Syariah

Hukum Adat dalam Tinjauan Fiqih

Kam, 3 Agustus 2017 | 14:00 WIB

Hukum Adat dalam Tinjauan Fiqih

Penetapan hukum berdasarkan alasan adat istiadat masyarakat mendapatkan landasan teori fiqih yang cukup banyak.

Di Indonesia ada istilah gono gini. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan disebut adat perpantangan. Ia adalah harta milik bersama dari suami dan istri yang mereka peroleh selama perkawinan. Ini disebutkan dalam UU Perkawinan 01/74 pasal 35. Jika salah satunya meninggal dunia, maka hartanya, sebelum diwaris, dibagi dua terlebih dulu. Separoh diberikan kepada pasangannya yang hidup, yang separoh lagi dibagi untuk ahli waris. Harta Gono gini tidak disebutkan baik dalam Al-Qur'an, Al-Sunnah (hadits) maupun kitab-kitab Fiqh.

Harta gono-gini tidak pernah ada dalam sejarah Islam sebelumnya. Boleh jadi kasus gono-gini ini adalah khas Indonesia. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menulis bahwa kasus ini memperoleh keabsahannya dari seorang ulama Indonesia terkemuka dari Banjarmasin, Syeikh Muhammad Arsyad al Banjari (w. 1812), penulis kitab Sabilal Muhtadin. Di Banjar pembagian waris seperti ini telah berjalan lama dan disebut “adat perpantangan”. Dalam masyarakat Aceh tradisi ini juga telah berlangsung lama yang disebut harta “seuharkat”.

Menurut Gus Dur selanjutnya, adat perpantangan ini nyata sekali merupakan sebuah hasil pemikiran kontekstual yang memperhitungkan masyarakat Banjar yang harus hidup dari kerja di atas sungai, baik berdagang maupun mengail atau menjala ikan. Pekerjaan ini tidak bisa hanya dilakukan oleh seorang suami saja, tetapi harus dilakukan oleh suami dan isteri secara bersama-sama dengan jalan membagi peran atas pekerjaan itu. (Majalah Pesantren,2/vol. II/1985).

Penetapan hukum berdasarkan alasan adat istiadat masyarakat mendapatkan landasan teori fiqih yang cukup banyak. Antara lain kaidah fiqih :
 

العادة محكمة


“Adat/tradisi dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum syara’.”

Atau kaidah:

 
الثابت بالعرف كالثابت بالنص


"Ketetapan hukum yang didasarkan atas tradisi sama dengan ketetapan yang didasarkan atas syara’".

atau

 

 
استعمال الناس حجة يجب العمل يها


"Kebiasaan masyarakat banyak adalah dasar hukum yang harus diikuti".

Kaidah hukum ini tentu saja mengharuskan adanya kesesuaian dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama atau maqashid al syari’ah (cita-cita agama).

Betapa luwes, luas, dan dinamisnya hukum Islam jika kita bisa mengapresiasi teori ini.

 Imam Syihab al-Din al-Qarafi (w.1285 M), tokoh besar dalam mazhab Maliki, dalam bukunya yang terkenal al-Furuq, mengatakan :

 

 
"فمهما تجدد فى العرف اعتبره ومهما سقطت أسقطه ولا تجمد على المسطور فى الكتب طول عمرك بل اذا جاءك رجل من غير إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وافته به دون عرف بلدك والمقرر فى كتبك. فهدا هو الحق الواضح والجمود على المنقولات أبدا ضلال فى الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين"  (الفروق, ج 1 ص 176-177).


“Manakala tradisi telah terbarui, ambillah, jika tidak, biarkanlah. Janganlah kamu bersikap kaku terhadap sumber-sumber tertulis dalam buku-bukumu sepanjang hidupmu. Jika ada seseorang datang kepadamu dari negeri lain dengan maksud meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu sampaikan fatwa berdasarkan tradisi negerimu. Bertanyalah lebih dulu tentang tradisinya, dan berikanlah fatwa berdasarkan tradisinya, bukan tradisimu dan bukan pula menurut yang ada di buku-bukumu. Ini adalah cara yang benar dan jelas.”(Al-Qarafi, al-Furuq, I/176-177).


KH Husein Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon

Baca: Baca juga: Metodologi Islam Nusantara