Tafsir

Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 7

Ahad, 12 Januari 2020 | 17:30 WIB

Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 7

(Ilustrasi: via ss.lv)

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Shirātal ladzīna an‘amta ‘alaihim ghairil maghdhūbi alaihim wa lad dhāllīn.

Artinya, “Jalan orang yang Kauberi nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurka, dan bukan (jalan) mereka yang tersesat.

Syekh Jalaluddin dalam Tafsirul Qur’anil Azhim (lebih dikenal Tafsirul Jalalain) menafsikan, nikmat yang dimaksud dalam Surat Al-Fatihah ayat 7 adalah petunjuk Allah. Kelompok yang dimurka adalah Yahudi. Sementara kelompok yang tersesat adalah Nasrani.

Menurutnya, kata petunjuk pada “ihdi” (Surat Al-Fatihah ayat 6) mengisyaratkan bahwa mereka yang menerima petunjuk bukan kelompok Yahudi dan Nasrani. Ini sebenarnya pandangan umumnya mayoritas ulama tafsir. Meski demikian, Syekh Jalaluddin mengatakan, Allah lebih mengetahui mana (tafsiran) yang benar. Hanya kepada-Nya semua dikembalikan. Artinya, manusia bagi Syekh Jalaluddin boleh saja menafsirkan ayat-ayat suci (tentu dengan tanggung jawab dan kompetensi yang memadai), tetapi kebenaran mutlak hanya milik Allah belaka.

Imam Ibnu Katsir dalam karyanya Tafsirul Qur’anil Azhim (lebih dikenal Tafsir “Ibnu Katsir”) mengutip pandangan sejumlah sahabat dan ulama. Menurutnya, kata “shirātal ladzīna” pada Surat Al-Fatihah ayat 7 merupakan penjelas kata “as-shirātal mustaqīm” pada Surat Al-Fatihah ayat 6. Mereka yang menerima nikmat pada Surat Al-Fatihah ayat 7 merujuk pada Surat An-Nisa ayat 69-70 sebagai berikut.

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا * ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا

Artinya, “Orang yang menaati Allah dan rasul, maka mereka akan bersama para nabi, orang yang jujur teguh, orang syahid, orang saleh sebagai kelompok yang diberi nikmat oleh Allah. Mereka itu sebaik-baik sahabat. Yang demikian itu merupakan karunia dari Allah. Cukup Allah yang mengetahui.”

Ibnu Katsir mengutip pandangan sahabat Ibnu Abbas dari Ad-Dhahak bahwa jalan orang yang diberi nikmat adalah jalan orang yang taat dan menyembah Allah. Jalan itu adalah jalan malaikat, para nabi, orang yang jujur teguh, orang syahid, dan orang saleh.

Adapun Abu Ja’far At-Thabari, seperti dikutip oleh Ibnu Katsir, mengutip Rabi’ bin Anas yang menyebut jalan pada Surat Al-Fatihah ayat 7 itu adalah jalan para nabi. Ibnu Abbas dari Ibnu Juraij sebagaimana pandangan Mujahid, masih dalam Ibnu Katsir, mengatakan bahwa mereka yang dimaksud adalah orang-orang beriman.
 
Imam Waqi berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang Muslim. Sedangkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan, mereka adalah Nabi Muhammad dan sahabat yang menyertainya. Tetapi, kata Ibnu Katsir, pandangan Ibnu Abbas di awal memiliki makna lebih umum dan cakupan lebih luas.

Abu Sa’ud dari Mazhab Hanafi yang hidup pada abad ke-8-9 H menafsirkan bahwa nikmat Allah yang dimaksud pada ayat 7 begitu luas. Mustahil kita dapat membilangnya. Tetapi secara pokok, nikmat itu terbagi dua, duniawi dan ukhrawi.

Nikmat duniawi terbagi dua, yaitu wahbi (anugerah Allah begitu saja) dan kasbi (yang diupayakan). Nikmat wahbi terbagi dua, yaitu rohani (seperti roh, akal, daya pikir) dan jasmani (seperti rupa fisik, kekuatan fisik, kesehatan, dan kesempurnaan anggota badan). Sedangkan nikmat kasbi adalah pembersihan batin dari segala sifat tercela, tindakan menghias batin dengan akhlak terpuji, menghiasi raga dengan bahasa tubuh dan perhiasan yang patut, pangkat dan harta.
 
Adapun nikmat ukhrawi adalah ampunan Allah atas kelewatan batas kita, ridha-Nya atas kekhilafan, penempatan kita di tempat tertinggi “a‘lā illiyyūn” bersama para muqarrabin. Tujuan utama kita adalah nikmat Allah yang ukhrawi. Sedangkan nikmat duniawi merupakan jalan atau wasilah untuk meraih nikmat ukhrawi, kata Imam Abus Sa‘ud.

Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam karyanya Tafsir Al-Munir berpendapat, orang yang diberi nikmat pada ayat ini adalah para nabi, orang yang jujur teguh, orang syahid, dan orang saleh terdahulu. Mereka adalah sebaik-baik sahabat.

Adapun “Bukan (jalan) mereka yang dimurka, dan bukan (jalan) mereka yang tersesat,” maksudnya, “Jangan jadikan kami bersama orang yang menyimpang dari jalan lurus, mereka yang dijauhkan dari rahmat Allah, dan mereka yang disiksa sekeras-kerasnya karena mereka memahami kebenaran, tetapi mengabaikannya, dan mereka tersesat jalan.” Ulama umumnya (jumhur) menafsirkan “mereka yang dimurka” adalah Yahudi dan “mereka yang tersesat” adalah Nasrani.
 
Adapun tafsir yang benar kata Syekh Wahbah Az-Zuhayli, “mereka yang dimurka” adalah orang yang telah menerima informasi perihal agama kebenaran yang ditentukan oleh Allah untuk hamba-Nya, lalu menolak dan mencampakkannya. Sedangkan mereka yang tersesat adalah mereka yang tidak memahami kebenaran atau mereka yang belum memahami kebenaran secara benar. Mereka adalah kelompok yang belum disinggahi risalah atau kelompok yang telah disinggahi risalah agama dengan kekurangan di sana dan sini.

Syekh Jamaluddin Al-Qasimi dalam tafsirnya Mahasinut Ta’wil menafsirkan “mereka yang dimurka dan mereka yang tersesat adalah setiap individu dari kelompok dan golongan mana saja yang memisahkan diri dari jalan besar Islam. Jadi, tidak merujuk pada kelompok tertentu. Sedangkan penyebutan sebagian ulama tafsir atas kelompok agama tertentu untuk menafsirkan ayat ini, menurut Al-Qasimi, hanya perumpamaan umum yang paling populer (di zamannya). (Al-Qasimi, tanpa catatan kota: 24).

Ragam Pelafalan Shirātal Ladzīna An‘amta ‘Alaihim.
Pelafalan Surat Al-Fatihah ayat 7 berbeda-beda. Imam Ibnu Katsir mengutip mayoritas ulama qiraat yang membaca kata “ghairil” secara jar karena menjadi sifat sehingga bunyi pelafalannya seperti umumnya kita dengar, yaitu “ghairil maghdhūbi.” Tetapi Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata “ghairil” dibaca nashab karena hal menurut kedudukan nahwunya sehingga dibaca “ghairal maghdhūbi.” Ini merupakan bacaan Rasulullah dan Sayyidina Umar bin Khattab. Diriwayatkan dari Imam Ibnu Katsir bahwa shahibul hal-nya adalah dhamir/kata ganti pada kata “alaihim.” Sementara amil-nya adalah kata “an‘amta.”

Adapun Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami' li Ahkamil Qur’an mengutip ragam pelafalan kata “alladzīna” dan “alaihim.” Ia mengutip pandangan Ja’far bin Muhammad, lughah Al-Qur’an menyebut kata “alladzina” dalam posisi apapun, rafa’, nashab, dan jar. Sementara lughah Hudzail menyebut kata “alladzūna” dalam posisi rafa’. Sebagian orang Arab juga ada yang membaca “alladzūna.” Tetapi ada juga orang Arab yang membaca “alladzīna.”

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengutip 10 ragam pelafalan kata “alaihim” pada Surat Al-Fatihah ayat 7. Kata ini dapat dibaca “alaihim,” “alaihum,” “alaihimī,” “alaihimū,” “alaihumū,” “alaihumu.” Enam jenis pelafalan ini tersebut jelas sanadnya dari para ulama qiraat. Sedangkan empat jenis bacaan lainnya hanya dikutip dari varian pelafalan orang Arab, bukan dari ulama qiraat.

Adapun empat jenis pelafalan lainnya adalah “alaihumī” (dihikayatkan Al-Hasan Al-Bashari dari orang Arab), “alaihumi,” “alaihimu,” dan “alaihimi.” Menurut Imam Al-Anbari, seperti dikutip oleh Imam Al-Qurthubi, semua bacaan ini benar. Wallahu a‘lam.
 

Penulis: Alhafiz Kurniawan
Editor: Abdullah Alawi