Syariah

Hukum Mengulang Shalat karena Merasa Tak Khusyuk

Jum, 4 Januari 2019 | 11:00 WIB

Hukum Mengulang Shalat karena Merasa Tak Khusyuk

Mayoritas ulama memasukkan khusyuk sebagai hal yang sunnah, sebagian lain menganggapnya wajib. (Foto ilustrasi: NU Online/Mahbib)

Khusyuk adalah salah satu hal yang sangat dianjurkan oleh syariat orang-orang mukmin dalam melaksanakan shalat. Allah SWT berfirman:
 
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ, الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ
 
“Sungguh beruntung orang-orang mukmin. Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya” (QS. Al-Mu’minun, Ayat 1-2)
 
Khusyuk sendiri dapat dilakukan dengan cara tidak memikirkan segala hal dalam shalat kecuali pada hal yang berhubungan dengan rukun atau kesunnahan yang saat itu sedang dilakukannya, seperti bacaan dan gerakan shalat. Dengan memikirkan sesuatu yang tidak berhubungan dengan shalat yang sedang dilakukan maka seseorang sudah dianggap tidak khusyuk dalam shalatnya. 
 
Oleh mayoritas ulama anjuran khusyuk yang terdapat dalam dalil di atas dimasukkan dalam kategori hukum sunnah, bukan wajib. Sehingga ketika rukun-rukun dalam shalat sudah dilaksanakan dengan baik meski tanpa adanya kekhusyukan, maka shalatnya tetap dianggap sah dan tetap dapat menggugurkan kewajibannya.
 
Namun ada pula sebagian ulama yang berpandangan bahwa khusyuk dalam shalat merupakan salah satu syarat dalam keabsahan shalat, sehingga ketika seseorang kedapatan tidak khusyuk dalam shalatnya, maka shalat yang dilakukan dianggap tidak sah dan wajib untuk mengulang kembali shalatnya sampai bisa khusyuk. Pendapat ini salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Imam al-Ghazali. 
 
Namun pendapat wajibnya khusyuk ini dipandang cukup berat untuk diamalkan karena khusyuk dalam shalat bukanlah hal yang mudah. Sehingga baiknya bagi kita untuk taqlid (mengikuti) pada ulama yang berpandangan bahwa khusyuk adalah hal yang sunnah, agar shalat kita tidak mudah distatuskan sebagai shalat yang tidak sah hanya karena ada bagian dalam shalat kita yang tidak dilakukan dengan khusyuk.
 
Gambaran tentang khusyuk salah satunya dijelaskan dalam kitab Fath al-Mu’in:
 
وسن فيها خشوع بقلبه بأن لا يحضر فيه غير ما هو فيه وإن تعلق بالآخرة وبجوارحه بأن لا يعبث بأحدها. وذلك لثناء الله تعالى في كتابه العزيز على فاعليه بقوله: * (قد أفلح المؤمنون الذين هم في صلاتهم خاشعون) * ولانتفاء ثواب الصلاة بانتفائه، كما دلت عليه الاحاديث الصحيحة ولان لنا وجها اختاره جمع أنه شرط للصحة.
 
“Disunnahkan dalam shalat untuk khusyuk dengan hati. Dengan gambaran sesorang tidak menghadirkan dalam shalat selain sesuatu yang sedang dilakukannya, meskipun berhubungan dengan akhirat. Dan disunnahkan khusyuk dengan anggota tubuh. Dengan gambaran tidak bermain-main dengan salah satu bagian dari anggota tubuh. Kesunnahan ini dikarenakan pujian Allah SWT pada orang yang khusyuk dalam kitab-Nya, dengan firmannya “Sungguh beruntung orang-orang mukmin. Yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya” dan dikarenakan sirnanya pahala shalat dengan tidak khusyuk, seperti halnya yang dijelaskan dalam beberapa hadis shahih. Dan juga dikarenakan adanya pandangan yang dipilih oleh golongan ulama bahwa sesungguhnya khusyuk ini adalah syarat sahnya shalat” (Syekh Zainuddin al-Maliabar, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 212)
 
Ketika berpijak pada pendapat mayoritas ulama bahwa khusyuk adalah kesunnahan shalat, maka ketika seseorang merasa bahwa shalatnya tidak khusyuk, tetap boleh baginya untuk mengulang kembali shalatnya, meskipun hal ini bukanlah sebuah kewajiban tapi hanya sebatas kesunnahan, seperti halnya sunnahnya mengulang kembali shalat fardhu secara umum. Sebab shalat yang dilakukan dengan tidak khusyuk tetap dihukumi sah sehingga tidak wajib untuk diulang kembali. Kekhusyukan adalah soal kualitas soal, bukan sah tidaknya shalat. 
 
Namun mengulang kembali shalat yang tidak khusyuk ini harus memenuhi beberapa syarat seperti halnya dalam mengulang shalat fardhu yang lain. Salah satu syarat tersebut adalah harus dilakukan dengan cara berjamaah, dilakukan saat waktu shalat masih berlangsung dan hanya dapat diulang satu kali saja. Sehingga mengulang shalat yang dipandang tidak khusyuk tidak boleh jika dilaksanakan sendirian atau di luar waktu shalat atau sampai mengulang shalat lebih dari satu kali.  Hal ini seperti yang dijelaskan dalam Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib
 
قوله : (ويسن إعادة المكتوبة إلخ) حاصله أنه يشترط لصحة الإعادة الوقت ولو ركعة ، والجماعة من أولها إلى آخرها –إلى أن قال- وقال م ر : الجماعة في المعادة بمنزلة الطهارة لها ونية الفرضية ، وأن تكون الأولى صحيحة وإن لم تغنه عن القضاء ، وأن تكون مع من يرى جواز الإعادة أو ندبها ، فلو كان الإمام المعيد شافعيا والمأموم حنفي أو مالكي لا يرى جواز الإعادة لم تصح لأن المأموم يرى بطلان الصلاة فلا قدوة ، وأن تعاد مرة فقط .
 
“Disunnahkan mengulangi shalat fardhu. Kesimpulannya bahwa sesungguhnya disyaratkan dalam sahnya mengulangi shalat fardhu beberapa syarat. Pertama, dilakukan pada saat waktu shalat tersebut, meskipun hanya menemui satu rakaat. Kedua, dilakukan dengan cara berjamaah mulai awal shalat sampai akhir shalat. Imam Ramli berkata, 'Jamaah dalam shalat mu’adah (shalat yang diulang kembali) menempati posisi bersuci dan niat fardhu dalam shalat'. Ketiga, shalat yang pertama harus sah meskipun tidak mencukupi untuk qadha’. Keempat, dilaksanakan bersama orang yang berpandangan bolehnya mengulangi shalat atau sunnahnya mengulangi shalat. Jika imam yang mengulangi shalat bermazhab syafi’I, sedangkan makmumnya bermazhab Hanafi atau maliki yang tidak berpandangan bolehnya mengulang kembali shalat fardhu maka shalat yang dilakukan imam tersebut tidak sah, karena makmum berpandangan batalnya shalatnya (imam) maka tidak boleh untuk diikuti. Kelima, dilakukan hanya satu kali saja. (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz 5, hal. 78)
 
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mengulang kembali shalat karena merasa tidak khusyuk adalah hal yang disunnahkan menurut mayoritas ulama dan pelaksanaannya harus memenuhi syarat-syarat yang telah dijelaskan di atas. Namun menurut ulama yang berpandangan bahwa khusyuk merupakan syarat sah shalat, maka mengulang kembali shalat karena merasa tidak khusyuk adalah suatu kewajiban. Kedua pendapat ini sama-sama dapat diikuti dan dijadikan pijakan, tinggal pendapat mana yang sesuai dengan kecenderungan dan keyakinan kita masing-masing.  Wallahu a’lam.


Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Psantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember