Syariah

Ihwal Bercanda dan Batas-batasnya dalam Islam

Sab, 18 Januari 2020 | 14:15 WIB

Ihwal Bercanda dan Batas-batasnya dalam Islam

Bercanda dalam kondisi yang pas akan mendatangkan faedah. Tapi tidak bila sebaliknya.

Banyak orang yang sangat menyukai candaan atau humor. Saat berbincang-bincangn dengan seseorang, tertawa bisa meledak dengan tiba-tiba. Apakah humor diperbolehkan? Padahal ada hadits Nabi Muhammad yang menyatakan:

 

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ يُضْحِكُ بِهَا جُلَسَاءَهُ، يَهْوِي بِهَا مِنْ أَبْعَدَ مِنَ الثُّرَيَّا

 

Artinya: “Sesungguhnya seseorang yang berbicara dengan perkataan yang bisa memancing gelak tawa hadirin, ia akan masuk ke jurang neraka dengan posisi paling jauh dari titik tsurayya” (Musnad Ahmad: 2990).

 

Dalam kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, Syekh Abu Nuaim Ahmad al-Asbihani menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits gharib. Hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh Shafwan az-Zubair bin Said al-Hasyimi.

 

Hadits gharib lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah menceritakan sebuah hadits yang panjang di antaranya sabda Rasulullah :

 

وَلَا تُكْثِرِ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ القَلْبَ

 

Artinya: “Janganlah kamu memperbanyak tertawa. Sesungguhnya tertawa yang banyak dapat mematikan hati” (Sunan at-Turmudzi: 2305).

 

Hadits lain, Nabi bersabda:

 

ويل للذي يحدث فيكذب ليضحك به القوم ويل له ويل له

 

Artinya: “Celaka bagi orang yang berbicara kemudian dia berbohong supaya bisa membuat tertawa masyarakat. Celaka baginya, celaka baginya” (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Turmudzi dan Hakim).

 

Dengan adanya hadits-hadits di atas, apakah kita harus selalu serius setiap saat? Ternyata tidak. Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam al-Ghazali menceritakan banyak riwayat bahwa Nabi terkadang juga melempar guyonan kepada orang di sekitarnya. Di antaranya sebuah kisah yang diceritakan oleh Zaid bin Aslam. Suatu saat, Baginda Nabi disowani Ummu Aiman.

 

“Ya Rasul, suami saya mengundang anda untuk datang ke rumah kami” kata Ummu Aiman.

 

Rasul menjawab, “Suami kamu itu siapa? Apa orang yang di matanya ada putih-putihnya itu?”

 

Sontak, Ummu Aiman menjawab. “Tidak, demi Allah.”

 

Nabi berseloroh. “Enggak, suami kamu itu yang matanya ada putih-putihnya itu ‘kan?”

 

“Demi Allah, tidak ada, ya Rasul.”

 

Kemudian Rasulullah bersabda, “Tidak ada seorang pun kecuali di bagian kedua matanya ada putih-putihnya.”

 

Ternyata yang dimaksudkan Rasulullah adalah putih-putih yang mengelilingi pupil mata. Bukan putih-putih yang dipersepsikan Ummu Aiman. Ini salah satu lemparan guyon Nabi Muhammad .

 

 

Suatu hari ada wanita lain yang meminta tolong kepada Nabi untuk menaikkan dirinya ke atas unta.

 

“Ya Rasul, tolong saya naikkan ke atas unta!”

 

“Aku akan naikkan kamu ke atas punggung anak unta,” kata Nabi

 

“Saya tidak mau, Ya Rasul. Anak unta pasti tidak akan mampu membawaku.”

 

Lalu Nabi pun bersabda dengan nada guyon, “Tidak ada unta kecuali dia pasti menjadi anaknya unta juga.”

 

 

Habib Abdullah bin Husain bin Thahir dalam kitabnya Sullamut Taufiq mengutip pernyataan Al-Hasan bahwa candaan yang tidak keterlaluan dan terus-menerus, diperbolehkan. Candaan dianggap baik dan sebagai media relaksasi dari ketegangan asalkan tidak sampai berlebihan. Terlalu banyak tertawa bisa menyebabkan hati keras.

 

وقال الحسن أن من الخيانة أن تحدث بسر أخيك وكالمزاح إذا كان مفرطا ومداوما أما المداومة فلأنه اشتغال باللعب والهزل فيه وأما الافراط فيه فلأنه يورث كثرة الضحك وكثرة الضحك تميت القلب وتسقط المهابة وأما إذا كان المزاح مطايبة وفيه انبساط وطيب قلب فلم ينه عنه

 

Artinya: “Al-Hasan berkata ‘Sesungguhnya yang termasuk berkhianat adalah jika kamu menceritakan rahasia teman kamu. Juga seperti guyonan yang keterlaluan dan terus-menerus. Candaan yang terus-menerus dapat menyibukkan seseorang pada permainan dan senda gurau. Candaan yang keterlaluan bisa menyebabkan banyak tertawa. Banyak tertawa bisa mematikan hati, menghilangkan kewibawaan. Jika guyon itu baik, ada unsur menggemberikan dan merelaksasi hati maka tidak dilarang” (Habib Abdullah bin Husain bin Thahir, Sullamut Taufiq, [Thoha Putra], hlm. 69).

 

Demikian pula dikatakan Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar an-Nawawi, guyon diperbolehkan selama tidak keterlaluan dan tidak terus-menerus. Karena guyon yang kelewat batas berpotensi menghabiskan waktu untuk menyakiti orang lain, mengakibatkan kedengkian, dan kewibawaan. Jika guyon sesekali dilakukan untuk kemaslahatan, membuat nyaman lawan bicara, tentu tidak ada larangan sama sekali. Bahkan malah seperti ini disunnahkan.

 

قال العلماء: المزاحُ المنهيُّ عنه، هو الذي فيه إفراط ويُداوم عليه، فإنه يُورث الضحك وقسوةَ القلب، ويُشغل عن ذكر الله تعالى والفكر في مهمات الدين، ويؤولُ في كثير من الأوقات إلى الإِيذاء، ويُورث الأحقاد، ويُسقطُ المهابةَ والوقارَ. هذه الأمور فهو المباحُ الذي كان رسولُ الله (صلى الله عليه وسلم) يفعله، فإنه (صلى الله عليه وسلم) إنما كان يفعله في نادر من الأحوال لمصلحة وتطييب نفس المخاطب ومؤانسته، وهذا لا منعَ قطعاً، بل هو سنّةٌ مستحبةٌ إذا كان بهذه الصفة.

 

Artinya: “Para ulama mengatakan ‘guyon yang dilarang adalah yang keterlaluan dan terus-menerus. Tertawa bisa mengakibatkan hati keras, menyibukkan hati sehingga lupa kepada Allah dan memikirkan urusan agama yang penting. Guyon mempunyai potensi menyakiti orang lain dan menyebabkan kedengkian, menghilangkan kewibawaan. Guyon-guyon ini diperbolehkan sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah . Rasulullah melakukan guyon jarang-jarang, yakni ketika berdampak maslahat dan membuat nyaman lawan bicara. Jika tujuannya seperti itu, guyon tidak dilarang bahkan malah disunnahkan’,” (An-Nawawi, al-Adzkar an-Nawawiyah, [Darul Fikr: 1994], hlm. 326).

 

Menurut KH Bahaudin Nur Salim (Gus Baha’), guyon adalah perkara baik dalam rangka bersyukur atas luasanya rahmat Allah yang diturunkan kepada kita sehingga kita perlu menikmatinya dengan sebuah kebahagiaan. Jangan sampai kita bersedih atas garis-garis takdir yang telah ditentukan oleh Allah kepada kita sehingga membuat kita tidak terima takdir. Kebahagiaan tersebut diperintahkan sesuai dengan ayat:

 

قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

 

Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".

 

Dengan demikian, humor atau guyonan tidak mutlak diharamkan. Ia berstatus hukum mubah, bahkan bisa sunnah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Nawawi. Yang perlu menjadi perhatian, guyon tidak boleh ada unsur kebohongan yang menyesatkan (hoaks), tidak boleh pula berlebihan dan terus-menerus, apalagi sampai memicu tawa terbahak-bahak di dalam masjid. Sebagai teladan, saat tertawa, Rasulullah hanya cukup tersenyum walaupun senyumnya sampai gigi gerahamnya tampak dari luar tapi tidak sampai terbahak-bahak. Wallahu a’lam.

 

 

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Semarang