Syariah

Mengenal Dunia Metaverse dan Basis Akadnya

Sen, 10 Januari 2022 | 22:00 WIB

Mengenal Dunia Metaverse dan Basis Akadnya

Minimal akad yang terbentuk di dalam dunia metaverse adalah akad ijarah (sewa manfaat/jasa)

Dunia metaverse adalah dunia baru berbasis teknologi digital. Sebagai dunia baru, dalam dunia metaverse, diperkenalkan suatu mode kehidupan versi baru, tidak sebagaimana fisiknya. Untuk bisa merambah kehidupan tersebut dibutuhkan sebuah teknologi yang bisa memperantarainya, antara lain headset, kacamata augmented reality (kacamata virtual), aplikasi telepon pintar, dan beberapa perangkat lainnya.

 

Metaverse ini merupakan sebuah lompatan teknologi virtual, yang dari sebelumnya berbasis dua dimensi (2D) beralih menjadi 3 dimensi (3D). Teknologi 2D dicirikan oleh kemampuan hanya bisa melihat dan mendengar saja dalam suatu layar kaca. Namun, dengan teknologi 3D, seseorang akan diperkenalkan pada kesan bahwa ia sekaligus menjadi subjek (pelaku) di dalamnya.

 

Yang penting untuk kita catat adalah bahwa dunia metaverse ini adalah bukan dunia fisik, melainkan virtual. Segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia virtual adalah tidak memungkinkan untuk diputusi dengan menggunakan kaidah hukum fisik, misalnya seperti bai’ (jual beli). Alhasil, minimal akad yang terbentuk di dalam dunia metaverse adalah akad ijarah (sewa manfaat/jasa) dan cabangnya (furu’-nya), seperti halnya akad kafalah dan ju’alah.

 

Metaverse dan Jasa

Sebagai dunia tak kasat mata maka dunia metaverse adalah perkembangan dari dunia pemrograman (programming). Dunia ini dibentuk oleh aktivitas pengodingan (coding), yang mana bahasa yang digunakan adalah hasil pengolahan dari bahasa sandi (code). Disebut sebagai bahasa, sebab ada efek keputusan hasil akhirnya dan bisa direspons oleh suatu perangkat.

 

Suatu misal, aplikasi Al-Qur’an Digital. Aplikasi ini disusun dengan menggunakan bahasa coding yang dienkripsi dalam suatu pemrograman, sehingga menyajikan tampilan wujud fisik menyerupai Al-Qur’an. Para penginstalnya bisa membaca Al-Qur’an lewat aplikasi tersebut, sehingga mengurangi wujud mushaf yang ditulis secara fisik dengan bahan dasar kertas dan tinta.

 

Aplikasi Al-Qur’an semacam ini merupakan aset manfaat. Ia bisa dijual/disewakan karena memiliki nilai amal (operasional). Kendati saat ini, kecenderungan yang berlaku adalah aplikasi tersebut disampaikan secara open source sehingga bisa diunduh secara gratis, akan tetapi andaikata pihak developernya mau menjual pun, hukumnya adalah boleh seiring ada manfaat syaiin (manfaatnya sesuatu) yang dimilikinya.

 

Sudah barang tentu, maksud dari “sesuatu” (syaiin) di sini adalah bahasa pemrogramannya. Jadi, karakteristiknya adalah bersifat terikat dengan manfaatnya yang berupa amal (fungsional) dari bahasa pemrograman tersebut. Bukti pendukungnya adalah jika bahasa pemrogramannya keliru dalam penginputan, maka hilanglah karakteristik fungsionalnya (amalnya). Sebaliknya, apabila benar dalam pengiputan, maka tampak nyata adanya amal (fungsionalnya) dari program tersebut. Kita umumnya menyebutnya sebagai ketidak-eroran sistem.

 

Tidak operasionalnya bahasa coding, menjadi alasan bagi disematkannya istilah ketiadaan manfaat. Dengan demikian, keberadaannya menjadi tidak berlaku lagi sebagai aset manfaat (jasa). Sebaliknya, operasionalnya input bahasa coding, menandakan adanya asas manfaat di dalamnya. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti BidangEkonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNu Jatim