Syariah

Hati-hati Fatwa Individu

Ahad, 22 Agustus 2021 | 23:00 WIB

Hati-hati Fatwa Individu

Hati-hati dengan fatwa individu.

Membahas fatwa dan perbedaan pendapat ulama artinya membahas ragam pendapat ulama setelah wafatnya Rasulullah saw. Sebab, sebelum Rasulullah saw wafat sangat minim kemungkinan terjadi perbedaan pendapat di antara para sahabat. Mereka memiliki Rasulullah saw selaku sumber hukum referensi sentral yang tidak dipertentangkan. 


Setelah kepergian Rasulullah saw dan terputusnya wahyu, para sahabat dan orang-orang yang hidup dengan mereka (tabi’in) disibukkan dengan berbagai permasalahan yang tidak pernah mereka jumpai pada zaman Rasulullah saw. Permasalahan dilatarbelakangi oleh keadaan, perbedaan ras, serta luasnya penyebaran agama Islam yang membuat mereka saling berjauhan. Dalam keadaan demikian, salah satu di antara mereka mencoba menjawab permasalahan baru yang terjadi dengan ijtihad hukum baru. Syekh Ali Khafif (1309-1398 H), salah satu guru Syekh Abu Zahrah dan Syekh Wahbah az-Zuhaili, menejelaskan:


وَذَلِكَ إِنَّمَا يَقُوْمُ عَلَى النَّظَرِ وَالمُوَازَنَةِ بَيْنَ مَا حَدَثَ فِي زَمَنِ الرِّسَالَةِ وَمَا حَدَثَ بَعْدَهَا


Artinya, “(Pada mulanya) jawaban hukum dibangun atas dasar mengamati dan mempertimbangkan antara kejadian yang terjadi pada zaman kenabian dan permasalahan yang terjadi setelahnya.” (Ali al-Khafif, Asbâbukh Tilâfil Fuqahâ’, [Beirut, Dârul Fikr: 2005], halaman 7).


Dari perbandingan kasus hukum sebelum kewafatan Rasulullah saw dan setelahnya yang dilakukan oleh kalangan ulama, kemudian muncul berbagai pendapat berbeda disertai berbagai argumentasi ilmiahnya.


Definisi Khilâf dan Ikhtilâf serta Perbedaannya
Dalam al-Mausû’atul Fiqhiyyah dijelaskan, makna perbedaan (khilâf) secara etimologis adalah pertentangan; sedangkan secara terminologis adalah pertentangan yang terjadi antara dua pendapat dengan tujuan mencari kebenaran untuk kemudian dinyatakan sebagai hukum serta menghilangkan kebatilan.


Secara umum, kata 'perbedaan' dalam kitab-kitab muktabar dikenal dengan istilah ‘khilâf’. Ada juga ulama yang menggunakan kata ‘ikhtilâf’. Namun ternyata ulama memiliki pandangan berbeda tentang keduanya. (1) Khilâf adalah pendapat yang dibangun tanpa referensi dan sumber yang valid; dan (2) ikhtilâf, adalah pendapat yang dibangun atas dasar dalil dan referensi yang jelas serta dapat dipertanggungjawabkan. (Al-Mausû’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Wazâratul Auqâf: 1998], juz XXVI, halaman 331).


Memahami Perbedaan Ulama
Memahami perbedaan pendapat ulama menjadi sangat penting. Apalagi bagi pendakwah atau tokoh agama yang menjadi rujukan, agar tidak keliru dalam membimbing masyarakat. Seharusnya ia mengerti di bagian mana para ulama berbeda pendapat dan di bagian mana pula mereka menemukan kesepakatan. Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi (wafat 676) menjelaskan:


وَاعْلَمْ أَنَّ مَعْرِفَةَ مَذَاهِبِ السَّلَفِ بِأَدِلَّتِهَا مِنْ أَهَمِّ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، لِاَنَّ اخْتِلَافَهُمْ فِي الفُرُوْعِ رَحْمَةٌ


Artinya, “Ketahuilah, sungguh mengetahui mazhab-mazhab ulama salaf dengan dalil-dalilnya termasuk bagian terpenting yang sangat dibutuhkan, karena perbedaan mereka dalam masalah cabang-cabang (ilmu syariat) merupakan rahmat.” (An-Nawawi, al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, [Beirut, Dârul Fikr: 1995], juz I, halaman 5).


Demikan pula Imam Abu Ayyub ‘Atha’ bin Abi Muslim al-Kharasani (wafat 135 H) mengatakan:


لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُفْتِيَ النَّاسَ حَتَّى يَكُوْنَ عَالِمًا بِاخْتِلَافِ النَّاسِ، فَاِنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ رَدَّ مِنَ الْعِلْمِ مَا هُوَ أَوْثَقُ مِنَ الَّذِي لَدَيْهِ


Artinya, “Tidak sepantasnya orang yang hendak berfatwa kepada manusia sampai ia menjadi orang yang mengetahui perbedaan ulama. Jika tidak demikian maka ia akan menolak ilmu yang lebih kuat daripada ilmu yang dimilikinya. (Abul Hijaj al-Maghrabi, Tahdzîbul Masâlik, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah], juz I, halaman 165).


Macam-macam Perbedaan
Dalam kitab Asbâbukh Tilâfil Fuqaha’ dijelaskan, ada banyak variasi khilâf ulama. Menurut Syekh Hamid bin Hamidi as-Sha’idi, variasi itu dilatarbelakangi oleh tujuan ulama, keadaan, kebutuhan dan beberapa faktor lainnya. Ada juga khilâf dalam masalah diniyyah (aqidah) dan ada pula dalam masalah cabang ibadah (furu’). Khilâf dalam masalah akidah, bisa terjadi antara umat Islam dan umat lainnya, dan bisa juga terjadi antarsesama umat Islam, seperti perbedaan keyakinan antara orang-orang Ahlussunnah wal Jama’ah dengan orang Muktazilah, dan lainnya.


Adapun perbedaan ulama dalam masalah cabang-cabang ibadah (syariat) bisa disimpulkan menjadi dua bagian. Yaitu, (1) perbedaan yang diperbolehkan dan diterima; dan (2) perbedaan yang tidak diperbolehkan. Untuk yang pertama, Syekh Hamid mengatakan:


أَمَّا الْمَقْبُولُ الَّذِي سَاغَتْ أَسْبَابُهُ وَدَوَاعِيهِ، وَوُجِدَتْ مُوْجِبَاتٌ صَحِيْحَةٌ تَقْتَضِيْهِ، وَهُوَ خِلَافُ المُجْتَهِدِيْنَ مِنْ فُقَهَاءَ وَمُفْتِيْنَ


Artinya, “Adapun perbedaan yang bisa diterima adalah perbedaan yang sebab-sebab dan latar belakangnya bisa diterima, dan penyebab yang melatarbekanginya merupakan penyebab yang benar, (hal ini bisa terjadi) di kalangan ulama yang sudah mencapai mujtahid dari para fuqaha dan ulama yang berfatwa.”


Untuk ranah perbedaan yang ini ulama sepakat memberi legalitas kepada orang-orang yang kapasitasnya sudah tidak diragukan, memahami semua cabang-cabang ilmu, atau yang lebih dikenal sebagai ulama yang sudah mencapai derajad mujtahid. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:


إِذَا اجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا اِجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْر


Artinya, “Jika seorang ulama melakukan ijtihad kemudian benar, maka ia mendapatkan dua pahala; dan apabila dia ijtihad kemudian salah, maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR Al-Bukhari). (As-Sha’idi, Asbâbukh Tilâfil Fuqahâ’, halaman 36).


Adapun perbedaan yang tidak diperbolehkan adalah perbedaan pendapat yang dilatarbelakangi oleh keinginan untuk tampil hebat dan menolak pendapat orang lain, serta mempertahankan pendapatnya sendiri meskipun salah.


أَمَّا الْمُحَرَّمُ هُوَ مَا كَانَ فِي مُقَابَلَةِ الدَّلِيْلِ الصَّحِيْحِ وَكَانَ الغَرَضُ مِنْهُ الْمُكَابَرَةَ وَالْعِنَادَ والتَّعَصُّبَ، أَوِ اتِّبَاعًا لِلشَّهَوَاتِ


Artinya, “Adapun (perbedaan) yang dilarang ialah perbedaan yang berhadapan dengan dalil shahih dan tujuannya hanyalah untuk sombong, keras kepala, tidak menerima pendapat orang lain, atau mengikuti keinginan syahwatnya.” (As-Sha’idi, Asbâbukh Tilâfil Fuqahâ’, halaman 37).


Kesimpulannya, perbedaan yang terjadi di antara ulama dalam masalah ibadah (furu’), diperbolehkan selagi tujuan dari perbedaan itu adalah mencari yang paling benar serta mendalami tujuan syariat lebih dalam, dalilnya lengkap, alasan-alasan di balik keputusan akhirnya juga ditemukan. Sebab, dalam ranah ibadah, umumnya bersifat yang tidak pasti (qath’i). Artinya, ulama yang kapasitasnya sudah mumpuni bisa saja berbeda pendapat dalam permasalah ini. Syekh Abil Hijaj al-Maghrabi mengatakan:


اِنَّهُ يُعَدُّ مِنْ مَحَاسِنِ الشَّرِيْعَةِ، لِأَنَّهُ يَمْنَحُ الفِقْهَ


Artinya, “Perbedaan ulama termasuk keindahan syariat, karena ia memberikan kelonggaran dalam ilmu fiqih.” (Al-Maghrabi, Tahdzîbul Masâlik, juz I, halaman 165).


Karenanya, bagi pendakwah atau tokoh agama, semestinya tidak mengeluarkan fatwa individu atau fatwa pribadi yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah dirumuskan para ulama, agar tidak keliru dalam membimbing masyarakat. Wallâhu a’lam.

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.