Syariah

Dana Talangan Haji dalam Kajian Fiqih Muamalah

Sel, 17 Desember 2019 | 16:30 WIB

Dana Talangan Haji dalam Kajian Fiqih Muamalah

(Ilustrasi: reuters).

Haji merupakan rukun Islam yang kelima. Hukum melaksanakannya adalah wajib bagi setiap orang mukallaf khususnya bagi yang mampu. Kemampuan itu setidaknya diukur dari empat syarat yang kemudian menjadi dasar bagi para ulama’ untuk melakukan ijtihad-ijtihad dalam penentuan hukum lainnya yang berkaitan dengan upaya pemberangkatannya.

Ukuran standar kemampuan ini sudah disepakati oleh para ulama, di antaranya adalah: 1) mampu dalam biaya perjalanan termasuk memungkinkan tersedianya sarana untuk menuju ke Baitullah, 2) ada nafkah yang cukup untuk keluarga yang ditinggalkan, 3) keamanan dalam perjalanan, 4) dan bagi perempuan, ada tambahan berupa aman dari fitnah sehingga kemudian dewasa ini ditetapkan jika ditemani oleh kerabat atau mahramnya atau suami.

Namun, dewasa ini daftar tunggu haji membutuhkan waktu yang lama. Di wilayah Jawa, khususnya, daftar antrean tunggu haji reguler mencapai waktu kurang lebih 19 tahun lamanya. Meski orang tersebut mampu membayar dengan lunas sekaligus, namun bila ia mendaftar melalui jalur reguler, ia harus melewati masa antrean tunggu tersebut. Ini kemudian menjadi peluang bagi beberapa pihak untuk melakukan bisnis perjalanan haji, khususnya oleh badan penyelenggara haji.

Menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia, badan penyelenggara haji ini terdiri dari beberapa perusahaan swasta yang memiliki izin menyelenggarakan haji dari pemerintah ditambah dengan badan penyelenggara dari pemerintah sendiri, yaitu Kementerian Agama.

Sebagai badan swasta, sudah pasti mereka mengantongi jatah kuota keberangkatan haji yang disediakan oleh Kemenag (selaku koordinator penyelenggara haji). Dulu, jatah kuota ini juga dipegang oleh BPS (Bank Penyelenggara Setoran Haji). Namun, sejak diterbitkannya PMA Nomor 24 Tahun 2016, BPS ini dilarang untuk memiliki kuota tersebut.

Karena penyelenggara haji juga terdiri atas badan penyelenggara swasta, jatah kuota untuk perusahaan ini tetap dilebihkan. Mereka tidak terkena bagian dari yang dilarang oleh PMA Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agama No 30/2013 tentang Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Di dalam PMA Nomor 24 Tahun 2016 itu disebutkan bahwa bank penerima setoran haji dilarang memberikan layanan dana talangan haji baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung pihak yang dimaksud sebagai bank penerima setoran haji tersebut adalah bank pemerintah. Oleh karenanya, PMA Nomor 24 Tahun 2016 itu, tidak bisa dikaitkan dengan badan penyelenggara haji swasta atau yang memiliki status gerak menyerupai penyelenggara haji swasta. Imbasnya adalah, perusahaan penyelenggara haji swasta ini tetap bisa menerima kuota haji.

Karena kuota haji reguler adalah 19 tahun, sementara perusahaan swasta tetap dapat menyelenggarakan haji setiap tahunnya berbekal jatah kuota yang berizin yang didapatnya, maka lalu timbul ide menjualbelikan kuota haji tersebut dalam bentuk dana talangan haji, yang muqtadhal hal-nya (intisari dari membisniskannya) adalah menawarkan jasa keberangkatan haji yang lebih cepat dari haji reguler.

Jika haji reguler harus 19 tahun masa antrenya, maka haji lewat perusahaan penyelenggara haji swasta ini dapat ditunggu hanya beberapa tahun. Dalam beberapa brosur yang beredar, ditawarkan keberangkatan dengan waktu antre hanya dalam kisaran 1-5 tahun. Jauh lebih cepat dari haji reguler. Untuk itulah kemudian mereka melakukan penawaran kuota tersebut kepada masyarakat dalam bentuk dana talangan haji. Jadi, dalam konteks ini, yang dimaksud sebagai dana talangan haji bukanlah pinjaman yang diberikan oleh perusahaan swasta kepada calon jamaah haji, melainkan jual beli kuota haji secara kredit kepada calon jamaah haji.

Adapun terkait dengan dana talangan haji oleh bank syariah, karena bank syariah masuk rumpun bank pemerintah, maka masuk dalam bingkai yang dilarang oleh PMA Nomor 24 Tahun 2016 tersebut. Alasan pelarangan ini cukup masuk akal karena dengan dibolehkannya bank syariah menjadi penyelenggara haji, itu artinya mereka juga menerima jatah kuota haji.

Jatah daftar tunggu kuota haji reguler dari badan penyelenggara haji pemerintah menjadi semakin lama akibat aktivitas bank syariah dalam menerima calon jamaah haji tersebut. Tidak hanya bank syariah, bank-bank konvensional yang lain yang menjadi bank penerima setoran juga masuk dalam daftar larangan menerima calon jamaah haji karena alasan dapat memperlama daftar tunggu keberangkatan calon jamaah yang sudah mendaftar lewat Kemenag. Sampai di sini, para pembaca diharapkan dapat memahami.

Lantas persoalannya kemudian adalah, bagaimana status fiqih dana talangan haji yang diselenggarakan oleh perusahaan swasta itu?  Jika menilik dari jatah kuota haji yang dimiliki oleh perusahaan swasta, travel dan perusahaan sejenis lainnya itu adalah akibat dari izin sebagai badan penyelenggara haji swasta yang resmi diperoleh dari pemerintah, maka jatah kuota yang dimiliki oleh perusahaan haji swasta ini dapat disamakan statusnya sebagai mal mustafad (harta yang bisa diambil faidahnya).

Sebagai mal mustafad, sudah pasti berlaku semua ketentuan yang berkaitan dengan harta, antara lain boleh dimiliki, dapat dijual, bisa disewakan, boleh dihibahkan, dan lain sebagainya sebagaimana bunyi kaidah fikih yang masyhur:

القاعدة العامة فيما يجوز إجارته أن كل ما يجوز بيعه تجوز إجارته؛ لأن الإجارة بيع منافع، بشرط ألا تستهلك العين في استيفاء المنفعة، فضلا عن جواز إجارة بعض ما لا يجوز بيعه، كإجارة الحر وإجارة الوقف وإجارة المصحف عند من لا يجيز بيعه. 

Artinya, “Kaidah umum tentang sesuatu yang bisa disewakan. Sesungguhnya, setiap barang yang bisa dijualbelikan, maka bisa juga ia disewakan/diijarahkan. Pasalnya, ijarah itu sama dengan jual beli manfaat, dengan syarat, barang yang dijarahkan tidak mengalami kerusakan sehingga tetap bisa memberikan manfaat (yang dimaksud), utamanya barang yang hanya bisa disewakan, namun tidak bisa dijual, seperti menyewakan orang merdeka, menyewakan harta wakaf, menyewakan mushaf kepada orang yang tidak diperbolehkan jual belinya.” (Al-Mausu’atul Fiqhiyyah, juz I, halaman 277).
Dengan ibarat ini, diketahui bahwa semua hal yang bisa diambil akad ijarah dapat dijualbelikan. Yang mencegah barang yang dapat disewakan dari aktivitas jual beli adalah bukan karena barangnya itu sendiri, melainkan karena ada unsur yang sifatnya baru yang masuk sebagai illat yang melarang, seperti karena barangnya diwakafkan.

Barang yang diwakafkan dilarang untuk dijual. Demikian juga, dengan orang yang ditahan jual belinya, maka menjual belikan “barang yang bisa disewakan” kepada orang tersebut, hukumnya menjadi tidak boleh sebab kasus yang menerima orang itu sendiri. Bukan karena barangnya yang tidak bisa dijual. Inilah maksud dari kaidah umum sebagaimana tersebut dalam ibarat di atas.

Memandang kuota haji sebagai harta yang dapat dijual, maka transaksi jual belinya juga dapat mengikuti semua mekanisme jual beli yang diperbolehkan oleh syariat, seperti dijual secara kontan, kredit, atau tempo. Justru di sini, letak keuntungan yang benar secara syariat dapat diperoleh oleh perusahaan swasta.

Karena dalam bingkai bisnis, bila suatu keuntungan tidak dapat dijamin, maka batal pula bisnisnya. Islam menjamin sahnya keuntungan bisnis selagi diperoleh dengan cara yang dibenarkan syariat, yaitu lewat perantara akad mu’awadhah (pertukaran) atau jual beli, baik secara kes maupun secara kredit. Yang terpenting adalah kesepakatan itu harus dibangun dan terjadi di majelis khiyar, yaitu majelis akad.

Dana talangan haji yang ditawarkan oleh penyelenggara haji swasta ini dijual kepada nasabah secara kredit. Apakah syariat membolehkannya? Tak diragukan lagi bahwa jual beli secara kredit (bai’ taqsith) adalah diperbolehkan, manakala harga dan obyek barang yang dijual adalah maklum dengan masa pelunasannya disepakati oleh kedua pihak, yaitu 1 tahun, 2 tahun atau sesuai kesepakatan yang dibangun.

Muamalah jual beli yang demikian ini tidak menyalahi syariat disebabkan beberapa ketentuan yang berlaku dalam jual beli juga tidak ditabrak, seperti, bahwa syarat mabi’ (barang yang diperjualbelikan) harus berfaedah secara mu’tabar, harus dapat diserahterimakan, harus diketahui harganya secara maklum.

Kuota haji (mal mustafad) yang ditawarkan oleh perusahaan swasta tersebut jelas menunjukkan faedahnya, yaitu lebih cepat keberangkatannya dibanding kuota haji reguler. Demikian juga dengan waktu penyerahannya. Terdaftarnya pihak calon jamaah pada kuota haji yang dimaksudkan, adalah bagian dari qabdhu (penerimaan) yang dikehendaki. Qabdhu yang demikian ini dinamakan dengan istilah qabdhu hukmy.

Adapun mengenai harga, hal itu jelas dapat diketahui berdasarkan harga penutupan pinjaman yang ditawarkan. Misalnya dalam waktu lima tahun, pihak jamaah harus menyicil setiap bulan sebesar 600 ribuan. Itu menandakan bahwa dalam kurun antrian waktu 5 tahun, harga kuota haji yang dipatok adalah 36 juta rupiah. Ini hanya contoh harga. Adapun fakta di lapangan, biasanya setiap kuota keberangkatan dibedakan berdasar cepat atau lambatnya masa tunggu keberangkatan. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur