Tafsir

Kajian Demokrasi dan Syirik dalam Al-Qur’an

Sel, 19 Maret 2019 | 01:30 WIB

Kajian Demokrasi dan Syirik dalam Al-Qur’an

(Ilustrasi: NU Online)

Kajian Demokrasi dan Syirik dalam Al-Qur’an
Kita sudah mengetahui bersama bahwa Indonesia didirikan bukan sebagai negara Islam dan bukan berdasarkan sistem pemerintahan Islam, melainkan menggunakan sistem demokrasi.

Akhir-akhir ini, ada sebagian kelompok yang menganggap bahwa menjalankan hukum dan sistem pemerintahan dengan hukum dan sistem lain selain hukum Allah SWT juga termasuk syirik, seperti sistem demokrasi di Indonesia.

Bahkan penerapan hukum di luar hukum disebut sebagai syirik akbar. Sedangkan para penganut syirik akbar ini dianggap batal syahadatnya, bahkan sudah disebut kafir.

Salah satu ayat yang digunakan adalah Surat Al-Kahfi ayat 26.

وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا

Artinya, “Dan Allah tidak menyekutukan dalam ‘hukum’-Nya pada seorang pun.”

Ayat ini menjadi pegangan oleh salah satu terpidana terorisme yang telah dijatuhi hukuman mati, Aman Abdurrahman, untuk melakukan kekerasan dan terorisme.

Ayat di atas dipahami oleh kelompok mereka bahwa setiap orang yang menyekutukan hukum Allah SWT, yakni menganut hukum yang tidak dibuat oleh Allah SWT, maka mereka termasuk golongan orang yang musyrik.

Golongan musyrik ini mencakup orang-orang yang membuat peraturan perundang-undangan melalui lembaga kenegaraan seperti parlemen (DPR/MPR), para pembuat kebijakan yang tidak merujuk kepada Al-Qur’an sebagai representasi hukum Allah SWT, orang yang membuat dan mengikuti hukum positif, para pelaksana hukum positif seperti hakim, pengacara, jaksa, dan polisi.

Menurut mereka, para pembuat dan pelaksana hukum positif telah merebut hak membuat peraturan yang hanya dimiliki oleh Allah SWT. Mereka menyekutukan Allah dalam pembuatan hukum atau peraturan.

Lalu, benarkah demikian? Benarkah seluruh orang yang mengakui sistem demokrasi, sekaligus pelaksananya berhak menyandang status musyrik dan kafir hanya karena divonis menyekutukan hukum Allah SWT? Benarkah ayat tersebut berkaitan dengan hal itu?

Namun sebelum kita membahas lebih jauh maksud dan pendapat para ahli tafsir terkait ayat tersebut, ada baiknya jika kita membaca ayat tersebut secara utuh.

قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا ۖ لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ ۚ مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا

Artinya, “Katakanlah, ‘Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan,’” (Surat Al-Kahfi ayat 26).

Secara utuh, ayat tersebut sebenarnya mengisahkan bagaimana Allah SWT menengahi perdebatan terkait waktu lamanya para ashabul kahfi menetap di dalam gua. Dan tentunya, ayat ini tidak boleh dipisahkan dari ayat sebelumnya, yaitu Surat Al-Kahfi ayat 25:

وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا

Artinya, “Mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi),” (Surat Al-Kahfi ayat 25).

Inti dalam ayat tersebut adalah bahwa kita tidak perlu memperdebatkan berapa lama ashabul kahfi tinggal di dalam gua. Berapa lama pun mereka tinggal di dalam gua, semua itu adalah ketentuan Allah SWT.

Yang perlu diyakini adalah Allah SWT mampu membuat ashabul kahfi tertidur dalam waktu yang cukup lama. Semua adalah ketentuan Allah. Allah mampu membuat mereka tertidur sangat lama tanpa mengalami kerusakan jasad.

Allah mampu membangkitkan mereka kembali setelah sekian lama. Allah menentukan semua itu. Dia tidak perlu meminta pendapat pada orang lain dalam membuat ketentuan. Dia juga tidak perlu bantuan orang lain dalam mewujudkan kehendak dan keputusan-Nya.

Kata “hukum” dalam Surat Al-Kahfi ayat 26 berarti ketentuan Allah terhadap ashabul kahfi, jumlah mereka, berapa lama mereka tertidur, dan bagaimana mereka kembali terbangun. Allah tidak membagi kekuasaan-Nya pada orang lain mengatur semua kisah ajaib yang terjadi pada ashabul kahfi.

Kata “hukum” pada ayat ini bukan hukum dalam artian peraturan atau sistem yang digunakan dalam sebuah negara. Itulah mengapa diksi yang dipilih oleh Kementrian Agama dalam menerjemahkan kata “hukum” pada ayat ini dengan kata “ketentuan.”

Hal ini diperkuat dengan pendapat para mufassir yang menyebutkan bahwa kata “hukum” dalam ayat tersebut berkaitan dengan masa atau waktu tidur ashabul kahfi. Al-Baghawi (wafat pada 516 H) mengatakan bahwa maksud “hukum” dalam Surat Al-Kahfi ayat 26 adalah pengetahuan tentang perkara gaib seperti detail cerita ashabul kahfi yang ajaib.

Kata “hukum” dalam konteks ini adalah ilmu gaib, yang maksudnya bahwa Allah SWT tidak bersekutu dengan seorang pun dalam mengetahui perkara gaib, (Lihat Al-Baghāwī, Ma’ālimut Tanzīl, [Beirut, Dārul Kutub: 1995 M], juz III, halaman 188).

Menurut Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Tafsir Marāḥ Labīd, ayat tersebut menunjukkan bahwa kita tidak boleh bertanya kepada seorang pun tentang apa yang sudah diberitahukan Allah SWT terkait jumlah ashabul kahfi serta lamanya mereka tertidur dalam gua.

Kita, kata Syekh Nawawi Al-Bantani, memang diperbolehkan untuk mendiskusikan kisah ashabul kahfi di dalam gua, tapi harus dibatasi pada keputusan Allah SWT. Kita tidak diperbolehkan untuk menyekutukannya terkait pengetahuan atas peristiwa ini, (Lihat Syekh Nawawi Al-Bantani, Tafsir Marāḥ Labīd, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1417 H], juz I, halaman 647).

Namun, ada juga ulama tafsir yang menafsirkan hukum dalam ayat tersebut sebagai undang-undang. Sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Amin As-Syinqithi dalam Tafsir Adwā’ul Bayān:

“Dengan teks-teks langit yang telah kami sebutkan tampak jelas bahwa orang-orang yang mengikuti hukum positif yang disyariatkan setan melalui lisan para pengikutnya adalah bertentangan dengan syariat Allah yang disampaikan para rasul-Nya. Bahwa tidak ragu kekafiran dan kemusyrikan mereka kecuali orang yang Allah butakan batinnya,” (Lihat Muhammad Amin As-Syinqithi, Tafsir Adhwa’ul Bayan, [Beirut, Darul Fikr: 1995 M], juz III, halaman 259).

Terkait penafsiran As-Syinqithi yang berbeda dengan penafsiran para ulama tafsir ini sebenarnya telah dijawab sendiri oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri mengajarkan untuk melakukan beberapa hal yang pada dasarnya sesuai dengan prinsip demokrasi.

Pertama, Al-Qur’an mengajarkan untuk bermusyawarah. Hal ini tercantum jelas dalam Surat Al-Syu’ara ayat 38.

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Artinya, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Jika memang benar bahwa Allah SWT menolak hukum yang dibuat oleh manusia, maka Allah SWT tidak mungkin memerintahkan manusia untuk bermusyawarah yang tujuannya adalah membuat keputusan atau produk hukum.

Di sisi lain, Al-Qur’an juga mengajarkan untuk selalu menepati perjanjian yang dilakukan. Bahkan Rasulullah sendiri melakukan beberapa perjanjian, di antaranya perjanjian Hudaibiyah, perjanjian Fathu Makkah, dan Piagam Madinah.

Jika hukum manusia adalah syirik, maka tentu hasil dari perjanjian-perjanjian Rasulullah SAW tersebut akan ditentang oleh Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 177:

وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ

Artinya, “Orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,” (Surat Al-Baqarah ayat 177).

Oleh karena itu, syirik dalam konteks Surat Al-Kahfi di atas, sebenarnya bukan dalam konteks syirik pemerintahan atau sistem hukum yang diberlakukan di masyarakat, melainkan termasuk syirik dalam hal yang berkaitan dengan hal gaib, termasuk berapa lamanya waktu tidur ashabul kahfi sebagai bagian dari kekuasaan Allah SWT. Wallahu a’lam.


(Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, pegiat kajian tafsir dan hadits, alumnus Pesantren Luhur Darus Sunnah)