Syariah

Menyanyikan Lagu Indonesia Raya di Majelis Taklim

Sen, 19 April 2021 | 14:30 WIB

Menyanyikan Lagu Indonesia Raya di Majelis Taklim

Umat Islam dan Indonesia Raya. (Foto: NU Online)

Untuk meneguhkan jiwa patriorisme dan nasionalisme setiap negara mempunyai lagu kebangsaan atau national anthem. Di tengah perkembangan zaman yang menjauhkan anak bangsa dari jiwa nasionalisme, menyanyikan lagu kebangsaan di berbagai acara yang mengumpulkan orang banyak menjadi langkah strategis untuk meneguhkan semangat kebangsaan.


Dalam konteks Indonesia termasuk pula menyanyikan lagu Indonesia Raya di majelis-majelis taklim yang sangat menjamur di tengah masyarakat. Bagi sebagian orang hal ini menyisakan keraguan, memang boleh menyanyikan lagu Indonesia Raya di tengah acara majelis taklim?


Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam merespon keraguan semacam ini, yaitu berkaitan dengan isi lagu dan tempat menyanyikannya.


Pertama, dilihat dari isi lagu. Sebab hukum lagu itu seperti ucapan. Bila isinya baik maka seperti ucapan yang baik, dan bila isinya buruk maka seperti ucapan buruk. Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhu meriwayatkan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam:


اَلشِّعْرُ بِمَنْزِلَةِ الْكَلَامِ فَحُسْنُهُ كَحُسْنِ الْكَلَامِ وَقَبِيحُهُ كَقَبِيحِ الْكَلَامِ. (رواه البخاري والطبراني)


Artinya, “Syair itu hukumnya seperti ucapan, maka syair yang baik seperti ucapan yang baik dan syair yang buruk seperti ucapan yang buruk." (HR. Al-Bukhari dan At-Thabarani)


Dari sisi ini, Lagu Indonesia Raya berisi bait-bait yang menumbuhkan jiwa patriotisme, nasionalisme, dan kecintaan terhadap tanah air. Semuanya baik. Tidak ada yang buruk atau mengandung unsur keharaman. Karenanya secara substansial tidak bermasalah.


Kedua, dilihat dari tempat menyanyikannya. Bila di selain masjid, maka tidak masalah. Namun bila di dalam masjid, maka terdapat perbedaan pandangan para ulama. Mayoritas ulama menyatakan boleh, sementara yang lain menyatakan makruh. (Wizâratul Auqâf wassyu-ûn Al-Islâmiyyah, Al-Mausû’atul Fiqhiyyah al-Kûwaitiyyah, [Mesir, Dârus Shafwah: 1404 H], cetakan pertama, juz XXIV, halaman 119).


Ulama yang menyatakan boleh karena berpandangan yang paling penting adalah isi lagunya, bila isinya baik maka boleh-boleh saja dinyayikan di masjid, bila tidak baik atau ada unsur keharamannya, maka tidak boleh. Selain itu, juga terdapat hadits yang membolehkannya:


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ لِحَسَّانَ مِنْبَرًا فِى الْمَسْجِدِ فَيَقُومُ عَلَيْهِ

 

يَهْجُو مَنْ قَالَ فِى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ... (رواه أبو داود والترمذي. حديث حسن غريب)


Artinya, “Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, ia berkata: ‘Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pernah menyediakan mimbar di masjid untuk penyair Hassan bin Tsabit. Lalu Hassan berdiri di mimbar itu menyindir orang-orang yang membicarakan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam …” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Hadits Hasan Gharib)   

 

Sementara ulama yang memakruhkan karena melihat ada riwayat-riwayat yang melarang menyanyikan lagu di masjid, sebagaimana diriwayatkan:


عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ ... (رواه الترمذي. حديث حسن)


Artinya, “Diriwayatkan dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, sungguh beliau mencegah menyayikan syair-syair di masjid …” (HR. At-Tirmidzi. Hadits hasan). (Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad At-Thahâwi, Syarh Ma’ânil Atsâr, [Bairut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah :1399 H], ed.: Muhammad Zuhri An-Najâr, juz IV, halaman 358).


Pandangan menarik disampaikan oleh Ibn Hajar Al-Asqalani. Kedua hadits tersebut dan hadits-hadits semisal, antara yang membolehkan dan yang melarang, menurutnya dapat dikompromikan. Hadits yang melarangnya diarahkan pada syair-syair jahiliyah dan orang-orang yang batil—yang mengandung unsur keharaman seperti caci-maki dan semisalnya—, sementara hadits yang membolehkannya diarahkan pada syair-syair lain yang tidak mengandung unsur keharaman.


Atau merujuk sebagian pendapat ulama, hadits yang melarang diarahkan pada kondisi dimana menyanyikan lagu di masjid terlalu membuat ramai dan mengganggu orang yang beribadah di dalamnya, sementara hadits yang membolehkannya diarahkan pada selain kondisi tersebut.


فَالْجَمْعُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ حَدِيثِ الْبَابِ أَنْ يُحْمَلَ النَّهْيُ عَلَى تَنَاشُدِ أَشْعَارِ الْجَاهِلِيَّةِ وَالْمُبْطِلِينَ وَالْمَأْذُونُ فِيهِ مَا سَلِمَ مِنْ

 

ذَلِكَ. وَقِيلَ الْمَنْهِي عَنْهُ مَا إِذَا كَانَ التَّنَاشُدُ غَالِبًا عَلَى الْمَسْجِدِ حَتَّى يَتَشَاغَلُ بِهِ مَنْ فِيهِ.


Artinya, “Maka kompromi antara hadits-hadits yang melarang menyanyikan syair di masjid dan hadits yang ada pada bab—menyanyikan syair di masjid—adalah larangan tersebut diarahkan untuk syair-syair orang jahiliyah dan orang-orang batil, sementara yang diperbolehkan adalah untuk selain syair-syair tersebut.” (Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bâri, [Bairut, Dârul Ma’rifah, 1379 H], juz I, halaman 549).


Walhasil dari uraian di atas dapat disimpulkan, menyanyikan lagu Indonesia Raya di majelis taklim hukumnya adalah boleh. Namun bila di tempatnya adalah di masjid hendaknya tidak sampai mengganggu orang-orang yang sedang beribadah di sana. Bila sampai mengganggunya maka hukumnya makruh. Wallâhu a’lam.


Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda