Syariah

Lupa Niat Zakat? Begini Kajian Fiqihnya

Sab, 30 April 2022 | 08:00 WIB

Lupa Niat Zakat? Begini Kajian Fiqihnya

Niat harus benar-benar diperhatikan dalam setiap ibadah, termasuk ketika mengeluarkan zakat.

Niat dalam ibadah merupakan salah satu rukun yang bisa menentukan keabsahan ibadah tersebut.Tanpanya, ibadah bisa tidak sah dan tidak bisa menghilangkan kewajibannya, serta tidak mendapatkan pahala dari ibadah yang dilakukan. Sebab, niat menjadi satu-satunya syarat sah yang harus diucapkan oleh hati dan sunnah dilafalkan menggunakan lisan.


Dengan demikian, niat harus benar-benar diperhatikan dalam setiap ibadah, termasuk ketika mengeluarkan zakat. Para ulama menilai, bahwa di antara syarat sahnya zakat harus disertai dengan niat. Hanya saja, sebagai manusia yang tidak bisa lepas dari lupa, terkadang masih saja ada beberapa orang yang lupa untuk berniat ketika beribadah. Sebab lupa tersebut bisa dilatarbelakangi oleh banyak faktor, misalnya disebabkan tidak tahu hukumnya, disebabkan tua yang sudah tidak normal ingatan, atau disebabkan apa saja yang bisa membuatnya lupa.


Dalam keadaan seperti ini, lantas seperti apa sebenarnya menurut kajian fiqih? Apakah tidak ada peluang untuk bisa mengesahkan zakat yang sudah dikeluarkan tanpa niat? Jika ada, bagaimana solusinya?Serta bagaimana pendapat para ulama perihal niat dalam zakat? Mari kita bahas satu persatu.


Versi Mazhab Syafi’iyah

Imam Ahmad Salamah al-Qulyubi (wafat 1069 H), dalam salah satu kitabnya menjelaskan perihal orang yang lupa mengucapkan niat ketika hendak mengeluarkan zakat. Menurutnya, solusi paling tepat adalah dengan meminta kembali zakatnya (yang tidak disertai niat), kemudian diberikan kembali kepadanya (orang yang berhak menerima zakat) disertai dengan niat. (Imam al-Qulyubi, Hasyiyata Qulyubi wa ‘Umairah, [Beirut, Darul Fikr: 1995], juz II, halaman 55).


Pendapat Imam al-Qulyubi di atas, tentu untuk mengambil solusi paling aman agar zakatnya bisa sah.Sebab, menurut mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah, zakat yang dikeluarkan tidak disertai niat, sekalipun dalam keadaan lupa maka zakatnya tidak sah.


Kasus yang sama juga disampaikan oleh Syaikhul Islam Syekh Zakaria al-Anshari dalam salah satu kitabnya, ketika seseorang ragu-ragu apakah ia telah mengucapkan niat atau tidak ketika mengeluarkan zakat. Menurutnya, boleh untuk mengucapkan niat ketika ingat bahwa ia lupa untuk mengucapkannya,


وَلَوْ دَفَعَ ثُمَّ شَكَّ هَلْ وُجِدَتْ مِنْهُ نِيَّةٌ عِنْدَ الدَّفْعِ، أَوْ قَبْلَهُ، أَوْ لَمْ يُوجَدْ فَالْقِيَاسُ أَنَّهُ يَضُرُّ إلَّا أَنْ يَتَذَكَّرَ وَإِنْ طَالَ الْفَصْلُ


Artinya, “Jika memberikan (harta untuk zakat), kemudian ragu-ragu apakah di dalamnya bersamaan dengan niat ketika memberikan, atau niat sebelumnya, atau tidak ada niat sama sekali, maka zakatnya tidak sah, kecuali ia ingat (dan mengucapkan), sekalipun dengan tempo yang panjang.” (Syekh Zakaria, Syarhul Bahjati al-Wardiah, [Matba’ah Maimaniah: tanpa tahun], juz VI, halaman 415).


Versi Mazhab Malikiyah

Secara umum, dalam mazhab Malikiyah juga menyatakan bahwa niat merupakan bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari bagian zakat.Dengan demikian, zakat yang dikeluarkan namun tidak disertai niat, maka pada dasarnya dia belum bisa dikatakan orang yang mengeluarkan zakat (muzakki). Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh mayoritas ulama mazhab Maliki, di antaranya Syekh Kaukab Ubaid,


أَمَّا إِنْ تُرِكَتْ النِّيَةُ وَلَوْ جَهْلًا أَوْ نِسْيَانًا فَلَا يُعْتَدُّ بِمَا أَخْرَجَهُ مِنَ الزَّكَاةِ


Artinya, “Sedangkan jika niat ditinggalkan, sekalipun (meninggalkan) karena tidak tahu (niatnya), atau karena lupa, maka apa yang dikeluarkan tidak bisa dianggap zakat.”(Syekh Kaukab Ubaid, Fiqhul ‘Ibadat ‘alal Mazhab al-Maliki, [Damaskus, Mathba’ah al-Insya’: 1986], halaman 295).


Jika ditelusuri lebih lanjut, dalam fiqih mazhab Maliki, terdapat suatu keterangan ketika seseorang lupa untuk mengucapkan niat, misalnya menurut pendapat Imam Abu Muhammad Abdullah al-Kharasyi (wafat 1101 H), dalam salah satu kitabnya menegaskan bahwa orang yang lupa untuk berniat ketika mengeluarkan zakat, maka hal itu sudah dianggap cukup dan hukum zakatnya sah.


وَنَقَلَ الشَّيْخُ كَرِيْمُ الدِّيْنِ اَلْإِجْزَاءَ فِيْمَنْ نَسِيَ النِّيَةَ أَوْ جَهِلَهَا


Artinya, “Syekh Karimuddin mengutip salah satu pendapat (dalam mazhab Maliki), akan dicukupkannya (zakat) bagi orang-orang yang lupa untuk niat, atau tidak tahu pada (hukum) niat tersebut.” (Imam al-Kharasyi, Syarhu Mukhtashar al-Khalil, [Kairo, Darul Hadits: 2005], juz II, halaman 222).


Versi Mazhab Hanabilah

Selain dua mazhab di atas, ada beberapa ulama dari kalangan mazhab Hanabilah (Hambali), yang juga turut membahas perihal permasalahan yang satu ini.Hanya saja, mayoritas dalam mazhab yang satu ini juga tidak jauh berbeda dengan ketentuan di atas, yaitu tidak sah.Namun, ada salah satu pendapat yang dikutip oleh Imam Ibnu Qudamah al-Muqdisi dalam kitabnya, bahwa orang yang lupa niat ketika mengeluarkan zakat hukumnya sah. Dalam kitabnya disebutkan,


وَلَا يَجُوْزُ اِخْرَاجُ الزَّكَاةِ إِلَّا بِنِيَةٍ.... مَذْهَبُ عَامَةِ الْفُقَهَاءِ أَنَّ النِّيَةَ شَرْطٌ فِي أَدَاءِ الزَّكَاةِ اِلَّا مَا حَكَي عَنْ الْأَوْزَاعِيْ


Artinya, “Tidak dibenarkah (tidak sah) mengeluarkan zakat kecuali disertai niat… Sedangkan (pendapat) mayoritas ulama fiqih (mazhab Hambali) menyatakan bahwa niat adalah syarat dalam mengeluarkan zakat, kecuali salah satu pendapat yang diceritakan dari Imam al-Auza’i.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni asy-Syarhi al-Kabir, [Beirut, Darul Fikr: 1405], juz II, halaman 502).


Versi Mazhab az-Zhahiri

Selain beberapa pendapat dari mazhab di atas, ada juga di luar mazhab empat yang ikut membahas perihal persoalan ini, misalnya mazhab az-zhahiri. Dalam mazhab ini ditemukan suatu keterangan, bahwa pada dasarnya orang lupa untuk mengucapkan niat ketika zakat, maka zakatnya tidak dianggap. Pendapat ini juga tidak jauh beda dengan pendapat di atas.


Hanya saja, ada jalan keluar yang hal itu lebih gampang versi mazhab az-zhahiri, yaitu dengan caramengucapkan niat ketika sudah mengingatnya. Sebab, zakat merupakan salah satu ibadah yang tidak terikat dengan waktu, maka niat zakatnya boleh diucapkan kapan pun ketika lupa.Sekali lagi perlu ditegaskan, “ketika lupa”.


Al-Imam al-Muhaddits Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm atau yang lebih populer dengan sebutan Imam Ibnu Hazm (wafat 456 H), dalam salah satu karyanya mengatakan,


مَنْ نَسِيَ النِّيَةَ فِي مَدْخَلِ صَلَاتِهِ وَمَدْفَعِ زَكَاتِهِ فَهَؤُلَاءِ غَيْرُ مُصَلٍّ وَلَا مُزَكٍ،َ اِلَّا أَنَّ الزَّكَاةَ لَيْسَتْ مُرْتَبِطَةً بِوَقْتٍ مَحْدُوْدِ الطَّرَفَيْنِ فَهِيَ تُقْضَى أَبَدًا


Artinya, “Barang siapa lupa niat ketika memasuki shalatnya, atau ketika mengeluarkan zakatnya, maka ia tidak dianggap orang yang shalat, dan tidak dianggap orang yang zakat.Hanya saja, sungguh zakat itu tidak terikat oleh dua waktu (awal dan akhir), sehingga bisa diganti selamanya.”(Ibnu Hazm, al-Ihkam fi Ushuli al-Ahkam, [Beirut, Darul Ifaq al-Jadidah, tahqiq: Syekh Muhammad Syakir], halaman 151).


Simpulan Hukum

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan, bahwa dalam mengeluarkan zakat sudah seharusnya untuk berhati-hati perihal niat. Sebab, tanpa niat zakatnya tidak akan sah menurut mayoritas ulama. Hal itu tidak lain karena niat menjadi salah satu bagian paling penting di balik sahnya zakat.


Akan tetapi, jika seandainya sudah terjadi dan benar-benar lupa untuk niat, maka setidaknya ada tiga mazhab yang bisa diikuti, (1) mazhab Syafi’i memberikan solusi dengan cara meminta kembali zakatnya, kemudian diberikan lagi kepada penerimanya dan disertai dengan niat; (2) mazhab Maliki sudah menganggap cukup sekali pun tidak melafalkan niat;


Dan (3) menurut mazhab az-zhahiri, orang yang lupa niat ketika mengeluarkan zakat, maka solusi yang paing tepat baginya adalah dengan mengqadha (mengganti) niat zakatnya, dan diucapkan saat itu juga (ketika ingat). Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.