Syariah

Aurat Muslimah Indonesia dalam Kajian Fiqih Hanafi

Sen, 20 Januari 2020 | 01:00 WIB

Aurat Muslimah Indonesia dalam Kajian Fiqih Hanafi

Pakar fiqih Hanafi yang sekaligus ahli hadits ini, sebagaimana dikutip dalam berbagai literatur mazhab, membolehkan terbukanya kedua dzira’ atau lengan tangan perempuan—dari ujung jari-jari hingga siku—.

Setelah pembahasan kaki perempuan di bagian pertama, pembahasan kali ini berkaitan dengan terbukanya tangan perempuan tanpa tertutup lengan baju atau kaos tangannya. Sebagaimana kita lihat perempuan di Indonesia, meski telah memakai baju muslimah, banyak pula yang masih terbuka lengan bajunya, baik sekadar sampai pergelangan tangan maupun selebihnya.

Adapun menurut fiqih Syafi’i, anggota tubuh perempuan yang boleh terbuka hanya wajah dan kedua telapak tangan. (Abu Ishaq As-Syirazi, Al-Muhaddzab fi Fiqhil Imamis Syafi’i, [Beirut, Darul Qalam dan Darus Syamiyyah: 1412 H/1992 M], cetakan pertama, juz I, halaman 219-220).
 

Lalu adakah pendapat fiqih empat mazhab yang dapat mengakomodasinya? Dalam fokus kali ini, terdapat pendapat fiqih Hanafi yang layak dijadikan referensi, yaitu pendapat Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim bin Habib Al-Anshari (113-182 H/831-798 M), murid Abu Hanifah dan ulama yang pertama kali menyebarkan mazhabnya.

Pakar fiqih Hanafi yang sekaligus ahli hadits ini, sebagaimana dikutip dalam berbagai literatur mazhab, membolehkan terbukanya kedua dzira’ atau lengan tangan perempuan—dari ujung jari-jari hingga siku—.

وَذُكِرَ فِي جَامِعِ الْبَرَامِكَةِ عَنْ أَبِي يُوسُفَ أَنَّهُ يُبَاحُ النَّظَرُ إِلَى ذِرَاعَيْهَا أَيْضًا، لِأَنَّهَا فِي الْخُبْزِ وَغَسْلِ الثِّيَابِ تُبْتَلَى بِإِبْدَاءِ ذِرَاعَيْهَا أَيْضًا

Artinya, “Disebutkan dalam Jami’ Al-Baramikah, diriwayatkan dari Abu Yusuf, bahwa laki-laki juga boleh melihat kedua lengan perempuan merdeka yang bukan mahramnya. Sebab, seorang perempuan juga perlu menampakkan kedua lengannya—baca: menyingsingkan kedua lengan bajunya—saat memasak roti dan mencuci baju,” (Syamsuddin As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, [Beirut, Darul Ma’rifah: tth], juz X, halaman 153).

Keterangan senada juga dikutip dalam Al-Muhith karya Ibnu Mazah halaman 176; Al-Fatawa Al-Hindiyyah karya Syekh Nizamuddin Burhanpuri dkk juz V, halaman 406; dan Al-Bahrur Ra'iq, juz VIII halaman 352.

Kecuali Al-Bahrur Ra'iq, kitab-kitab tersebut juga dengan seragam mengutip pendapat yang membolehkan laki-laki melihat gigi depan (tsanaya) perempuan. Sebab, tentu gigi depan pasti tampak ketika berbicara dengan orang lain dalam berbagai hubungan muamalah sosial. Pakar fiqih asal Transoxania Asia Tengah, Ibnu Mazah Al-Marghinani (551-616 H/1156-1219 M) menjelaskan:

قِيلَ: فَكَذَلِكَ يُبَاحُ النَّظَرُ إِلَى ثَنَايَاهَا، لِأَنَّ ذَلِكَ يَبْدُوا مِنْهَا عِنْدَ التَّحَدُّثِ مَعَ الرِّجَالِ فِي الْمُعَامَلَاتِ

Artinya,“Dikatakan, demikian pula dibolehkan melihat gigi depan perempuan merdeka yang bukan mahram. Sebab giginya tentu terlihat ketika berbicara dengan orang laki-laki dalam berbagai aktivitas muamalah sosial,” (Ibnu Mazah Al-Bukhari, Al-Muhith Al-Burhani fil Fiqhin Nu’mani, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1424 H/2004 M], cetakan pertama, juz V, halaman 334).

Dari uraian di atas diketahui, bahwa untuk permasalahan terbukanya tangan perempuan tanpa tertutup lengan baju atau sarung tangan sampai sebatas siku, ada pendapat dalam fiqih Ahlussunnah wal Jama’ah yang memperbolehkannya. 

Demikian pula laki-laki bukan mahram diperbolehkan melihatnya. Namun, kebolehan melihatnya hanya berlaku bila dalam kondisi normal tanpa dorongan nafsu syahwat. Bila ia yakin atau punya dugaan kuat melihatnya akan mengundang syahwat, maka hukumnya haram.

وَهَذَا كُلُّهُ إِذَا لَمْ يَكُنِ النَّظَرُ عَنْ شَهْوَةٍ. فَإِنْ كَانَ يَعْلَمُ أَنَّهُ إِنْ نَظَرَ اشْتَهَى لَمْ يَحِلَّ لَهُ النَّظَرُ إِلَى شَيْءٍ مِنْهَا ... وَكَذَلِكَ إِنْ كَانَ أَكْبَرُ رَأْيِهِ أَنَّهُ إِنْ نَظَرَ اشْتَهَى. لِأَنَّ أَكْبَرَ الرَّأْيِ فِيمَا لَا يُوقِفُ عَلَى حَقِيقَتِهِ كَالْيَقِينِ. وَذَلِكَ فِيمَا هُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى الْاِحْتِيَاطِ.

Artinya, “Ini semua dalam kondisi bila melihat bagian-bagian tubuh perempuan bukan mahram tersebut sepi dari syahwat. Dengan demikian, bila tahu melihatnya akan menimbulkan syahwat, maka ia tidak halal melihatnya sedikit pun… Demikian pula haram bila ia mempunyai dugaan kuat bahwa melihatnya akan menimbulkan syahwat. Sebab status dugaan kuat dalam hal yang belum diketahui hakikatnya sepadan dengan level meyakininya. Demikianlah prinsip dalam urusan yang didasarkan pada kehati-hatian,” (Ibnu Mazah Al-Bukhari, Al-Bahrur Muhith, juz V, halaman 334-335).

Ketentuan fiqih semacam ini selaras dengan spirit Al-Quran yang memerintahkan orang-orang beriman untuk menjaga pandangannya. Allah SWT berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Artinya, “Katakanlah kepada orang-orang yang beriman, agar mereka menundukkan pandangannya dan menjaga farjinya dari hal-hal yang haram. Hal itu lebih baik bagi mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian lakukan,” (Surat An-Nur ayat 30). Wallahu a‘lam.
 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur.