Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 8

Sel, 24 Maret 2020 | 08:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 8

Ayat ini turun perihal orang munafik ketika menyatakan keimanan kalimat keimanan dan menyembunyikan kekufuran. Allah kemudian menafikan keimanan mereka dengan akhir ayat ini. Ayat ini menunjukkan bahwa keimanan bukan sekadar ikrar. (Ilustrasi: via Attahawi.com)

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ

Wa minan nāsi man yaqūlu āmannā billāhi wa bil yaumil ākhiri wa mā hum bi mu’minīn.

Artinya, “Sebagian orang ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada hari akhir.’ Padahal mereka tidak beriman.”

Ragam Tafsir
Ayat ini turun perihal orang munafik ketika menyatakan keimanan kalimat keimanan dan menyembunyikan kekufuran. Allah kemudian menafikan keimanan mereka dengan akhir ayat ini. Ayat ini menunjukkan bahwa keimanan bukan sekadar ikrar. (Ali bin Ahmad Al-Wahidi, Kitabul Wajiz di Tafsiril Qur’anil Aziz, [Beirut, Darul Fikr: 2007 M/1427-1428 H], juz I, halaman 6).

Ayat ini turun mengenai orang munafik, yaitu Abdullah bin Ubay bin Salul, Mu’attib bin Qusyair, Jadd bin Qais, dan lingkaran mereka. Mereka menyatakan kalimat Islam dan menyembunyikan kekufuran agar selamat dari nabi dan para sahabat. Tetapi mereka meyakini sebaliknya. Mereka meyakini kekufuran. Kebanyakan mereka adalah Yahudi. Sifat kemunafikan adalah pengakuan dan ikrar keimanan secara lisan. Di hati mereka mengingkarinya. Pagi bilang begini. Sore sudah lain lagi. Tetapi Allah menafikan keimanan mereka sama sekali. (Al-Baghowi, Ma‘alimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil, [Beirut, Darul Fikr: 2002 M/1422 H], juz I, halaman 25) dan (Alauddin Al-Khazin, Lubabtut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil).

Al-Baidhawi mengatakan, hari akhir yang dimaksud pada ayat ini adalah saat mahsyar (pengumpulan makhluk) hingga seterusnya tidak terhingga; atau hingga penduduk surga dan penduduk neraka masuk ke tempatnya masing-masing karena setelah itu tidak ada batas waktu lagi. Huruf “ba” yang mewakili keimanan kepada Allah dan hari akhir disebut dua kali karena pengakuan orang-orang munafik itu atas keimanan kepada keduanya; pengakuan mereka atas capaian keimanan pada keduanya; dan penguasaan mereka atas keyakinan pada keduanya. Mereka seolah telah beriman secara pasti, teguh, dan meyakikan. Padahal mereka menyembunyikan keyakinan yang batil di balik itu; di mana mereka tidak beriman secaa hakiki karena mereka menyekutukan Allah.  (Al-Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz I, halaman 77)

Ayat ini mengabarkan keburukan keyakinan mereka. Kalimat “Padahal mereka tidak beriman” merupakan penolakan atas dakwaan mereka dan penafian atas keimanan mereka. Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang menyatakan keimanan, sementara keyakinannya berbeda dari pernyataannya, tidak dapat disebut sebagai orang mukmin. (Al-Baidhawi, Anwarut Tanzil: I/78-79).

Ibnu Katsir dalam Tafsirul Qur’anil Azhim mengatakan, nifaq atau kemunafikan adalah tindakan menyatakan kebaikan dan menyembunyikan keburukan. Ia membagi dua jenis nifaq, yaitu nifaq i‘tiqadi (kemunafikan keyakinan) yang membuat orang munafik kekal di neraka; dan nifaq amali (kemunafikan perbuatan), yaitu orang beriman yang melakukan dosa besar. Ibnu Katsir mengutip Ibnu Juraij. Menurutnya, orang munafik adalah orang yang ucapannya menyalahi perbuatannya, hatinya menyalahi lahirnya, dalamnya menyalahi luarnya, dan tampilannya menyalahi perbuatannya di saat ghaib.

Ibnu Katsir bercerita bahwa ayat ini turun mengenai sifat orang munafik pada surat-surat Al-Qur’an periode Madinah. Sedangkan pada periode Makkah, tidak ada orang munafik. Justru sebaliknya, sebagian orang beriman menyatakan kekufuran karena terpaksa. Meski demikian, mereka beriman di dalam batin. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, di sana terdapat kelompok Ansor yang terdiri atas suku Aus dan Khazraj yang di masa jahiliyahnya juga menyembah berhala sebagaimana musyrikin Makkah; dan Yahudi Ahli Kitab yang mengikuti jalan salaf pemuka agama mereka yang terdiri atas tiga qabilah, yaitu Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah.

Ketika Rasulullah tiba di Madinah, banyak dari suku Aus dan Khazraj memeluk Islam. Sementara sedikit dari kalangan Yahudi memeluk Islam, yaitu Abdullah bin Salam. Ketika itu belum ada kemunafikan karena umat Islam belum memiliki kuasa yang perlu ditakuti. Rasulullah SAW bahkan berdamai dengan Yahudi dan banyak kabilah yang berisi perkampungan orang Arab di sekitar Madinah. Ketika perang badar besar terjadi, Allah meninggikan kalimat-Nya, mengangkat Islam dan pemeluknya. Abdullah bin Ubay bin Salul berkata, “Situasi ini sudah mengarah.” Ia adalah tokoh masyarakat Madinah yang disegani asal suku Aus. Ia pemimpin dua suku di era jahiliyah dan hampir diangkat sebagai raja oleh masyarakat Madinah. Tetapi kabar baik menghampiri masyarakat Madinah. Mereka pun memeluk Islam dan mengabaikan Abdullah bin Ubay sehingga tinggallah ia dan keluarganya sendiri.

Ketika perang Badar itulah, Abdullah bin Ubay menyatakan keislaman secara munafik yang kemudian diikuti oleh sejumlah kabilah Arab dan kelompok Yahudi dengan keislaman cara Abdullah bin Ubay. Dari sini awal terjadi kemunafikan oleh bangsa Arab di tengah masyarakat Madinah dan sekitarnya. Adapun kelompok muhajirin tidak ada seorang pun yang mengikuti jalan kemunafikan seperti mereka karena tiada satu pun dari mereka yang berhijrah karena terpaksa. Mereka berhijrah, meninggalkan harta, anak, dan tanah mereka karena mengharap ganjaran Allah di akhirat kelak. (Ibnu Katsir)

Ia juga menguitp Muhammad bin Ishaq mengutip pendapat Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun perihal orang-orang munafik dari kalangan Aus, Khazraj, dan orang yang sejalan dengan mereka. Tafsiran seperti ini juga diungkapkan oleh Abul Aliyah, Al-Hasan, Qatadah, dan As-Suddi.

Allah mengingatkan sifat-sifat orang munafik agar orang beriman tidak terpedaya oleh sikap lahiriyah dan pernyataan keimanan mereka sehingga orang beriman tidak terjatuh dalam mafsadat karena tidak waspada. Orang munafik hakikatnya adalah orang kafir. Kekufuran jenis nifaq ini patut diwaspadai betul di mana orang-orang jahat itu dianggap sebagai orang baik. Mereka melafalkan kalimat keimanan seolah tidak memiliki kepentingan lain di balik itu. Padahal mereka melafalkan kalimat tersebut hanya saat menemui Nabi Muhammad SAW sebagaimana Surat Al-Munafiqun ayat 1. Oleh karena itu, mereka memperkuat kesaksian mereka dengan partikel “lam” sesuai kaidah penguat kalimat informatif pada “nasyhadu innaka ‘la’rasulullāh.” (Ibnu Katsir)

Allah membuka Surat Al-Baqarah dengan penjelasan mengenai Al-Qur’an dan menyebut sifat orang beriman yang ikhlas serta satu kata dan perbuatan. Allah kemudian menyebut sifat orang kafir sebagai jenis orang kedua yang menjadi lawanan orang beriman. Mereka adalah murni orang kafir lahir dan batin. Mereka tidak peduli sama sekali dengan itu.

Allah kemudian menjelaskan sifat orang munafik sebagai jenis orang ketiga yang terombang-ambing dan memiliki sikap mendua terhadap kubu orang beriman dan kubu orang kafir. Mereka orang yang beriman dengan mulutnya, tetapi tidak pada hatinya. Mereka adalah seburuk-buruk orang kafir. Mereka orang kafir paling dibenci Allah karena mereka menjadikan keimanan sebagai tipu daya dan olok-olok belaka. Oleh karenanya, Allah menjelaskan lebih panjang keburukan dan kebodohan mereka. Allah juga mengolok dan mengejek perilaku mereka, dan serta menyiarkan kebingungan dan kedunguan mereka. Allah juga membuat perumpaan perihal mereka. Untuk mereka Allah menurunkan Surat An-Nisa ayat 145, “Sungguh, orang munafik itu kelak berada di lapisan terbawah neraka.” (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim). Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)