Di dalam fiqih, binatang ternak yang wajib dizakati hanya ada tiga macam, yaitu unta, sapi, dan kambing. Hal ini berdasarkan beberapa hadits yang menegaskan kewajiban zakat pada ketiga jenis binatang ternak tersebut. Mengapa hanya tiga macam binatang ini? Hikmah di baliknya antara lain karena banyaknya manfaat binatang-binatang tersebut bagi manusia; air susunya baik untuk kesehatan, mudah dikembang biakkan, dan lain sebagainya (Lihat An-Nawawi, al-Majmuโ Syarh al-Muhadzdzab, Mesir, al-Muniriyah, jilid V, halaman: 321).
Zakat binatang ternak tidak diwajibkan pada selain tiga jenis binatang ternak tersebut, berdasarkan sabda baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassallam:
ููููุณู ุนูููู ุงููู
ูุณูููู
ู ููู ุนูุจูุฏููู ูููุงู ููุฑูุณููู ุตูุฏูููุฉู
โBagi seorang muslim tidak menanggung beban zakat dari budak dan kudanya.โ (HR. Muslim)
Begitu pula ayam, bebek, ikan dan lain sebagainya. Namun, bila selain tiga jenis binatang ternak tersebut diperdagangkan, maka dikenai kewajiban zakat perdagangan sesuai dengan ketentuan di dalam zakat tijarah (aset perdagangan).
Ketiga binatang ternak di atas wajib dizakati jika memenuhi empat syarat:
1. Mencapai nishab (batas minimum wajib zakat) seperti nishabnya sapi yang disebutkan di dalam satu riwayat hadits:
ุนููู ู
ูุนูุงุฐู ุจููู ุฌูุจููู ููุงูู ุจูุนูุซูููู ุงููููุจูููู ุตููููู ุงูููููู ุนููููููู ููุณููููู
ู ุฅูููู ุงููููู
ููู ููุฃูู
ูุฑูููู ุฃููู ุขุฎูุฐู ู
ููู ููููู ุซูููุงุซูููู ุจูููุฑูุฉู ุชูุจููุนูุง ุฃููู ุชูุจููุนูุฉู ููู
ููู ููููู ุฃูุฑูุจูุนูููู ู
ูุณููููุฉู
โDari Muโadz ibn Jabal, ia berkata, โBaginda Nabi shallallahu โalaihi wassallam mengutusku ke Yaman, kemudian beliau memerintahku untuk mengambil zakat dari setiap tiga puluh ekor unta, seekor unta berusia setahun, menginjak usia tahun keduanya, jantan atau betina, dan dari setiap empat puluh ekor unta, seekor unta berusia dua tahun,menginjak usia ketigaโ.โ (HR. At-Tirmidzi)
2. Melewati haul (setahun Hijriah) seperti sabda baginda Nabi shallallahu โalaihi wassallam:
ููููููุณู ููู ู
ูุงูู ุฒูููุงุฉู ุญูุชููู ููุญูููู ุนููููููู ุงููุญููููู
โSuatu harta tidak wajib dizakati kecuali telah melewati masa setahun.โ (HR. Abu Dawud)
Syarat ketiga ini hanya berlaku bagi induknya saja. Sedangkan untuk anak-anak binatang tersebut, perhitungan haul-nya diikutkan pada induknya. Sehingga, jika induk sudah melewati setahun, maka anak-anaknya pun dihukumi haul, walaupun sebenarnya belum melewati setahun.
3. Digembalakan. Maksudnya, sepanjang tahun binatang ternak tersebut diberi makan dengan cara digembalakan di lahan umum atau lahan milik sendiri, tidak dengan dicarikan rumput. Dalam sebuah hadits disebutkan:
ููุตูุฏูููุฉู ุงููุบูููู
ู ููู ุณูุงุฆูู
ูุชูููุงุฅูุฐูุง ููุงููุชู ุฃูุฑูุจูุนููููู ุฅูููู ุนูุดูุฑููููู ููู
ูุงุฆูุฉู ุดูุงุฉู
โZakat kambing yang digembalakan adalah satu ekor kambing ketika jumlahnya telah mencapai empat puluh sampai seratus dua puluh ekor.โ (HR. Bukhari)
4. Tidak dipekerjakan, seperti untuk membajak sawah, mengangkut barang dan lain sebagainya. Di dalam kitab al-Majmuโ Syarh al-Muhadzdzab, Imam an-Nawawi menjelaskan alasan binatang ternak yang dipekerjakan tidak wajib dizakati:
ููุงู ุงูุนูุงู
ู ูุงูู
ุนูููุฉ ูุง ุชูุชูู ูููู
ุงุก ููู
ุชุฌุจ ูููุง ุงูุฒูุงุฉ ูุซูุงุจ ุงูุจุฏู ูุฃุซุงุซ ุงูุฏุงุฑ
โKarena sesungguhnya binatang ternak yang dipekerjakan dan binatang yang diberi makan dengan cara dicarikan rumput tidak semata-mata untuk dikembang-biakan, sehingga tidak wajib dizakati sebagaimana pakaian dan perabot rumah.โ (An-Nawawi, al-Majmuโ Syarh al-Muhadzdzab, Mesir, al-Muniriyah, jilid V, halaman: 323)
Jika seseorang memiliki unta, sapi atau kambing yang telah memenuhi keempat syarat di atas, maka wajib dizakati. Semua ini menurut pendapat mazhab Syafiโi. Sedangkan menurut pendapat mazhab Malikiyah, syarat ketiga (digembalakan) dan syarat keempat (tidak dipekerjakan) tidak menjadi pertimbangan. Sehingga, apabila ketiga binatang ternak tersebut telah mencapai nishab dan melewati masa setahun (haul), maka wajib dikeluarkan zakatnya. (Lihat Muhammad ibn Abdullah al-Kharasyi, Syarh Mukhtashar Khalil).ย Wallahu aโlam.
(Moh. Sibromulisi)