Syariah

Hukum Orang Tua Cegah Anak Mondok

Sel, 22 Maret 2016 | 14:08 WIB

Pesantren termasuk lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Jauh sebelum didirikan sekolah dan kampus umum, ulama Nusantara sudah mendirikannya  sebagai tempat belajar pribumi meskipun bentuknya tidak seformal sekarang. Sistem pengajaran di pesantren tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga perhatian terhadap akhlak peserta didik (santri). Itulah yang membedakan pesantren dari lembaga pendidikan lainnya.

Belajar di pesantren tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kemandirian adalah tantangan utamanya. Terutama bagi anak lulusan SD, berpisah jauh dari kedua orang tua sangatlah memberatkan. Demikian pula dengan kedua orang tua, menghabiskan hari tanpa anak kesayangan adalah menyedihkan. Makanya tak jarang orang tua yang menahan keinginan anaknya untuk mondok, walaupun anaknya bersikeras ingin belajar di pesantren.

Sepantasnya bagi orang tua tidak menahan keinginan anaknya belajar di pesantren, sebab itu adalah pekerjaan mulia. Tetapi andaikan kedua orang tua atau salah satunya melarang anaknya nyantri, apakah diperkenankan bagi seorang anak kabur dan memaksakan keinginannya untuk mengaji di pesantren? Terkait persoalan ini, Ahmad Ad-Dasuki Al-Maliki dalam Hasyiyah Dasuki ‘ala Syarhil Kabir menjelaskan,

أن كل فرض كفاية للوالدين أو أحدهما المنع منه إذا كان السفر لتحصيله في البحر أو البر الخطر لا إن كان في بر آمن قال الشارح يستثنى من ذلك الجهاد فإن لها منع الولد منه مطلقا، ولو كان السفر له في بر آمن ويستثنى أيضا طلب العلم الكفائي إذا خلا محلهما عمن يفيده فليس لهما منعه من السفر له مطلقا كان في بحر أو بر خطر أو آمن، وأما إذا كان في البلد من يفيده فلهما المنع من السفر له مطلقا

Artinya, “Apabila kedua orang tua/salah satunya khawatir di perjalanan ada bahaya, maka diperbolehkan melarang anak yang ingin pergi mengerjakan urusan yang dihukumi fardhu kifayah. Akan tetapi, dia tidak boleh melarangnya jika perjalanannya aman. Pensyarah berkata, orang tua berhak melarang anaknya untuk berjihad walaupun aman perjalanannya. Begitu pula dalam soal menuntut ilmu-ilmu fardhu kifayah jika di wilayahnya terdapat orang yang ahli dalam bidang ilmu tersebut, maka kedua orang tua boleh melarang keinginan anaknya. Tetapi bila tidak ada, kedua orang tua dilarang membendung hasrat anaknya baik perjalanan menuntut ilmu itu aman atau tidak.”

Saat keluar rumah, seorang anak mesti mendapatkan restu dari kedua orang tuanya. Termasuk untuk urusan menuntut ilmu atau pun aktivitas lainnya. Begitu pula kedua orang tua, mereka mesti terus mendukung aktivitas positif yang dikerjakan anaknya. Apalagi aktivitas yang berkaitan dengan kelangsungan agama dan bangsa. Saling mengerti di antara anak dan orang tua ini tentu akan membuahkan hasil yang lebih baik.

Dilihat dari sisi hukumnya, orang tua memang diperbolehkan menahan keinginan anaknya untuk nyantri ke daerah lain, kalau di daerahnya masih ada orang yang menguasai ilmu agama, semisal tafsir, hadits, fikih, dan lain-lain. Bisa saja ia tidak mondok, tapi belajar langsung kepada kiai dan ustadz yang ada di daerahnya.

Hal ini seperti yang dilakukan “santri kalong”. Namun jika tidak ada yang menguasainya, orang tua dilarang mencegah anak yang ingin nyantri di pesantren sekalipun lokasinya jauh dari rumah. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)