Syariah

Hukum Memakai Celana Dalam Ihram

Ahad, 28 Mei 2023 | 11:30 WIB

Hukum Memakai Celana Dalam Ihram

Salah satu larangan ihram dari kaum laki-laki adalah memakai pakaian yang berjahit. (Foto: Haramain)

Di dalam madzhab Syafi'i, terdapat perbedaan antara rukun dengan wajib pada bab haji. Rukun adalah inti pelaksanaan haji yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun dan tidak bisa diganti dengan membayar dam, sedangkan wajib haji walaupun statusnya adalah wajib namun masih memungkinkan digantikan orang lain atau dengan membayar dam sesuai ketentuan masing-masing. 


Adapun rukun haji terdiri dari ihram, wukuf di Arafah, thawaf, sa’i, cukur rambut. Dari kelima rukun haji tersebut, semuanya mempunyai aturan khusus, tak terkecuali pada rukun ihram. Salah satu larangan ihram dari kaum laki-laki adalah memakai pakaian yang berjahit. 


Syekh Sirajuddin al-Bulqini menyatakan: 


المُحرَّماتُ عشرون الى ان قال وللرَّجُلِ لبسُ المَخِيطِ والعمامةِ.


Artinya: “Larangan ihram ada 20 -kemudian sampai kalimat- Bagi laki-laki memakai pakaian berjahit dan memakai imamah,” (Sirajuddin al-Bulqani, Tadribul Mubtadi’ wa Tadzhibul Muntahi, (Riyadh: Darul Qiblatain, 2012), juz 1, hlm. 116)


Dengan adanya aturan tidak boleh memakai kain berjahit ini, kemudian memunculkan inovasi-inovasi inisiatif masyarakat untuk menyiasati larangan pemakaian kain berjahit. Salah satu inovasi yang terjadi di masyarakat adalah dengan pembuatan celana dalam (cawat) ihram. 


Celana dalam ihram bentuknya beraneka macam. Ada yang dibuat berbentuk selembar kain dengan potongan sesuai pola pada celana dalam dilengkapi dua tali bagian kanan dan dua tali bagian kiri, sehingga pada saat digunakan, pemakai tinggal menalikan bagian kanan dan kiri celana dalam. Ada lagi model lain yaitu berupa celana dalam namun direkatkan memakai perekat kain. Dengan begitu, walaupun tanpa dijahit, celana dalam masih tetap bisa digunakan dengan nyaman. 


Perlu difahami bahwa yang namanya jahitan dalam larangan ihram ini tidak hanya jahitan yang terbuat dari benang yang disusun dengan susunan rapi, namun bisa juga kain yang dijahit dengan tangan sendiri dengan arti ditali. Itu namanya juga dijahit. Begitu juga dengan kain perekat atau bahkan celana dalam yang dibuat oleh pabrik dengan bentuk celana dalam jadi. Masing-masing model celana dalam itu walaupun tidak dijahit dengan benang, namun mempunyai makna yang sama dengan dijahit karena yang dilarang tidak hanya makhîth yang mempunyai arti jahitan, namun juga muhîth yang berarti meliputi atau menutup penuh salah satu anggota tubuh. 


Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitab Al-Ghurarul Bahiyah Syarah Bahjatul Wardiyah dengan sedikit diringkas dari penjelasannya yang panjang sebagai berikut: 


(وَ) يَحْرُمُ (سُتْرَةُ الْبَدَنْ) أَوْ عُضْوًا مِنْهُ (بِمَا يُحِيطُ) به (بِشُرُوجٍ أَوْ طُعْنٍ أَوْ نَسْجِهِ أَوْ لَصْقِهِمِنْ جِلْدٍ وَغَيْرِهِ أَوْ عَقْدِهِ كَلِبْدِ)


Artinya: “Haram menutup badan dengan pakaian yang bisa meliputi anggota tubuh dengan tali (diikat) atau jahitan atau tenunan (tanpa jahitan) atau ditempelkan atau sisi kain yang satu dengan yang lainnya diikatkan,” (Zakaria al-Anshari, Al-Ghurarul Bahiyah Syarah Bahjatul Wardiyah, [Mathba’ah al-Maimaniyyah], Juz 2, hlm. 339)


Dari keterangan di atas dapat difahami bahwa bimâ yuhîthu bihî itu setiap benda yang meliputi tubuh, menutupi bagian tubuh tertentu misalnya meliputi tangan, meliputi kaki, dan lain sebagainya yang bisa membentuk satu pakaian tertentu seperti kaos tangan, kaos kaki walaupun tanpa berjahit, maka ini dinamakan al-muhîth.


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa memakai celana dalam dalam bentuk apapun dalam kondisi ihram hukumnya adalah haram dan mengharuskan pelanggarnya membayar dam. Sengaja melanggar aturan ini hukumnya haram dan wajib membayar fidyah, namun jika ada kebutuhan mendesak, maka hukumnya tidak haram namun tetap wajib membayar fidyah. Wallahu a’lam.


Ust. Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Kota Semarang.