Syariah

Niat Shalat yang Simpel Bagi Orang Awam

Sen, 20 Februari 2023 | 16:00 WIB

Niat Shalat yang Simpel Bagi Orang Awam

Ilustrasi: Shalat (Freepik).

Dalam pelaksanaan ibadah, niat memiliki posisi yang penting. Sebab, ibadah bisa dianggap sah tergantung dengan keabsahan niatnya. Selain itu, seseorang bisa mendapatkan pahala atau tidak juga berhubungan erat kaitannya dengan niat.
 

 

Dalil Niat Shalat

Begitu pentingnya niat sampai-sampai Rasulullah saw bersabda:
 

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
 

Artinya: “Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niat, dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). 
 

Hadits inilah yang kemudian dijadikan sebagai pijakan oleh para ulama bahwa niat menjadi sebuah rukun dalam mayoritas pelaksanaan suatu ibadah.
 

 

Niat Shalat dalam Kajian Fiqih

Dalam khazanah fikih, niat diartikan sebagai:

 

النِّيَّةُ لُغَةً الْقَصْدُ وَشَرْعًا قَصْدُ الْشَّيْءِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِ فَإِنْ تَرَاخَى عَنْهُ سُمِّيَ عَزْمًا وَحُكْمُهَا الْوُجُوْبُ وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ
 

Artinya: “Niat secara bahasa adalah menyengaja, sedangkan menurut istilah syariat ialah tekad untuk melakukan sesuatu yang terbersit besertaan dengan melakukan suatu pekerjaan. Apabila tekad kuat tersebut terbersit sebelum melakukannya maka disebut dengan ‘azm. Hukumnya niat adalah wajib, dan tempatnya niat adalah dalam hati.” (Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain fi Irsyad Al-Mubtadiin, [Beirut: Dar Al-Fikr], juz I, halaman 18). 
 


Niat Shalat Perspektif Mazhab Syafi'i

Tatkala seseorang hendak melaksanakan shalat, maka ketentuan yang berlaku dalam mazhab Syafi’i adalah ia harus berniat berbarengan dengan takbiratul ihram. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh pakar fikih mazhab Syafi’i Syekh Khatib Asy-Syirbini (wafat 977 H):
 

وَيَجِبُ قَرْنُ النِّيَّةِ بِتَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ لِأَنَّهَا أَوَّلُ الْأَرْكَانِ بِأَنْ يُقَرِّنَهَا بِأَوَّلِهِ وَيَسْتَصْحِبَهَا إلَى آخِرِهِ
 

Artinya: “Wajib untuk membarengkan niat dengan takbiratul ihram, karena takbiratul ihram adalah rukun pertama, yaitu membarengkannya dengan awal takbiratul ihram dan menyertakannya sampai akhir.” (Muhammad Khatib Asy-Syirbini, Al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuja’, [Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah], juz I, halaman 299). 
 

Menilik referensi yang disampaikan oleh Asy-Syirbini di atas, maka hukum membarengkan niat dengan takbiratul ihram adalah wajib. Sebab, takbiratul ihram merupakan rukun pertama dalam shalat, sehingga bila seseorang berniat terlebih dahulu dan tidak bersamaan dengan pelaksanaan takbiratul ihram, maka shalatnya tidak sah. 
 

Namun bagi kalangan masyarakat umum, melakukan niat bersamaan dengan mengucapkan awal takbir merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Bahkan tak jarang banyak di antara mereka yang kerap mengulang-ulang takbir secara terus-menerus hingga niat tersebut betul-betul terbersit dalam hatinya bersamaan dengan takbiratul ihram.  

 

Niat Shalat bagi Orang Awam

Lantas, apakah niat yang tidak bersamaan dengan awalnya bacaan takbir sudah dianggap cukup?
 

Meninjau berbagai literatur fiqih klasik, ditemukan pendapat menarik yang diusung oleh Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali (wafat 505 H) dan gurunya yang bernama Imam Haramain Al-Juwaini (wafat 478 H) keduanya sepakat menyatakan bahwa niat shalat tidak harus bersamaan dengan pelaksanaan takbir. Yang terpenting adalah dalam pelaksanaan shalat ia telah berniat meski tidak berbarengan dengan takbiratul ihram:
 

وَاخْتَارَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ فِي الْبَسِيطِ وَغَيْرُهُ أَنَّهُ لا يَجِبُ التَّدْقِيقُ الْمَذْكُورُ فِي تَحْقِيقِ مُقَارَنَةِ النِّيَّةِ وَأَنَّهُ تَكْفِي الْمُقَارَنَةُ الْعُرْفِيَّةُ الْعَامِّيَّةُ بِحَيْثُ يُعَدُّ مُسْتَحْضِرًا لِصَلاتِهِ غَيْرَ غَافِلٍ عَنْهَا اقْتِدَاءً بِالأَوَّلِينَ فِي تَسَامُحِهِمْ فِي ذَلِكَ وَهَذَا الَّذِي اخْتَارَاهُ هُوَ الْمُخْتَارُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
 

Artinya: “Imam Al-Haramain dan Al-Ghazali dalam kitab Al-Basith dan selainnya menyatakan bahwa tidak wajib untuk tadqiq (melakukan niat bersamaan dengan takbiratul ihram dari awal sampai akhir) yang telah disebutkan dalam hal ben​​​​​​ar-benar membarengkan niat dengan takbiratul ikhram. Sesungguhnya sudah mencukupi berbarengan secara umum menurut umumnya orang, dengan sekiranya orang​​​​​​ dianggap telah ​​​​​​menghadirkan niat untuk shalatnya tanpa lupa darinya, dan inilah pendapat yang dipilih. Wallahu a’lam.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab, [Beirut: Dar Al-Fikr], juz III, halaman 243). 
 

Pernyataan Imam An-Nawawi yang mengutip pendapat Imam Haramain Al-Juwaini dan Imam Al-Ghazali dipertegas kembali oleh ulama Nusantara yang dijuluki Musnid Ad-Dunya (Gudang sanad dunia abad ke-20) Syekh Yasin bin Isa Al-Fadani (wafat 1410 H) dalam kitabnya:
 

وَفِىْ الْمَجْمُوْعِ واَلتَّنْقِيْحِ الْمُخْتَارُ مَا إِخْتَارَهُ اْلإِمَامُ الْغَزَالِيُّ أَنًّهُ تَكْفِيْ الْمُقَارَنَةُ الْعُرْفِيَّةُ بِأَنْ يُوْجَدَ النِّيَّةُ كُلُّهَا أَوْ بَعْضُهَا فِى أَوَّلِهِ أَوْ آخِرِهِ بِحَيْثُ يُعَدُّ مُسْتَحْضِرًا لِلصَّلاَةِ عِنْدَ الْعَوَامِ 
 

Artinya: “Dalam kitab Al-Majmu’ dan At-Tanqih yang dipilih ialah pendapat yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali bahwasanya cukup berbarengan pada umumnya, dengan gambaran ditemukan niat secara keseluruhan atau sebagiannya pada permulaan takbiratul ihram atau akhirnya, sekira ia dianggap menghadirkan niat untuk shalat menurut orang awam.” (Yasin bin Isa Al-Fadani, Al-Fawaid Al-Janiyah, [Beirut: Dar Al-Fikr], juz I, halaman 155). 
 

Pendapat solutif yang ditawarkan oleh Imam Al-Haramain dan Al-Ghazali ini tentu memudahkan bagi masyarakat umum yang kesulitan untuk mempraktikkan niat besertaan dengan pelaksanaan takbiratul ihram. Karenanya diharapkan pendapat yang ditampilkan ini setidaknya dapat memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam beribadah kepada orang awam.

 

Simpulan

Walhasil, hukum membarengkan niat besertaan dengan pelaksanaan takbiratul ihram saat shalat bila menilik sebagian ulama mazhab Syafii memang hukumnya adalah wajib. Namun, bila berpegangan pada pendapat lain (masih dalam lingkup mazhab Syafi’i) yang disampaikan oleh Imam Haramain Al-Juwaini dan Al-Ghazali, maka membarengkan niat dengan pelaksanaan takbiratul ihram itu bukanlah suatu keharusan. Karena menurut keduanya, yang terpenting adalah ditemukan niat baik secara keseluruhan maupun sebagiannya, entah pada permulaan takbiratul ihram atau akhirnya, sekira dianggap menghadirkan niat unb​​​​​​tuk shalat, sehingga shalatnya tetap dihukumi sah.
 

Pendapat inilah yang semestinya diambil dan diterapkan oleh banyak orang awam. Sebab tentu selain memudahkan, juga tidak menyulitkan mereka dalam pelaksanaan ibadah dan beragama. Wallahu a’lam bis shawab.
 

 

Ustadz A. Zaeini Misbaahuddin Asyuari, Alumni Ma'had Aly Lirboyo Kediri dan pegiat literasi pesantren.