Syariah

Belajar dari Rasulullah saat Hadapi Kenaikan Harga

Sel, 20 Februari 2024 | 21:00 WIB

Belajar dari Rasulullah saat Hadapi Kenaikan Harga

Harga barang naik. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)


Belakangan ini masyarakat dihadapkan pada kenaikan harga bahan pokok yang menjadi perhatian serius. Kenaikan harga mencakup berbagai komoditas sehari-hari, seperti beras, tomat, cabai dan lain sebagainya yang secara langsung memengaruhi daya beli konsumen. 


Pemerintah dan otoritas terkait dihadapkan pada tugas penting untuk merumuskan kebijakan yang efektif guna menanggulangi kenaikan harga dan menjaga stabilitas ekonomi serta kesejahteraan masyarakat. Upaya koordinasi antara sektor ekonomi, regulasi harga, dan kebijakan sosial menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ini.


Dalam sejumlah riwayat sejarah, terdapat catatan mengenai situasi ekonomi pada masa kehidupan Nabi Muhammad saw, termasuk kenaikan harga bahan pokok pada beberapa periode tertentu.


Meskipun informasi mengenai ekonomi pada masa itu terkadang bersifat terbatas dan tidak rinci, sebagian riwayat menyiratkan bahwa masyarakat Muslim di Madinah menghadapi tantangan ekonomi, termasuk kenaikan harga bahan pokok.


Dalam menghadapi kenaikan harga, Nabi Muhammad saw menunjukkan keprihatinan dan kepemimpinan yang bijak. Beliau terlibat langsung dalam menyelesaikan masalah ekonomi, misalnya dengan mengirimkan Umar untuk menyelidiki dan menangani situasi kenaikan harga yang dihadapi oleh masyarakat. Umar bercerita:


غلا السعر بالمدينة واشتد الجهد فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اصبروا وأبشروا ! فاني قد باركت على صاعكم ومدكم ، فكلوا ولا تتفرقوا ، فان طعام الواحد يكفي الاثنين ، وطعام الاثنين يكفي الاربعة ، وطعام الاربعة يكفي الخمسة والستة والبركة في الجماعة ، فمن صبر على لاوائها وشدتها كنت له شفيعا أو شهيدا يوم القيامة ، ومن خرج عنها رغبة عما فيها أبدل الله من هو خير منه فيها ، ومن أرادها بسوء أذابه الله كما يذوب الملح في الماء


Artinya: “Harga di Madinah melambung dan kesulitan ekonomi semakin meningkat. Rasulullah bersabda, ‘Bersabarlah dan bergembiralah! Sesungguhnya, Allah telah memberikan berkah pada takaran dan timbangan kalian.


Makanlah dan janganlah bercerai-berai, karena makanan satu orang dapat mencukupi untuk dua orang, makanan dua orang mencukupi untuk empat orang, dan makanan empat orang mencukupi untuk lima dan enam orang. Berkah terdapat dalam kebersamaan. Barangsiapa yang bersabar terhadap kenaikan harga dan kesulitan ekonomi ini, aku akan menjadi syafaat atau saksi baginya di hari kiamat.


Barangsiapa yang meninggalkan kebersamaan ini karena tidak suka padanya, Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik di dalamnyaSiapa yang menginginkannya dengan niat buruk, Allah akan meleburnya sebagaimana garam lebur dalam air’.” (Hadits dikutip oleh ‘Ali bin Husain Al-Hindi dalam Kanzul ‘Ummal).


Pada saat-saat tertentu, Nabi saw juga memberikan pedoman dan ajaran terkait keadilan ekonomi, mendorong sahabat-sahabatnya untuk menjalankan perdagangan dengan kejujuran, menghindari penimbunan barang, dan menjual dengan harga yang wajar. Beliau bahkan memuji pedagang yang dianggap jujur: 


عن عبد الله بن عمر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: التَّاجِرُ الأَمِينُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ – وفي رواية: مع النبيين و الصديقين و الشهداء –  يَوْمَ الْقِيَامَةِ. رواه ابن ماجه والحاكم والدارقطني وغيرهم


Artinya: “Dari ‘Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Pedagang yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang syahid pada hari kiamat (di Surga).” (HR Ibnu Majah, Al-Hakim, dan selainnya).


Walaupun kenaikan harga terjadi pada masa Nabi Muhammad saw, kepemimpinan beliau menunjukkan sikap proaktif dalam menangani masalah tersebut dengan memastikan adanya keadilan dan kesejahteraan sosial dalam kebijakan ekonomi. Diriwayatkan oleh Abu Dawud:


عن أنس قال: قال الناس يارسول الله غلا السعر فسعر لنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن الله تعالى هو المسعر القابض الباسط الرزاق وإني لأرجو أن ألقى الله وليس أحد منكم يطالبني بمظلمة في دم ولا مال


Artinya: “Dari Anas, ia berkata: "Orang-orang berkata, 'Wahai Rasulullah, harga-harga sudah melambung tinggi, maka tetapkanlah harga-harga untuk kami.' Rasulullah saw bersabda, 'Sesungguhnya, Allah Yang Maha Tinggi adalah yang menetapkan harga, yang memampangkan rezeki. Sesungguhnya, aku berharap akan bertemu dengan Allah, dan tidak ada di antara kalian yang menuntutku atas darah atau harta yang kurang adil.'" (HR Abu Dawud).


Poin penting yang dapat digarisbawahi pada hadits di atas yaitu keadilan dalam mua’malah ekonomi dan penekanan pada keadilan dalam transaksi bisnis yang dilakukan Rasulullah tanpa mengekang kebebasan pasar. 


Beliau memperbolehkan perorangan untuk menentukan harga barang jualannya dengan kebebasan yang lebih besar, dengan catatan kebebasan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip keadilan Islam. (Zakariya Al-Anshari, Fathul ‘Allah bi Syarhil I’lam bi Ahaditsil Ahkam, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000], jilid I, hal. 433).


Meskipun kondisi ekonomi saat itu berbeda dengan zaman modern, pelajaran dari pendekatan Nabi saw dalam mengelola kenaikan harga dapat diambil sebagai nilai inspiratif dalam merancang kebijakan ekonomi yang adil dan berkeadilan.


Dengan adanya sikap Nabi saw sebagaimana di atas, para fuqaha mengarahkan topik ini pada diskusi soal penetapan harga (tas’ir) oleh pemerintah. Mengutip Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, para ulama berselisih pendapat mengenai masalah penentuan harga.


Di antaranya yaitu ketika terdapat harga umum dan ada pedagang ingin menjual dengan harga yang lebih tinggi. Praktik ini dilarang menurut Imam Malik, lantas jika menurunkan harga apakah diperbolehkan?


Imam Malik berkata, “Seandainya ada seseorang yang ingin merusak pasar dan merugikan orang-orang dengan menetapkan harga yang tidak adil, saya berpendapat untuk dikatakan kepadanya: dia mengikuti harga umum atau menaikkan harganya. Adapun memberikan perintah kepada semua pedagang: "Jangan kalian jual kecuali dengan harga sekian, maka tidak benar.” (Muhammad Najib Al-Muthi'i, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Beirut, Darul Fikr], jilid XIII, halaman 36).


Melihat catatan di atas, Imam Malik condong kepada larangan praktik tas’ir sebab dapat mencekik pedagang. Di sisi lain, alasan ketidakpastian pemerintah dalam mengetahui fluktuasi harga dan ketersediaan barang di lapangan juga menjadi penting diperhatikan.


Menurut Imam Al-Haramain, para ulama yang berpendapat bahwa penentuan harga tidak diperbolehkan menggunakan dalil hadits yang telah disebutkan di atas ('Sesungguhnya Allah yang menetapkan harga, yang memampangkan rezeki. Sesungguhnya aku berharap akan bertemu dengan Allah, dan tidak ada di antara kalian yang menuntutku atas darah atau harta yang kurang adil’). (Imam Haramain, [Beirut: Darul Minhaj, 2007], jilid VI, hal. 63).


Meskipun praktik penetapan harga sebagaimana para ulama menyimpulkannya dalam hadits di atas tidak diperbolehkan, nyatanya Sayyidina Umar pernah memantau langsung harga pasar dan menetapkannya agar pedagang tidak bermain curang dalam ketentuan harga. (Al-Muthi'i, Al-Majmu’, jilid XIII, halaman 33).


Mengutip Al-Majmu’, alasan mengapa ketika Nabi tinggal di Madinah tidak pernah ada kebijakan penentuan harga pasar, karena di sana tidak terdapat orang yang berprofesi sebagai penggiling dan pemanggang roti secara sewa, juga tidak ada yang menjual tepung dan roti.  


Sebaliknya, mereka membeli biji-bijian, menggilingnya dan memanggangnya di rumah sendiri. Penduduk Madinah membawa biji-bijian dan mereka tidak menemui pembeli di pasar, melainkan membelinya dari para tengkulak. Boleh jadi, dengan skema penetapan harga Nabi saw secara tidak langsung memberatkan para pedagang di pasar.


Kesimpulannya, pendekatan Rasulullah saw dalam mengelola kenaikan harga yaitu dengan menekankan keadilan dalam mu’amalah ekonomi dan memberikan kebebasan pada pelaku pasar dengan catatan bahwa kebebasan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip keadilan Islam. 


Rasulullah juga menegaskan pentingnya kebersamaan dalam menghadapi kesulitan ekonomi dan memberikan dukungan moral bagi mereka yang bersabar dalam situasi sulit tersebut. Wallahu a’lam.


Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta