitab Tafsir as-Sam'ani, karya Abu Al Muzhaffar As-Sam'ani, yang dimaksud dengan makna dari “tawwabin” ini adalah orang yang kembali pada Allah dengan bertaubat dan memohon ampunan. Pasalnya, Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dari dosa-dosa mereka dan berusaha membersihkan diri dari kekurangan dan kelemahan. Allah menyukai ketekunan dan upaya seseorang dalam mencari pengampunan-Nya dan meningkatkan kualitas spiritual serta moral mereka.


{إِن الله يحب التوابين وَيُحب المتطهرين} قيل: مَعْنَاهُ: التوابين من الذُّنُوب. والمتطهرين من الْعُيُوب. وَالْقَوْل الثَّانِي: معنى التوابين الرجاعين إِلَى الله بِالتَّوْبَةِ وَالِاسْتِغْفَار، وَمعنى المتطهرين: المتبرئين من حول أنفسهم وقوتهم


Artinya; "[Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri], Ada dua pendapat tentang makna ayat ini: Pendapat pertama mengartikan “al-tawwabīn” sebagai orang-orang yang bertaubat dari dosa-dosa mereka, dan “al-mutaṭahhirīn” sebagai orang-orang yang menyucikan diri dari kekurangan dan kelemahan."


Pendapat kedua mengartikan al-tawwabīn sebagai orang-orang yang kembali kepada Allah dengan taubat dan memohon ampunan, dan al-mutaṭahhirīn sebagai orang-orang yang bersih dari segala aib dan kekurangan di sekitar mereka. [Abu Al Muzhaffar As-Sam'ani, Tafsir as-Sam'ani, jilid 1, [Riyadh, Darul Wathan, 1997],  hal. 225]


Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Islam, Tinggal di Ciputat