Syariah

Upah Guru Ngaji menurut Tafsir Ayat, Hadits, dan Pandangan Ulama

NU Online  ·  Senin, 4 Agustus 2025 | 21:00 WIB

Upah Guru Ngaji menurut Tafsir Ayat, Hadits, dan Pandangan Ulama

Ilustrasi guru ngaji. (Foto: NU Online/Freepik)

Pahlawan tanpa tanda jasa” merupakan gelar yang sering disematkan kepada sosok guru di Indonesia. Penyematan gelar ini kiranya tak berlebihan mengingat begitu besar jasa guru yang diberikan dalam upaya mencerdaskan anak bangsa. Karena jasanya adalah ilmu yang sifatnya abstrak, akhirnya mereka dijuluki pahlawan tanpa tanda jasa. 

 

Guru merupakan sosok yang sangat berjasa dalam hidup seseorang. Statusnya kerap kali disandingkan dengan orang tua yang berjasa melahirkan manusia ke alam dunia ini. Bahkan tidak sedikit ulama yang menganggap derajat guru lebih mulia daripada orang tua. Hal ini karena orang tua dianggap sebagai abul jasad (orang tua fisik) sedangkan guru dianggap sebagai abur ruh (orang tua jiwa-spiritual). Urusan jiwa atau rohani jelas lebih utama dari sekedar urusan fisik, karena jiwa akan kekal abadi di akhirat nanti.

 

Di satu sisi, seorang guru memang memiliki kedudukan yang istimewa berkat jasa dan ilmunya. Namun di sisi lain, ia memiliki tanggung jawab keilmuan untuk menyebarkan ilmu yang ia miliki kepada umat. Menyebarkan ilmu adalah kewajiban bagi seorang yang berilmu, sedangkan menyimpan ilmu dengan cara tidak diajarkan dan disebarluaskan adalah perbuatan tercela.

 

Nabi Muhammad saw. telah melarang orang berilmu untuk menyembunyikan ilmunya dan mengancam pelakunya dengan siksaan yang keras di neraka. Beliau bersabda:

 

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ

 

Artinya: “Barang siapa yang ditanya tentang suatu ilmu tetapi ia menymbunyikannya, maka ia akan dikekang kelak di hari kiamat dengan kekang dari api neraka.” (HR Ibnu Majah)

 

Jika menyebarkan ilmu merupakan sebuah kewajiban, lantas bagaimana hukumnya jika seorang guru ngaji menuntut atau menerima bayaran dari kegiatan mengajar yang ia lakukan? Berkaitan dengan hal tersebut, Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 159:

 

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ

 

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.”

 

Mengutip keterangan dari Ibnu Abbas ra, Imam al-Suyuthi menjelaskan bahwa ayat tersebut turun disebabkan oleh sikap orang-orang Yahudi yang tidak mau menjawab pertanyaan sebagian sahabat Nabi terkait kandungan kitab Taurat. Mereka enggan menyampaikan kebenaran yang ada dalaam kitab Taurat terutama perihal Nabi Muhammad Saw. Akhirnya, sebagai respon dari sikap lari dari amanah keilmua tersebut, maka Allah Swt. menurunkan ayat ini. (Al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsur, [Beirut, Darul Fikr, t.th], juz 1, hlm 161).

 

Meskipun konteks ayat di atas adalah ancaman bagi orang Yahudi, tetapi ada sebagian ulama yang menjadikan ayat ini sebagai landasan untuk mengharamkan seorang guru mengambil upah/gaji. Pasalnya, secara tekstual ayat ini menjelaskan tentang kewajiban untuk menyebarkan ilmu. Karena menyebarkan ilmu merupakan sebuah kewajiban, menerima gaji/upah atas usaha tersebut tidak dibenarkan. (Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, [Beirut: Dar Ihyaut Turats ‘Arabi, 1420 H.], juz 4, hlm. 141)

 

Mereka yang notabene mengharamkan gaji guru notabene merupakan ulama mutaqaddimin. Bahkan, Syaikh Ali al-Shabuni meyakini bahwa para ahli fiqih mutaqaddimîn semuanya sepakat mengharamkan praktik tersebut. (Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan, [Mesir, Maktabatu Syuruq al-Dauliyah, t.th], juz 1, hlm 107).

 

Selain ayat di atas, ulama yang mengharamkan guru mematok bayaran, terutama guru ngaji atau guru agama, melandaskan pendapat mereka pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 41:

 

...وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ

 

Artinya: “...Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.”

 

Meskipun ayat di atas turun berkaitan dengan orang-orang Yahudi, tetapi ada banyak ketentuan-ketentuan umum yang bisa diambil dari ayat tersebut. Salah satunya terkait hukum menerima (menuntut) upah mengajar. Dalam kitab tafsirnya, imam al-Qurthubi menjelaskan,

 

وَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي أَخْذِ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ وَالْعِلْمِ- لِهَذِهِ الْآيَةِ وَمَا كَانَ فِي مَعْنَاهَا- فَمَنَعَ ذَلِكَ الزُّهْرِيُّ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ وَقَالُوا: لَا يَجُوزُ أَخْذُ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ لِأَنَّ تَعْلِيمَهُ وَاجِبٌ مِنَ الْوَاجِبَاتِ الَّتِي يُحْتَاجُ فِيهَا إِلَى نِيَّةِ التَّقَرُّبِ وَالْإِخْلَاصِ فَلَا يُؤْخَذُ عَلَيْهَا أُجْرَةٌ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ

 

Artinya: “Ulama berbeda pandangan terkait mengambil bayaran mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu berdasarkan ayat ini (atau ayat yang serupa). Imam al-Zuhri dan kelompok ahlur ra’yi tidak memperbolehkannya dengan alasan bahwa hukum mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu adalah wajib yang memerlukan niat untuk ikhlas dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga mengambil bayaran untuk tindakan tersebut tidak boleh, sebagaimana shalat dan puasa”. 

 

Alasan ulama yang melarang guru mengambil bayaran karena mengajar adalah salah satu kewajiban. Sesuatu yang wajib mau tidak mau harus dilakukan dengan ikhlas tanpa mengharap imbalan material. Ia sama seperti shalat, puasa, dan kewajiban lainnya yang harus dilakukan tanpa pamrih. 

 

Namun menurut mayoritas ulama, mengambil upah atas kegiatan mengajar adalah diperbolehkan. Dalam Tafsir al-Qurthubi, dijelaskan:

 

وَأَجَازَ أَخْذَ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَأَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ- حَدِيثِ الرُّقْيَةِ-: (إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ). أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَهُوَ نَصٌّ يَرْفَعُ الْخِلَافَ فَيَنْبَغِي أَنْ يُعَوَّلَ عَلَيْهِ

 

Artinya: “Imam malik, al-syafi’i ahmad, Abu Tsaur dan mayoritas ulama memperbolehkan mengambil bayaran atas kegiatan mengajar al-Qur’an. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw, tentang ruqyah yang diriwayatkan oleh ibnu abbas ra: ‘Sesunggunya, perkara yang paling berhak kalian minta upah (sebagai imbalan karena telah melakukan perkara tersebut) adalah kitab Allah. (HR Al-Bukhari)’. Ini adalah nas yang dapat menghilangkan perbedaan sehingga seyogianya ia dapat dijadikan acuan”. (Al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkam al-Quran, [Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyah, 1384 H.], juz 1, hlm. 335).

 

Adapun alasan kelompok pertama yang menyamakan aktivitas mengajar dengan ibadah-ibadah lain seperti shalat dan puasa kurang tepat. Pasalnya, shalat dan puasa merupakan ibadah personal yang manfaatnya hanya akan dirasakan oleh pribadi yang mengerjakan. Sedangkan mengajar adalah ibadah yang manfaatnya bisa dirasakan oleh orang banyak sehingga menerima gaji dari kegiatan belajar mengajar menjadi dibolehkan.

 

Imam al-Alusi menjelaskan bahwa pendapat yang difatwakan adalah pendapat yang kedua, yaitu bolehnya seorang guru menerima upah atau gaji. Alasannya agar keberadaan ilmu agama di muka bumi ini terus eksis dan tidak sampai punah. (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, [Beirut, Darul Kutub ‘Ilmiyah, 1415 H], juz 1, hlm. 121).

 

Lebih jauh lagi, Syaikh Ali al-Shabuni menjelaskan bahwa sebenarnya alasan yang diungkapkan oleh kalangan mutaqaddimîn lebih teliti dan mendalam. Selain itu, menerapkan pendapat mereka di kondisi tersebut sangatlah mungkin lantaran semangat belajar umat masih tinggi. 

 

Beda halnya dengan kondisi zaman berikutnya di mana semangat belajar umat telah merosot. Terlebih lagi di masa kita sekarang yang didominasi oleh pola pikir materialistik yang hanya fokus pada masalah keduniaan, belajar agama menjadi hal yang bisa dikatakan langka. Dengan pertimbangan inilah ulama muta'akhirîn membolehkan guru menerima gaji/upah, bahkan ada yang berpendapat wajib dengan alasan menjaga ilmu agama. (Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan, [Mesir, Maktabatu Syuruq al-Dauliyah, t.th], juz 1, hlm. 107).

 

Dengan demikian, ulama masih berbeda pendapat tentang kebolehan seorang guru menerima gaji. Namun, perdebatan tersebut harus kita sikapi dengan bijak. Seorang guru harus mengutamakan keikhlasan dalam menyebarkan ilmu Allah dan tidak boleh pamrih. Pasalnya, ilmu adalah amanah Allah untuk diamalkan dan disebarkan kepada semua orang.

 

Namun di sisi lain, guru adalah seorang manusia yang memerlukan biaya hidup. Faktanya, tidak semua orang berilmu memiliki kehidupan yang mapan dan serba berkecukupan. Sehingga tidak salah jika murid, lembaga, atau bahkan negara menyediakan bayaran untuk kegiatan belajar-mengajar. 

 

Bahkan sejatinya, sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan tenaga pendidik dengan memenuhi kebutuhan finansial mereka karena pendidikan merupakan pilar utama kemajuan sebuah bangsa dan peradaban. Sebuah negara akan maju jika sektor pendidikannya juga maju. Kita patut mencontoh peradaban-peradaban yang pernah menguasai dunia. Sejarah mencatat bahwa mereka berhasil membangun kejayaan lantaran didasari oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Wallahu a’lam

 

Muhammad Zainul Mujahid, Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.