Syariah

Hukum Mengonsumsi Daging Kuda

Ahad, 31 Maret 2019 | 07:30 WIB

Hukum Mengonsumsi Daging Kuda

Ilustrasi (via horsefund.org)

Kuda merupakan salah satu jenis hewan yang disebutkan di berbagai tempat dalam Al-Qur’an. Penyebutan kata “al-khayl” yang merupakan nama kuda dalam bahasa Arab umumnya disebutkan dalam Al-Qur’an ketika menerangkan tentang suatu kenikmatan. Misalnya seperti yang terdapat dalam Surat An-Nahl:

وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً

“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan.” (QS An-Nahl, Ayat: 8)

Dalam ayat lain juga dijelaskan bahwa kuda merupakan salah satu harta dunia yang disenangi oleh manusia:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَأَبِ

“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang di inginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan shallallahu ‘alaihi wasallamah ladang. Itulah  kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran, Ayat: 14)

Meski menyebutkan hewan kuda secara khusus, ayat-ayat tersebut tidak secara langsung menjelaskan perihal tentang kehalalan mengonsumsi daging kuda, sebab secara umum hal yang paling dominan dalam hal ketertarikan pada hewan kuda adalah tatkala hewan ini dijadikan sebagai kendaraan, hiasan atau koleksi bagi seseorang.

Tentang hukum mengonsumsi kuda, secara tegas dijelaskan dalam hadits:

عن جابر بن عبد الله أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى يوم خيبر عن لحوم الحمر الأهلية وأذن في لحوم الخيل

“Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdullah radliyallahu ‘anh bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang pada saat perang Khaibar mengonsumsi daging keledai yang jinak dan memperbolehkan mengonsumsi daging kuda.” (HR Muslim)

Berdasarkan hadits di atas dapat dipahami bahwa mengonsumsi daging kuda adalah hal yang diperbolehkan. Namun memutuskan tentang hukum mengonsumsi kuda belum selesai hanya berdasarkan satu hadits di atas saja. Kita perlu menengok pandangan para ulama Madzahib al-Arba’ah tentang hukum mengonsumsi daging kuda, sebab pijakan para ulama jelas berdasarkan pertimbangan berbagai macam dalil secara matang, tidak hanya berdasarkan satu-dua dalil saja. 

Hal ini misalnya seperti yang dijelaskan dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah bahwa tentang hukum mengonsumsi daging kuda, para ulama terjadi perbedaan pendapat, di antaranya ada yang menghalalkan, memakruhkan, dan mengharamkan. Berikut perincian tentang perbedaan pendapat tersebut:

ذهب الشافعية والحنابلة وهو قول للمالكية إلى إباحة أكل لحم الخيل لحديث جابر قال : نهى النبي صلى الله عليه وسلم يوم خيبر عن لحوم الحمر الأهلية ورخص في لحوم الخيل 
وذهب الحنفية - وعليه الفتوى عندهم - وهو قول ثان للمالكية إلى حل أكلها مع الكراهة التنزيهية لاختلاف الأحاديث المروية في الباب لاختلاف السلف
والمذهب عند المالكية أن أكل لحم الخيل محرم

“Ulama Syafi’iyah, Hanabilah, dan sebagian pendapat Malikiyah berpandangan bahwa boleh mengonsumsi daging kuda, berdasarkan hadits sahabat Jabir: ‘Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarang daging keledai yang jinak pada saat perang Khaibar dan memberi keringanan (kehalalan) pada daging kuda.’ Ulama Hanafiyah berpandangan halalnya mengonsumsi daging kuda disertai hukum makruh tanzih—pendapat ini adalah pendapat kedua dalam Mazhab Malikiyah. Hal tersebut dikarenakan berbeda-bedanya hadits yang diriwayatkan tentang kehalalan daging kuda dan berbeda dengan pengamalan ulama salaf. Sedangkan pendapat yang kuat dalam mazhab Malikiyah bahwa mengonsumsi daging kuda adalah hal yang diharamkan.” (Kementrian wakaf dan urusan keagamaan Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz 35, hal. 210)

Kehalalan daging kuda menurut para ulama yang menghalalkan tetap harus berdasarkan syarat-syarat yang mu’tabar seperti harus disembelih secara syar’i, masih terdapat sisa nyawa yang menetap (hayat al-mustaqirrah) dalam kuda dan menyembelih dengan mengucapkan basmalah menurut tiga mazhab selain  mazhab Syafi’iyah.

Walhasil, kuliner daging kuda yang biasa kita temukan di berbagai sudut jalanan dengan menu sate kuda dan berbagai masakan lainnya adalah hal yang masih diperselisihkan di antara para ulama. Bagi orang yang terbiasa mengonsumsi daging ini hendakanya bertaqlid pada ulama yang memperbolehkan yakni menurut mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Hanafi. Namun jika ingin memilih jalan hati-hati (ihtiyath) dengan tidak mengonsumsi daging kuda, juga merupakan hal yang baik, selama tetap menghormati dan menghargai pandangan yang dianut oleh orang lain. Wallahu a’lam


Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Kaliwining Jember Jawa Timur