Syariah

Pandangan Islam tentang Musik dan Bernyanyi

Rab, 16 November 2022 | 12:00 WIB

Pandangan Islam tentang Musik dan Bernyanyi

Hukum musik dan seni secara umum dalam pandangan Islam tidak selesai-selesai diperbincangkan publik.

Akhir-akhir ini di media sosial (medsos) kembali muncul daftar nama-nama pekerjaan atau profesi yang diharamkam, di antaranya bermain musik, bernyanyi dan seni. Bagaimana sejatinya hukum musik, bernyanyi dan seni? Terdapat ikhtilaf atau perbedaan pendapat ulama mengenai hukum musik, bernyanyi, dan seni.


Ini sejatinya merupakan persoalan ijtihâdiyah, yakni masalah dalam ranah ijtihad (fî majâl al-ijtihâd), dalam arti tidak jumȗd (kaku), melainkan terbuka lebar bagi penafsiran (interpretasi). Hal ini karena tidak ada nas yang secara qath’i (pasti) dan sharih (jelas) yang melarang musik, bernyanyi dan seni.


Telah maklum bahwa pada dasarnya sifat tafsir atau syarah kebenarannya tidaklah mutlak, melainkan nisbi atau relatif (zanni). Oleh karena itu, pendapat yang membolehkan musik, bernyanyi dan seni relevan digunakan sebagai panduan. Sungguhpun begitu, pendapat yang membolehkan tersebut dan untuk dijadikan panduan itu bukanlah berarti membolehkan secara mutlak, tanpa batasan, melainkan ada batasan atau syarat-syarat pembolehannya.

 
Kebolehan Musik, Bernyanyi dan Seni

Pada dasarnya musik, bernyanyi, dan seni adalah boleh (mubâh). Hal ini setidaknya merujuk pada dua kitab, Ihyâ’ ‘Ulȗm al-Dîn karya Imam al-Ghazâlî (450-505 H/1058-1111 M), dan al-Fiqh ‘al-Madzâhib al-Arba‘ah karya Syekh ‘Abd al-Rahmân al-Jazîrî (1299-1360 H/1882-1941 M).


Terdapat sejumlah nama sahabat, tabiin dan ulama yang membolehkan musik. Hujjatul Islam Imam al-Ghazâlî memberi apresiasi begitu tinggi terhadap musik, nyanyian dan seni. Dalam Kitab Ihyâ’ ‘Ulȗm al-Dîn (Juz II, halaman 273), ia menyampaikan kata-kata indah:


مَنْ لَمْ يُحَرِّكْهُ الرَّبِيْعُ وَأَزْهَارُهُ، وَالْعُوْدُ وَأَوْتَارُهَ، فَهُوَ فَاسِدُ الْمِزَاجِ، لَيْسَ لَهُ عَلاَجٌ


Artinya,“Orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga-bunga, dan suara seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati.”


Lebih lanjut, al-Ghazâlî menjelaskan:


ونقل أبو طالب المكي إباحة السماع عن جماعة، فقال: سمع من الصحابة عبد الله بن جعفر وعبد الله بن الزبير والمغيرة بن شعبة ومعاوية وغيرهم، وقال: قد فعل ذلك كثير من السلف الصالح صحابي وتابعي بإحسان، وقال: لم يزل الحجازيون عندنا بمكة يسمعون السماع في أفضل أيام السنة وهى الايام المعدودات التي أمر الله عباده فيها بذكره كأيام التشريق ولم يزل أهل المدينة مواظبين كأهل مكة على السماع إلى زماننا هذا، فأدركنا أبا مروان القاضي وله جوار يسمعن الناس التلحين قد أعدهن للصوفية، قال: وكان لعطاء جاريتان يلحنان، فكان إخوانه يستمعون إليهما. قال: وقيل لأبي الحسن بن سالم كيف تنكر السماع، وقد كان الجنيد وسرى السقطى وذو النون يستمعون؟ فقال: وكيف أنكر السماع وقد أجازه وسمعه من هو خير مني؟، فقد كان عبد الله بن جعفر الطيار يسمع، وإنما أنكر اللهو واللعب في السماع.


Artinya,“Abû Thâlib al-Makkî mengutip tentang kebolehan mendengar (syair, nyanyian) dari sekelompok ulama. Ada di antaranya sahabat ‘Abdullah bin Ja’far, ‘Abdullah bin Zubair, Mughirah, Muawiyah, dan lainnya. Abû Thâlib al-Makkî mengatakan bahwa banyak ulama salafus salih, baik sahabat atau tabiin, yang melakukan dengan memandangnya sebagai hal baik.


Abû Thâlib al-Makkî mengatakan bahwa ulama Hijaz (Makkah dan Madinah, dahulu) selalu mendengarkan nyanyian pada hari utama dalam setahun, yaitu hari yang diperintahkan Allah untuk menyebut nama-Nya, seperti hari Tasyriq. Demikian pula dengan penduduk Madinah sampai zaman kami saat ini. Hingga kami menemukan Qadli Marwan, dia memiliki beberapa budak wanita yang bernyanyi untuk manusia dan ia siapkan untuk para Sufi. Atha’ juga memiliki dua budak wanita yang bernyanyi, maka saudara-saudaranya mendengarkan keduanya. 


Abû Thâlib al-Makkî mengatakan bahwa ada yang bertanya kepada Abû Hasan bin Sâlim, ‘Bagaimana engkau ingkar (melarang) mendengarkan nyanyi, padahal al-Junaid, Sarî Saqathî, Dzun Nûn membolehkan?’ Ia menjawab, ‘Bagaimana aku melarang mendengarkan nyanyian padahal ada orang yang lebih baik dari aku yang membolehkan dan mendengarkan?’ Sungguh ‘Abdullah bin Ja‘far ath-Thayyâr mendengarkan nyanyian. ‘Yang aku ingkari adalah permainan yang ada dalam nyanyian,’” (Ihyâ’ ‘Ulȗm al-Dîn, Juz II, halaman 267). Wallahu a’lam.


Ustadz Ahmad Ali MD, Pendiri dan Ketua Yayasan Manhajuna Madania Salam Kota Tangerang, Dosen Tetap Pascasarjana Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (Institut PTIQ) Jakarta.