Syariah

Fatwa Syekh Ismail Zain tentang Shalat Jamak Ta’khir di Rumah Setelah Bepergian

Sel, 24 Agustus 2021 | 14:00 WIB

Fatwa Syekh Ismail Zain tentang Shalat Jamak Ta’khir di Rumah Setelah Bepergian

Hukum melakukan jamak ta’khir di rumah setelah bepergian adalah tidak diboleh, sebab status shalat pertama adalah shalat qadha, sehingga tidak dapat diniati sebagai shalat jamak, namun harus diniati shalat qadha.

Bepergian merupakan salah satu sebab seseorang mendapatkan rukhsah atau dispensasi syariat berupa kebolehan melaksanakan shalat jamak, yaitu melaksanakan dua shalat dalam satu waktu, Zuhur jadi satu waktu dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya.

 
Namun dalam prakteknya, banyak sekali problem yang terjadi dalam pelaksanaan shalat jamak seperti ini, seiring berbagai peristiwa yang dialami oleh seseorang saat bepergian. Salah satu hal yang sering terjadi adalah kasus orang sudah niat jamak ta’khir, namun karena suatu hal, ia berinisiatif untuk melaksanakan shalat ketika sudah sampai di rumahnya. Misalnya ia niat jamak ta’khir shalat Zuhur dan Ashar untuk dilaksanakan pada waktu Ashar. Lalu karena suatu hal, ia berinisiatif melaksanakan dua shalat tersebut saat telah sampai di rumah padahal sudah masuk waktu Ashar.  Dalam keadaan demikian, masih bolehkah baginya shalat jamak ta’khir di rumahnya? Jika tidak boleh, lalu bagaimana status shalat pertama (shalat Zuhur atau Maghrib), apakah ia berdosa karena mengeluarkan shalat tersebut dari waktunya?


Persoalan ini pernah ditanyakan kepada salah satu ulama kenamaan kota Makkah bermazhab Syafi’i, Syekh Ismail Zain. Syekh Ismail Zain menyatakan shalat pertama tidak dapat diniati sebagai shalat jamak, tapi berstatus sebagai shalat qadla’ bi lâ itsmin, yakni shalat qadha namun tidak berdosa bagi pelakunya. Berikut pertanyaan sekaligus fatwa jawaban dari beliau:


مَا الْحُكْمُ مَا لَوْ نَوَى وَهُوَ مُسَافِرٌ أَنْ يَجْمَعَ الصَّلَاةَ الأُوْلَى إلَى وَقْتِ الثَّانِيَةِ فِى وَطَنِهِ أَوْ دَارِ إِقَامَتِهِ، فَهَلْ تَكُوْنُ الصَّلَاةُ الأُوْلَى قَضَاءً لَا إثْمَ فِيْهِ إذَا فُعِلَتْ فِى وَقْتِ الثَّانِيَةِ، وَهُوَ مُسْتَقِرٌّ فِى وَطَنِهِ أَوْ دَارِ إقَامَتِهِ، أَوْ فِيْهِ إثْمٌ؟


Artinya, “Bagaimana hukum dari permasalahan jika musafir menjamak shalat pertama pada waktu shalat kedua ketika sudah sampai di tempat tinggalnya atau tempat dirinya bermukim, apakah shalat pertama berstatus sebagai shalat qadha yang tidak berdosa ketika dilakukan di waktu shalat kedua, sedangkan dia sudah sampai di tempat tinggal atau tempat bermukimnya? Atau shalat pertama berstatus qadha, sehingga pelakunya berdosa?


اَلْجَوَابُ: أَنَّهُ حَيْثُ نَوَى فِي حَالَةِ السَّفَرِ جَمْعَ التَّأْخِيْرِ قَبْلَ خُرُوْجِ وَقْتِ الصَّلَاةِ الْأُوْلَى بِتَمَامِهَا بِقَدْرِ رَكْعَةٍ—عَلَى خِلَافٍ فِيْهِ—فَهَذِهِ النِّيَّةُ تُعْتَبَرُ صَحِيْحَةً مُجَوِّزَةً لِلتَّأخِيْرِ. وَحِيْنَئِذٍ، فَإنْ فَعَلَ الْأُوْلَى فِي وَقْتِ الثَّانِيَةِ قَبْلَ زَوَالِهَا لِعُذْرٍ تَكُوْنُ أَدَاءً لِكَوْنِهَا تَابِعَةً لِلثَّانِيَةِ فِي الْأَدَاءِ لِلْعُذْرِ وَقَدْ وُجِدَ إِلَى تَمَامِهَا جَمِيْعًا. وَإنْ فَعَلَهَا فِي وَقْتِ الثَّانِيَةِ لَكِنْ بَعْدَ زَوَالِ الْعُذْرِ أَوْ زَالَ قَبْلَ فَرَاغِهَا جَمِيْعًا بِأَنْ طَرَأَ عَلَيْهِ نَحْوُ الْإِقَامَةِ، صَارَتْ قَضَاءً لَا إِثْمَ فِيْهِ


Artinya, “Jawab, sungguh sekira masih dalam perjalanan ia melakukan niat jamak ta’khir sebelum keluarnya waktu shalat pertama secara sempurna, sekira masih tersisa durasi waktu yang cukup digunakan untuk melakukan shalat satu rakaat pada sisa waktu tersebut—sesuai perbedaan pendapat ulama dalam hal ini—, maka niat jamak ta'khir tersebut dianggap sebagai niat yang sah dan yang membolehkan untuk mengakhirkan shalat. Dalam kondisi demikian, jika ia melakukan shalat pertama di waktu shalat kedua sebelum habisnya waktu shalat kedua dan masih tetap adanya uzur (berupa bepergian), maka shalat pertama berstatus shalat ada’, sebab shalat pertama masih mengikuti shalat kedua dalam hal ada’ dan uzurnya, dan uzur ini betul-betul wujud sampai sempurnanya pelaksanaan shalat kedua. Namun jika ia melakukan shalat pertama pada waktu kedua, akan tetapi setelah habisnya uzur (sudah tidak dalam bepergian), atau uzurnya hilang sebelum selesainya shalat kedua secara keseluruhan, dengan gambaran tiba-tiba ia bermukim (atau sampai rumah), maka shalat pertama berstatus qadla’ bi lâitsmin (qadha tanpa dosa bagi pelakuknya).” (Ismail Utsman al-Yamani, Qurratul ‘Ain bi Fatâwa Ismail Zain, [al-Barakah], halaaman 79).


Syekh Ismail Zain merumuskan hukum qadla’ bi lâ itsmin mengingat dalam pelaksanaan jamak ta’khir disyaratkan dua hal, (1) niat jamak ta’khir dan (2) wujudnya uzur. Masing-masing dari dua hal ini memiliki fungsi tersendiri. Niat jamak ta’khir diperlukan agar orang dibolehkan mengakhirkan shalat pertama; sedangkan adanya uzur berfungsi agar shalat yang diakhirkan tetap berstatus sebagai ada’. Karenanya, ketika niat jamak ta’khir telah dilakukannya namun uzur berupa bepergian telah habis, maka shalat pertama berstatus qadha tapi pelakunya tidak berdosa, sebab sebelumnya ia telah melakukan niat jamak ta’khir. Hal ini seperti dijelaskan dalam kelanjutan fatwa Syekh Ismail di atas:


فَإنَّ النِّيَّةَ الْمَذْكُوْرَةَ شَرْطٌ لِجَوَازِ التَّأْخِيْرِ وَالْإقْدَامِ عَلَيْهَا. وَأَمَّا دَوَامُ الْعُذْرِ إِلَى التَّمَامِ فَلَيْسَ شَرْطًا لِذَلِكَ. وَإنَّمَا هُوَ شَرْطٌ لِكَوْنِ الثَّانِيَةِ أَدَاءً فَقَطْ مَعَ تَقَدُّمِ النِّيَّةِ المُعْتَبَرَةِ


Artinya “Sesungguhnya niat jamak ta’khir merupakan syarat untuk kebolehan mengakhirkan shalat dari waktunya dan kebolehan melakukannya; sedangkan berlangsungnya uzur sampai sempurna pelaksanaan shalat bukanlah syarat kebolehan mengakhirkan shalat dari waktunya, tapi hanya merupakan syarat agar shalat kedua tetap berstatus ada’ , besertaan telah dilakukannya niat jamak ta’khir.” (Al-Yamani, Qurratul ‘Ain, halaman 80).


Dengan demikian dapat disimpulkan, hukum melakukan jamak ta’khir di rumah setelah bepergian adalah tidak diboleh, sebab status shalat pertama adalah shalat qadha, sehingga tidak dapat diniati sebagai shalat jamak, namun harus diniati shalat qadha. Akan tetapi meskipun statusnya adalah shalat qadha, pelakunya tidak berdosa asalkan telah niat jamak ta’khir saat masih dalam perjalanan yang merupakan sebab kebolehan mengakhirkan shalat pertama pada waktu shalat kedua. 


Meskipun demikian, menurut penulis sebaiknya seorang musafir tetap melakukan shalat jamak ta’khir ketika masih dalam perjalanan, agar shalat pertama tetap berstatus sebagai shalat ada’. Dengan demikian, niat jamak ta’khir yang dilakukan pada waktu shalat pertama betul-betul dapat direalisasikan dalam shalat jamak dalam arti sesungguhnya. Wallâhu a’lam.

 


Gus M Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah Kaliwining, Rambipuji, Jember.