Syariah

Hukum Jual Beli Ulat, Cacing, Semut untuk Makanan Burung

Kam, 22 Februari 2018 | 05:36 WIB

Hukum Jual Beli Ulat, Cacing, Semut untuk Makanan Burung

Ilustrasi (via animalia-life.club)

Pernah kita mendapati seseorang melakukan jual beli ulat, cacing, atau semut untuk makanan burung? Fenomena ini jamak dijumpai di masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab atas kelangsungan hidup binatang piaraannya. Demi efisiensi, mereka yang malas atau kesulitan berburu sendiri ulat, cacing, atau semut itu lebih memilih untuk membelinya.

Kita tahu ketiga binatang itu haram dikonsumsi. Semut diharamkan karena terdapat hadits Nabi yang melarang membunuh serangga kelas insekta ini. Sementara cacing dan ulat dalam fiqih syafi’iyah haram pula dikonsumsi karena menjijikkan. Tidak ada persoalan hukum alias boleh ketika transaksi antara penjual dan pembeli adalah transaksi jual beli jasa. Artinya, orang yang butuh makanan burung sedang memberi upah berburu/menangkap kepada si pemilik cacing, ulat, atau semut. 

Namun fakta umum keseharian masyarakat tidak demikian. Si pembeli lazimnya dengan sadar berniat membeli, bukan sekadar mengganti ongkos (jasa) menangkap/berburu binatang-binatang tersebut. Begitu pun si penjual biasanya sedari awal memang tak bermaksud menjual jasa, melainkan cacing, ulat, atau semut sebagai mata pencaharian. Lalu bagaimana hukumnya ketika seseorang secara sengaja melakukan jual beli tiga binatang haram itu?

Persoalan ini pernah disinggung dalam Muktamar Ke-30 Nahdlatul Ulama pada tahun 1999. Saat itu muktamirin menyajikan jawaban bahwa terjadi khilafiyah (beda pendapat) di antara ulama. Pertama, mengharamkan karena dianggap hina. Kedua, sebagian ulama membolehkan karena dinilai ada unsur manfaatnya.

Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh mengungkapkan bahwa para ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan barang yang dijualbelikan harus suci (bukan najis atau bukan terkena najis). Mereka memperbolehkan jualbeli barang-barang najis, seperti bulu babi dan kulit bangkai karena bisa dimanfaatkan. Kecuali barang yang terdapat larangan memperjual belikannya, seperti minuman keras, daging babi, bangkai dan darah, sebagaimana mereka juga memperbolehkan jual beli binatang buas dan najis yang bisa dimanfaatkan untuk dimakan. Ia menambahkan:

وَالضَّابِطُ عِنْدَهُمْ أَنَّ كُلَّ مَا فِيْهِ مَنْفَعَةٌ تَحِلُّ شَرْعًا فَإِنَّ بَيْعَهُ يَجُوْزُ لِأَنَّ اْلأَعْيَانَ خُلِقَتْ لِمَنْفَعَةِ اْلإِنْسَانِ

Artinya: “Dan parameternya menurut ulama Hanafiyah adalah, semua yang mengandung manfaat yang halal menurut syara.’, maka boleh menjual belikannya. Sebab, semua makhluk yang ada itu memang diciptakan untuk kemanfaatan manusia.” (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, [Damaskus: Dar al-Fikr, 1989], Jilid IV, 181-182)

Dasar lain yang menjadi acuan adalah keterangan dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah. Dalam kitab ini Abdurrahman al-Juzairi mengatakan:
 
وَكَذلِكَ يَصِحُّ بَيْعُ الْحَشَرَاتِ وَالْهَوَامِ كَالْحَيَّاتِ وَالْعَقَارِبِ إِذَا كَانَ يُنْتَفَعُ بِهَا. وَالضَّابِطُ في ذلِكَ أَنَّ كُلَّ مَا فِيْهِ مَنْفَعَةٌ تَحِلُّ شَرْعًا فَإِنَّ بَيْعَهُ يَجُوْزُ 

Artinya: “Dan begitu pula sah jual beli serangga dan binatang melata, seperti ular dan kelajengking ketika bermanfaat. Dan parameternya menurut mereka (ulama Hanafiyah) dalam hal itu adalah semua yang mengandung manfaat yang halal menurut syara.’, maka boleh menjualbelikannya. Sebab, semua benda itu diciptakan untuk kemanfaatan manusia.” (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, [Beirut: Dar al-Fikr, 1996], Jilid I, h. 382)

Keputusan muktamar tersebut tidak memberikan penjelasan lebih rinci tentang mana pendapat yang lebih kuat, seolah membuka kelonggaran kepada tiap orang untuk memilih pendapat yang diyakininya. Jika memilih pendapat yang kedua maka asas manfaat harus benar-benar ada, bukan untuk hal sia-sia atau merugikan. Wallahu a’lam. (Mahbib)