Syariah

Covid-19: Jangan Putus Harapan di Tengah Cobaan

Ahad, 26 April 2020 | 09:00 WIB

Covid-19: Jangan Putus Harapan di Tengah Cobaan

Tuhan kita bukan tuhan yang mati, yang tak melihat dan mendengar, yang tak punya kendali dan solusi.

Pandemi Covid-19 atau virus Corona tidak dipungkiri telah menjadi momok yang menakutkan dan permasalahan hidup yang melemahkan di kalangan masyarakat Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Bukan hanya tentang kekhawatiran soal penularannya, namun juga soal efek ekonomi sosial yang mengancam segala sendi kehidupan.

 

Tak terkecuali, umat Islam—terlebih yang notabene mayoritas di Indonesia—pun mengalami dampak-dampak serupa. Siapa pun yang berusaha dan bergerak di bidang apa pun tanpa kecuali merasakan imbas dari wabah ini. Tidak dipungkiri, bahwa masa pandemi ini membuat melemahnya mental umat dalam menjalani kehidupan.

 

Namun demikian, bila kita mau membaca Al-Qur’an dan mempelajari lebih jauh, sebagai seorang mukmin yang beriman kepada Allah tidak semestinya terlalu larut dalam kekhawatiran dan ketakutan itu. Adalah wajar dan manusiawi bila setiap orang memiliki rasa takut, cemas, dan khawatir terhadap kehidupan yang berjalan tidak sebagaimana mestinya. Namun bagi seorang mukmin semua itu dirasa menjadi berlebihan bila sampai menjadikan putus asa dan kehilangan harapan.

 

Untuk itu, setidaknya kita bisa membaca dan belajar dari firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 104:

 

وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللهِ مَا لَا يَرْجُونَ وَكَانَ اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

 

Artinya: “Janganlah kalian merasa lemah dalam mengejar kaum kafir. Bila kalian merasa kesakitan maka mereka pun merasa kesakitan juga sebagaimana kalian merasa kesakitan, sedangkan kalian dapat berharap dari Allah apa-apa yang tidak dapat mereka harapkan. Dan adalah Allah Dzat yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”

 

Dalam berbagai kitab tafsir— salah satunya kitab Al-Munȋr li Ma’ȃlimit Tanzȋl karya Syekh Nawawi Banten (2007, I: 188)para ulama menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan satu peristiwa ketika Rasulullah mengirim sekelompok sahabat untuk mencari dan memerangi Abu Sufyan dan teman-temannya, mereka mengeluhkan perihal luka-luka yang mereka alami ketika pulang dari perang Uhud.

 

Dengan ayat tersebut seakan Allah mengingatkan kepada para sahabat nabi agar jangan patah semangat dalam memerangi kaum musyrikin, hanya karena mereka mengalami luka-luka pada saat perang Uhud. Sebab apa yang mereka alami itu juga dialami oleh kaum musyrikin namun mereka tidak kehilangan semangat dalam memerangi kaum Muslim.

 

Karenanya Syekh Nawawi memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan, sudah semestinya kalian—orang-orang mukmin—lebih bersemangat dan lebih bersabar dalam berperang daripada kaum musyrikin.

 

Sementara lebih gamblang lagi Imam Fakhrudin Ar-Razi dalam Mafȃtihul Ghaib (2012, VI: 33) menafsirkan, rasa sakit itu sama-sama dirasakan oleh kalian kaum mukmin dan oleh mereka kaum musyrik. Maka bila takut akan rasa sakit itu tidak menghalangi mereka untuk memerangi kalian, bagaimana bisa rasa takut itu menghalangi kalian dalam memerangi mereka? Orang-orang mukmin itu mengakui dan mempercayai adanya balasan pahala, siksaan, kebangkitan dan pengumpulan besok di hari kiamat, sedang kaum musyrik tidak mengakui itu semua. Bila mereka yang tidak mengakui itu semua saja begitu bersemangat dalam memerangi kalian, maka kalian sebagai orang mukmin—yang mengakui adanya pahala yang besar dalam berjihad dan adanya siksa bila meninggalkannya—semestinya lebih bersemangat dalam melaksanakan jihad ini.

 

Senada dengan kedua mufassir di atas Imam Qurthubi dalam al-Jȃmi’ li Ahkȃmil Qur’ȃn (2010, III: 326) juga menyatakan, “Bila kalian merasa sakit dengan luka yang kalian alami maka mereka kaum musyrikin pun merasakan hal yang sama dengan luka yang menimpa mereka. Hanya saja kalian orang-orang mukmin memiliki keuntungan, yakni kalian memiliki harapan mendapat pahala dari Allah, sedangkan mereka tidak memiliki harapan tersebut. Orang yang tidak beriman kepada Allah tidak berharap apa pun dari-Nya.

 

Dari ayat di atas berikut dengan penafsiran-penafsirannya itu kiranya kita bisa bercermin dalam menghadapi wabah Corona yang saat ini sedang melanda dan melemahkan berbagai sendi kehidupan.

 

Yang mesti pertama kali kita sadari adalah bahwa wabah Corona beserta berbagai dampaknya ini tidak hanya melanda satu golongan, daerah atau sekelompok orang saja, tapi merata kepada semua orang yang berada di muka bumi ini. Mereka yang dinyatakan positif adalah mereka yang terdampak secara langsung; mengalami sakit yang konon luar biasa dan bahkan sampai mengakibatkan kematian. Sedang mereka yang tidak terpapar virus ini, meskipun tetap dalam keadaan sehat, namun secara tidak langsung juga ikut terdampak dengan melemahnya berbagai sendi kehidupan, mulai dari sisi ekonomi, pendidikan, bahkan sampai dalam hal beragama. Atau setidaknya setiap orang merasakan kekhawatiran akan terkena virus mematikan ini.

 

Membaca ayat di atas, bagi seorang mukmin semestinya semua ini tidak menjadikannya hilang harapan dan berputus-asa. Ia mesti menyadari, bahwa apa yang kini terjadi dan menimpa dirinya dan semua umat manusia di belahan dunia mana pun adalah di bawah kendali dan kekuasaan Allah, Tuhan yang diyakini dan disembahnya. Bila Allah berkehendak maka wabah ini akan segera berakhir, dan bila sebaliknya maka berlaku pula sebaliknya.

 

Dengan pemahaman demikian seorang mukmin menyadari bahwa apa pun yang diperbuat oleh Allah kepada hamba-Nya, meski dirasa tidak mengenakkan dan menyenangkan, selalu ada kebaikan di dalamnya bagi sang hamba. Karena apa pun yang dilakukan oleh Allah pasti baik dan tak sia-sia. Hal ini juga disampaikan oleh Syekh Nawawi dalam menjelaskan ayat di atas, bahwa Allah sedikit pun tidak memberi beban kepada kalian kecuali dengan apa yang Dia tahu bahwa hal itu menjadi sebab bagi kebaikan agama dan dunia kalian (Syekh Nawawi, 2007).

 

Seorang mukmin juga memahami bahwa dalam setiap cobaan, ujian dan musibah yang Allah berikan kepada hamba-Nya selalu ada pahala kebaikan dunia dan akhirat, bila semua itu dihadapi dengan penuh kesabaran dan mengharap ridha-Nya. Seorang mukmin yang sakit—termasuk terpapar Corona—bila ia sembuh, maka sakitnya adalah cara Allah membasuh dan membersihkannya dari dosa. Selepas sakitnya itu ia menjadi manusia yang kembali bersih dari berbagai dosa yang selama ini ia perbuat, minimal menguranginya. Dan bila ia meninggal karena sakitnya, maka lantaran sakitnya itu Allah berkenan mengampuni dosa-dosanya, sehingga ia kembali berpulang kepada-Nya dalam keadaan bersih, tidak kotor yang memalukan.

 

Demikian pula dengan seorang mukmin yang tidak terpapar Corona, namun terimbas dalam berbagai aspek kehidupannya. Bila ia sabar menghadapinya, maka pahala balasan kebaikan Allah akan diperolehnya baik di dunia maupun akhirat. Bisa jadi, selepas wabah ini—berkah kesabarannya itu—Allah memberinya kehidupan yang lebih layak, lebih maslahat dan lebih berkah dari kehidupan sebelumnya.

 

Di sisi lain, seorang mukmin yang terbiasa melakukan amal ketaatan tertentu, karena wabah ini maka tak lagi dapat melakukan kebiasaannya itu secara sempurna, atau bahkan sama sekali tak bisa melakukannya. Tak perlu berputus asa. Tetaplah husnu dhan, berpaik sangka kepada Allah sembari mengharap anugerahnya. Bahwa ini semua adalah cara Allah memberinya sedekah. Tanpa melakukan amal ketaatan sebagaimana biasanya, ia tetap mendapatkan pahala yang sama ketika ia melakukannya. Begitu Rasulullah mengajarkan.

 

Alhasil, wabah dengan segenap efek kehidupannya ini tak hanya menimpa diri kita. Semua orang merasakannya. Bila di luaran sana ada orang yang tetap bersemangat menghadapi realita kehidupan yang ada, mengapa kita tidak? Bila di sana ada orang yang tetap memiliki harapan untuk kehidupan yang lebih baik setelah melewati masa-masa sulit ini, mengapa kita tidak? Selagi Tuhan kita masih Allah, tak ada yang mesti disesalkan, tak perlu berputus asa. Terus membangun harapan. Tuhan kita bukan tuhan yang mati, yang tak melihat dan mendengar, yang tak punya kendali dan solusi.

 

Imam Ar-Razi mengajarkan; “Kalian itu menyembah Tuhan yang Mahatahu, Maha Berkuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, maka sepatutnya kalian berharap pahala dari-Nya. Berbeda dari kaum musyrik yang menyembah berhala yang notabene benda-benda mati tak bergerak, maka tidak semestinya bila mereka berharap pahala dari berhala-berhala itu dan takut akan siksa dari mereka. Wallahu a’lam.

 

 

Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren AL-Muayyad Surakarta, kini aktif di kepengurusan PCNU Kota Tegal dan sebagai penghulu di lingkungan Kementerian Agama Kota Tegal.