Syariah

Menyoal ‘Andai Itu Baik Tentu Generasi Salaf Sudah Melakukannya’ (I)

Jum, 23 November 2018 | 07:00 WIB

Ada sebuah ungkapan yang dijadikan sebagai kaidah fiqih oleh sebagian kelompok untuk menentukan bid'ah tidaknya suatu tindakan, yakni:

 لو كان خيرا لسبقونا إليه 

“Kalau itu memang baik tentu ulama salaf sudah mendahului kita melakukannya.”
 
Logika mereka di balik “kaidah” itu adalah ulama salaf adalah yang paling getol untuk melakukan kebaikan sehingga semua telah mereka lakukan. Ketika mereka tak melakukan suatu perbuatan, maka berarti hal tersebut terlarang. Sepintas logika ini masuk akal, padahal sejatinya jauh dari realitas kebenaran. 

Sejarah Lahirnya Ungkapan Ini

Awal mula kemunculan ungkapan ini adalah ketika Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat berikut:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ فَسَيَقُولُونَ هَذَا إِفْكٌ قَدِيمٌ 

"Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: ‘Kalau sekiranya Al-Qur’an adalah suatu yang baik, tentulah mereka (kaum muslimin) tiada mendahului kami mengimaninya. Dan karena mereka (kaum musyrik) tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: "Ini adalah dusta yang lama." (QS. Al-Ahqaf: 11)

Jadi sebenarnya ungkapan itu adalah logika akal-akalan orang musyrik untuk mengejek kaum muslimin. Mereka mengatakan kalau saja Al-Qur’an itu baik tentu para pemimpin Quraisy musyrikin itu tidak akan didahului mengimaninya oleh kalangan kelas bawah seperti Bilal, 'Ammar, Suhaib dan sahabat lainnya. Bagi kaum musyrikin, yang menjadi patokan kebenaran adalah para elit mereka sehingga kalau para elit tersebut tidak melakukan suatu hal maka berarti hal itu buruk.

Argumen akal-akal kaum musyrik itu akhirnya dibalas oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya sebagai berikut:

وَأَمَّا أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فَيَقُولُونَ فِي كُلِّ فِعْلٍ وَقَوْلٍ لَمْ يَثْبُتْ عَنِ الصَّحَابَةِ: هُوَ بِدْعَةٌ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ خَيْرًا لسبقونا إليه، لأنهم لَمْ يَتْرُكُوا خَصْلَةً مِنْ خِصَالِ الْخَيْرِ إِلَّا وَقَدْ بَادَرُوا إِلَيْهَا

"Adapun Ahlussunnah wal Jamaah maka mereka mengatakan tentang segala perbuatan dan ucapan yang tidak dilakukan oleh sahabat bahwa itu adalah bid'ah karena kalau memang baik tentu para sahabat sudah mendahului kita melakukannya sebab sesungguhnya mereka tidak meninggalkan sesuatu kebaikan pun kecuali langsung mengerjakannya." (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, juz VII, 278)

Jadi, logika kaum musyrik tersebut dibalik; awalnya yang dijadikan patokan kebenaran adalah kaum elite Quraisy lalu dibalik menjadi para sahabat nabi. Dari sini kita tahu bahwa sebenarnya ini hanyalah ungkapan dialektis untuk mematahkan argumen lawan.

Baca juga:
Inilah Penjelasan Mengenai Aswaja Perspektif NU
Jawaban Metodologis untuk Orang yang Gemar Menvonis Bid’ah

Kelemahan Pemberlakuan Ungkapan Ini sebagai Suatu Kaidah:

Sebenarnya ucapan Imam Ibnu Katsir ini ada benarnya sebagai suatu argumen dalam perdebatan. Tetapi apabila ia dijadikan sebagai kaidah universal dalam hal bid'ah maka akan sangat tidak akurat dan bahkan absurd. Berikut ini tujuh kelemahan dari ungkapan Ibnu Katsir tersebut bila dijadikan kaidah universal:

Pertama, klaim bahwa segala perbuatan dan ucapan yang tidak dilakukan oleh sahabat adalah bid'ah merupakan sebuah generalisir yang tak berdasar. Untuk mengatakan hal tak lumrah seperti ini perlu dalil dari Al-Qur’an dan hadits sahih tetapi tak ada satu pun dalil yang mendukung pernyataan general yang tidak realistis ini.

Tak terhitung ucapan dan tindakan di era tabi'in dan seterusnya yang tidak pernah dilakukan oleh sahabat tetapi disepakati sebagai kebaikan. Baca saja kitab apapun, maka dalam tiap paragrafnya akan didapati ucapan yang tidak pernah diucapkan satu pun sahabat. Pergi saja ke pasar, maka akan didapati tindakan baik yang tak pernah dilakukan satu pun sahabat. Apakah itu semua berarti bid'ah? tentu saja tidak sesederhana itu. 

Hal-hal baru yang baik selalu ada, baik dalam ranah mu’amalah, tradisi atau pun ibadah sekalipun. Misalnya kesepakatan para sahabat di era Abu Bakar untuk mengodifikasi mushaf, kesepakatan mereka di era Umar untuk shalat Tarawih berjamaah selama sebulan penuh, kesepakatan mereka di era Utsman untuk menambah adzan Jumat, kepakatan para ulama untuk memberi tambahan harakat dan titik di mushaf Al-Qur’an dan banyak lagi hal baru yang tak ada di sama sebelumnya.

Kedua, klaim bahwa para sahabat tidak meninggalkan sesuatu kebaikan pun kecuali langsung mengerjakannya adalah klaim tanpa bukti. Siapapun takkan mungkin menghitung jumlah jenis kebaikan, apalagi jumlah teknis untuk melakukannya. Akan absurd bila kemudian jenis kebaikan dikesankan sudah habis tak tersisa dilakukan oleh para sahabat. Padahal realitasnya, Nabi Muhammad bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ (متفق عليه) ـ

"Manusia terbaik adalah manusia di masaku lalu yang setelah mereka lalu setelah mereka". (HR. Bukhari – Muslim)

Hadits di atas menegaskan bahwa kebaikan itu dicapai di tiga kurun awal, yakni; kurun di mana sahabat hidup, kurun di masa Tabi'in dan kurun di masa Atbâ' at-Tâbi'in (orang-orang berjumpa dengan tabi'in). Tiga kurun inilah yang dikenal sebagai generasi salaf yang menjadi generasi emas dalam hal agama. Ini berarti kebaikan tak habis dilakukan di masa sahabat saja, tetapi juga ada kebaikan lain yang adanya di dua kurun selanjutnya bahkan terus ada hingga kiamat meskipun secara umum generasi emas tetaplah tiga generasi di atas.

Begitu banyak hal-hal baru dalam bidang agama yang tak ada di masa sahabat, semisal pembukuan hadits secara besar-besaran, perkembangan ilmu pengetahuan keislaman juga tak terhitung jumlahnya. Namun semua kaum muslimin menyepakati hal itu sebagai kebaikan yang tak boleh dipermasalahkan, atas nama bid'ah atau atas nama apapun.

Metode-metode baru dalam dunia ibadah mahdlah juga berkembang, seperti metode membaca dan menghapal Al-Qur’an dengan cepat serta metode shalat khusyuk yang disosialisasikan bahkan dikomersilkan oleh sebagian kalangan. Menjadikan kata "sunnah" sebagai ajang marketing juga tak pernah dilakukan para sahabat. Baju sunnah, celana sunnah, perumahan sunnah adalah hal yang seluruhnya baru. Apakah menjual kata sunnah seperti ini diajarkan atau dilakukan para sahabat? Bila memakai logika ungkapan Ibnu Katsir di atas, kalau memonetisasi sunnah adalah baik tentu para sahabat sudah lebih dahulu melakukannya bukan? 

Ketiga, andai kita pakai kaidah ini sebagai hakim bagi semua hal baru, maka jadinya akan seperti berikut:

• Kita mengatakan ke Sayyidina Abu Bakar, andai memerangi orang yang tak mau membayar zakat itu baik, maka Rasulullah sudah lebih dahulu melakukannya sebab beliau lebih semangat atas kebaikan namun kenyataannya tidak demikian.

• Kita mengatakan ke Sayyidina Abu Bakar, andai menunjuk khalifah pengganti sebelum meninggal (seperti anda menunjuk Umar sebagai pengganti) adalah baik, tentu Rasulullah sudah mendahului anda melakukannya namun kenyataannya tidak.

• Kita mengatakan ke Sayyidina Umar, andai menyuruh orang untuk selalu tarawih setiap malam Ramadhan di awal isya' dan mendirikan baitul mal adalah tindakan baik, tentu Abu Bakar sudah mendahului anda melakukannya namun kenyataannya tidak.

• Kita mengatakan ke Sayyidina Utsman, andai pembakaran manuskrip Al-Qur’an selain versi resmi dan penambahan azan Jumat adalah baik, tentu Abu Bakar dan Umar sudah mendahului anda melakukannya namun kenyataannya tidak.

Kita mengatakan ke semua tokoh yang punya inisiatif baru dalam hal agama yang bertujuan untuk mencari ridha Allah dengan berbagai cara, andai memang itu baik tentu orang sebelum anda sudah mendahului anda melakukannya. Bukan pencerahan yang didapat dengan cara seperti ini tetapi kesalahpahaman akut.


Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jatim.

Bersambung...