Tafsir Surat Al-Qur'an yang Dibaca Saat Kunjungan Paus Fransiskus di Istiqlal
NU Online · Ahad, 8 September 2024 | 20:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
Pagi yang cerah di Jakarta terasa berbeda pada 5 September 2024, ketika Toyota Kijang Innova Zenix kendaraan melintas pelan menuju jantung ibu kota, membawa Pemimpin tertinggi Gereja Katolik, Yang Amat Mulia Paus Fransiskus. Dalam kunjungannya yang bersejarah ke Indonesia, Paus Fransiskus disambut dengan hangat di Masjid Istiqlal, simbol agung toleransi dan keberagaman di negeri ini.
Sebuah momen yang memukau saat langkah-langkah Paus menyusuri lantai marmer masjid terbesar di Asia Tenggara itu, seraya menyaksikan megahnya kubah yang memayungi ribuan harapan akan perdamaian dunia.
Di sana, Pemimpin umat Katolik dunia sekaligus Kepala Negara Vatikan itu bertemu dengan para tokoh lintas agama, bersalaman dengan ulama, pendeta, biksu, dan pemimpin lainnya, menyatukan semua dalam suasana penuh persahabatan dan rasa hormat.
Pertemuan tersebut mengalir dalam suasana hangat dan penuh makna, seakan menggambarkan cita-cita luhur bangsa ini yang menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika. Paus Fransiskus, dengan sikapnya yang rendah hati dan penuh kasih, berbicara mengenai pentingnya dialog antaragama sebagai jalan menuju perdamaian dunia. Kata-katanya menggema di dalam masjid, menyentuh setiap hati yang hadir, seakan membawa pesan ilahi tentang kasih sayang dan persaudaraan.
Lebih jauh lagi, dalam dialog di Masjid Istiqlal, ada satu momen paling mengharukan saat Kayla Nur Syahwa, seorang hafidzah tuna netra, dengan lembut dan indah melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Kayla membacakan Surah Al-Baqarah ayat 62;
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصٰرٰى وَالصَّابِــِٕيْنَ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
Innal-lażīna āmanū wal-lażīna hādū wan-naṣārā waṣ-ṣābi'īna man āmana billāhi wal- yaumil-ākhiri wa ‘amila ṣāliḥan fa lahum ajruhum ‘inda rabbihim, wa lā khaufun ‘alaihim wa lā hum yaḥzanūn(a).
Artinya; "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari Akhir serta melakukan kebajikan (pasti) mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih hati."
Kemudian Kayla juga membacakan Surat Al-Hujurat ayat 13, dua ayat yang sarat dengan pesan perdamaian dan penghormatan terhadap keragaman manusia. Allah berfirman;
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Yā ayyuhan-nāsu innā khalaqnākum min żakariw wa unṡā wa ja‘alnākum syu‘ūbaw wa qabā'ila lita‘ārafū, inna akramakum ‘indallāhi atqākum, innallāha ‘alīmun khabīr(un).
Artinya; "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti."
Lantas apa tafsir dan makna Surat Al-Baqarah ayat 62 dan Surat Al-Hujurat ayat 13? Pasalnya, dua ayat tersebut sering sekali dikutipkan karena memiliki pesan penting mengenai konsep keimanan dan persaudaraan dalam Islam, benarkah yang demikian?
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 62
Untuk tafsir surat Al-Baqarah ayat 62, Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah menjelaskan ayat ini ada korelasi [munasabah] dengan ayat-ayat sebelumnya, yang mengkritik dan bahkan mengancam orang-orang Yahudi yang durhaka, yang mungkin menimbulkan ketakutan di antara mereka.
Namun, melalui ayat ini, Allah menawarkan jalan keluar dan ketenangan bagi mereka yang ingin memperbaiki diri. (Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Penerbit Lentera Hati 2002, jilid I, halaman 214).
Ini mencerminkan sifat Allah yang Maha Pemurah, selalu membuka pintu bagi hamba-Nya yang bertaubat. Ayat ini menjelaskan bahwa jalan untuk meraih ridha Allah, baik bagi orang-orang Yahudi maupun umat lainnya, adalah dengan beriman kepada Allah, hari kiamat, serta beramal saleh.
Dalam ayat ini, ditegaskan bahwa siapa saja di antara orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad, Yahudi yang beriman kepada Nabi Musa, Nasrani yang beriman kepada Nabi Isa, dan Shabi'in yang menganut kepercayaan lainnya, selama mereka benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat serta beramal saleh, mereka akan mendapatkan pahala atas amal saleh mereka.
Pahala ini akan mereka terima di dunia dan tersimpan hingga akhirat nanti di sisi Tuhan. Mereka tidak akan merasa khawatir tentang apa yang akan datang, dan tidak pula bersedih atas apa yang telah terjadi.
Ayat ini juga dimulai dengan kata [اِنَّ] "inna", yang berarti "sesungguhnya", ini untuk menegaskan bahwa tidak semua orang Yahudi termasuk dalam golongan yang durhaka. Hal ini penting untuk mengoreksi dugaan sebagian orang yang mengira bahwa semua Bani Israil termasuk dalam golongan tersebut.
Ibn 'Ashur juga mengungkapkan bahwa meskipun ada anggapan umum tentang kedurhakaan orang Yahudi, ia tetap menghormati tokoh seperti Petrus, salah satu sahabat setia Nabi Isa, ketika berkunjung ke makamnya di Roma.
Menurut Tafsir Al-Misbah, kata "hadu" [هَادُوْا ] yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 62 merujuk pada orang-orang Yahudi atau mereka yang menganut agama Yahudi. Dalam bahasa Arab, mereka disebut dengan istilah "yahud" [يهود] . Pada sisi lain, ada ulama berpendapat bahwa istilah ini berasal dari bahasa Ibrani, yaitu "yahudz," [يهوذ] yang dalam bahasa Arab diadaptasi dengan sedikit perbedaan, yaitu penambahan titik di atas huruf "dal."
Perlu diketahui bahwa penambahan titik dan tanda baca dalam aksara Arab baru dikenal jauh setelah turunnya Al-Qur'an. Bahasa Arab seringkali mengubah pengucapan kata asing yang diserapnya, dan hal ini juga terjadi pada kata "yahudz" yang menjadi "yahud."
Thahir Ibn 'Asyur menyatakan bahwa istilah ini baru muncul setelah wafatnya Nabi Sulaiman sekitar tahun 975 SM. Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti "kembali" atau "bertobat," karena orang Yahudi bertaubat dari penyembahan anak sapi.
Lebih lanjut, Quraish Shihab mengamati bahwa Al-Qur'an tidak menggunakan kata "yahud" kecuali dalam konteks kecaman. Mungkin inilah sebabnya dalam ayat ini digunakan kata "hadu" dan bukan "yahud."
Thahir Ibn 'Asyur, seperti dikutip, dalam Al-Misbah, memiliki pandangan lain. Menurutnya, setelah kematian Nabi Sulaiman, kerajaan Bani Israil terbagi menjadi dua. Kerajaan pertama dipimpin oleh putra Nabi Sulaiman, Rahbi'am, dengan ibu kota di Yerusalem. Kerajaan ini hanya diikuti oleh keturunan Yahudza dan Benyamin.
Kerajaan kedua dipimpin oleh Yurbi'am, putra Banath, seorang anak buah Nabi Sulaiman yang gagah berani, dan berkedudukan di Samirah. Yurbi'am disebut sebagai raja Israel, tetapi rakyatnya sangat bejat dan menyimpang dari ajaran agama (halaman 215).
Kerajaan kedua tersebut mengalami kehancuran karena penyembahan berhala dan akhirnya punah setelah 250 tahun. Tidak ada lagi kekuasaan Bani Israil kecuali kerajaan pertama, yang juga hancur pada tahun 120 SM oleh Adrian, seorang penguasa Romawi yang mengusir mereka hingga tercerai-berai.
Thahir Ibn 'Asyur menyatakan bahwa "hadu" merujuk kepada kelompok tersebut, meskipun pada akhirnya istilah ini mencakup semua orang yang beragama Yahudi. Oleh karena itu, kata "hadu" digunakan dalam ayat ini sebagai pengganti "yahud."
Secara keseluruhan, penjelasan ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah "hadu" dalam Al-Qur'an memiliki sejarah dan konteks tertentu. Tafsir ini memberikan gambaran bahwa kata tersebut tidak hanya merujuk pada kelompok Yahudi secara umum, tetapi juga memiliki kaitan dengan peristiwa sejarah tertentu dalam perjalanan Bani Israil. Di Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab berusaha menjelaskan perbedaan penggunaan istilah ini dalam Al-Qur'an serta latar belakang historisnya
Sementara itu, kata "an-nashara" (orang-orang Nasrani) memiliki akar sejarah yang menarik. Kata ini berasal dari "nashirah", sebuah wilayah di Palestina yang memiliki kaitan erat dengan Nabi Isa as. Maryam, ibunda Nabi Isa, dibesarkan di wilayah ini dan dari sinilah dalam keadaan mengandung menuju Baitul Maqdis. Namun, sebelum sampai ke tujuan, melahirkan Nabi Isa di Betlehem.
Karena kelahiran Nabi Isa terjadi di wilayah nashirah, maka Bani Israil pun menyebutdengan sebutan Yasu'. Seiring berjalannya waktu, pengikut-pengikut Nabi Isa kemudian disebut sebagai "nashara" yang merupakan bentuk jamak dari "nashry" atau "nashiry". Dengan demikian, istilah "Nasrani" memiliki hubungan langsung dengan tempat kelahiran Nabi Isa dan menjadi identitas bagi para pengikut ajarannya.
Sementara itu, menurut penafsiran Al-Misbah, istilah kata "ash-shabi'in" [صَّابِــِٕيْنَ] dalam Al-Qur'an memiliki beberapa pandangan. Ada yang berpendapat bahwa kata ini berasal dari kata "shaba'" yang berarti 'muncul' atau 'tampak', seperti saat kita melihat bintang muncul di langit. Dari sini, beberapa ulama memaknai "ash-shabi'in" sebagai penganut agama yang menyembah bintang.
Pandangan ulama lain mengenai asal-usul kata "ash-shabi'in" menghubungkannya dengan nama suatu daerah di Yaman, yaitu Saba'. Daerah ini pernah dipimpin oleh Ratu Balqis dan penduduknya terkenal menyembah matahari dan bintang. Selain itu, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa "ash-shabi'in" adalah kata kuno dalam bahasa Arab yang digunakan oleh masyarakat Mesopotamia di Irak.
Dalam Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa beriman kepada Allah dan hari Akhir [مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ] yang disebut dalam Surah Al-Baqarah ayat 62 bukan berarti hanya kedua hal tersebut yang harus diimani, melainkan itu merupakan ungkapan umum dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang merujuk pada keseluruhan iman yang benar, termasuk semua rukun iman. (halaman 216).
Menyebutkan semua objek keimanan satu per satu akan sangat panjang, sehingga dalam percakapan sehari-hari, Rasulullah SAW sering hanya menyebut keimanan kepada Allah dan hari Akhir. Misalnya, dalam hadits beliau bersabda, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya," dan "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam."
Ada pendapat dari beberapa kalangan yang berfokus pada toleransi antar umat beragama, yang menganggap bahwa ayat ini bisa dijadikan dasar bahwa selama seseorang beriman kepada Tuhan dan hari Akhir, maka mereka akan selamat di akhirat, tanpa merasa takut atau bersedih.
Namun, pandangan ini hampir menyamakan semua agama, padahal secara prinsip ajaran akidah dan ibadah agama-agama itu berbeda. Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dianggap sama, sedangkan mereka sendiri saling mempersalahkan?
Walaupun surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah, itu tidak berarti semua penganut agama sama di hadapan Allah. Hidup rukun dan damai antar umat beragama memang penting dan diajarkan dalam agama, tetapi hal itu tidak boleh dicapai dengan mengorbankan prinsip ajaran agama.
Sebaliknya, kita harus hidup damai dan menyerahkan kepada Allah untuk memutuskan di hari Kiamat nanti, agama mana yang benar dan siapa yang layak mendapatkan surga atau sebaliknya, merasakan ketakutan dan kesedihan di akhirat
Tafsir Surat al-Hujarat ayat 13
Syekh Syamsuddin al-Qurthubi dalam kitab al-Jami' li Ahkami al-Qur'an menjelaskan bahwa Surat Al-Hujurat ayat 13 menegaskan asal usul manusia yang berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Adam dan Hawa.
Dalam pandangan Islam, kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh keturunan, melainkan oleh ketakwaannya kepada Allah SWT. Semakin tinggi ketakwaan seseorang, semakin tinggi pula kedudukannya di mata Allah. Ayat ini mengajarkan pentingnya kerendahan hati dan menghindari kesombongan.
Asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat ini berkaitan dengan peristiwa penaklukan kota Makkah. Ketika itu, Nabi Muhammad SAW memerintahkan Bilal bin Rabah untuk mengumandangkan azan dari atas Ka'bah, yang kemudian menimbulkan reaksi dari para tokoh Quraisy. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa peristiwa ini menyebabkan beberapa tokoh Quraisy merasa tersinggung dan menunjukkan sikap sombong serta merendahkan Bilal.
Salah satu tokoh Quraisy, Atab bin Usaid bin Abi Said, mengungkapkan kekecewaannya dengan menyatakan bahwa ayahnya tidak bisa menyaksikan peristiwa ini. Al-Haris bin Hisyam bahkan menyebut Bilal sebagai "gagak hitam," mengindikasikan penghinaan terhadap Bilal yang berasal dari golongan budak dan berkulit hitam.
Sebaliknya, Suhail bin Amir menerima kenyataan bahwa kemenangan Islam adalah kehendak Allah SWT, sementara Abu Sufyan memilih diam karena khawatir akan murka Allah.
Setelah mengetahui apa yang terjadi, Malaikat Jibril datang kepada Nabi Muhammad SAW dan menyampaikan ucapan para tokoh Quraisy tersebut. Nabi Muhammad kemudian memanggil mereka dan meminta konfirmasi atas perkataan mereka. Akhirnya, mereka mengakui kesombongan dan penghinaan yang mereka lontarkan.
Atas peristiwa ini, Allah SWT menurunkan ayat Al-Quran untuk menegur kaum Quraisy yang sombong karena keturunan mereka dan merendahkan kaum Muslimin yang miskin.
Ayat ini mengingatkan bahwa ukuran kemuliaan seseorang tidak terletak pada keturunan, kekayaan, atau status sosial, tetapi pada ketakwaan. Semua manusia berasal dari Adam dan Hawa, dan yang paling mulia adalah yang paling bertakwa.
فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى هَذِهِ الْآيَةَ. زَجَرَهُمْ عَنِ التَّفَاخُرِ بِالْأَنْسَابِ، وَالتَّكَاثُرِ بِالْأَمْوَالِ، وَالِازْدِرَاءِ بِالْفُقَرَاءِ، فَإِنَّ الْمَدَارَ عَلَى التَّقْوَى. أَيِ الْجَمِيعُ مِنْ آدَمَ وَحَوَّاءَ، إِنَّمَا الْفَضْلُ بِالتَّقْوَى
Artinya; "Maka Allah SWT menurunkan ayat ini. Dia melarang mereka untuk sombong atau membangga-banggakan garis keturunan, bermegah-megahan dengan harta, dan menghina orang miskin. Karena tolok ukurnya adalah ketakwaan. Semua manusia berasal dari Adam dan Hawa, dan yang lebih mulia adalah yang lebih bertakwa." (Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami' li Ahkami al-Qur'an, [Kairo: Darul Kutub Misriyah, 1964 ], jilid XVI, halaman 341].
Pada sisi lain, dalam kitab Tafsir Al-Munir, Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa Surah Al-Hujurat ayat 13 mengajak manusia untuk saling menghormati dan menjalin persaudaraan. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa semua manusia diciptakan sama dan bersaudara. Persaudaraan ini harus didasari oleh ketakwaan kepada Allah SWT, bukan oleh kesombongan terkait nasab atau asal usul.
Ayat ini juga mengingatkan bahwa seluruh manusia berasal dari satu asal, yaitu Adam dan Hawa. Kesamaan asal ini menjadi landasan bagi persaudaraan dan kesetaraan antar manusia.
Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk merasa lebih unggul karena nasab atau merendahkan orang lain. Keberagaman suku dan bangsa diciptakan oleh Allah SWT sebagai sarana untuk saling mengenal dan menjalin hubungan, bukan untuk saling bermusuhan.
Keutamaan seseorang di mata Allah SWT tidak diukur berdasarkan nasab atau asal usul, melainkan berdasarkan ketakwaannya. Kesadaran ini penting untuk membangun rasa rendah hati dan saling menghormati antar sesama manusia.
Allah SWT mengetahui segala sesuatu tentang manusia, termasuk keadaan batin dan segala urusan mereka. Oleh karena itu, manusia hendaknya saling menghormati dan tidak saling menghina, karena hanya Allah SWT yang berhak menentukan siapa yang lebih utama.
والمعنى: أيها البشر، إنا خلقناكم جميعا من أصل واحد، من نفس واحدة، من آدم وحواء، فأنتم متساوون، لأن نسبكم واحد، ويجمعكم أب واحد وأم واحدة، فلا موضع للتفاخر بالأنساب، فالكل سواء، ولا يصح أن يسخر بعضكم من بعض، ويلمز بعضكم بعضا، وأنتم إخوة في النسب.
Artinya, "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian semua dari satu asal, dari satu jiwa, yaitu Adam dan Hawa. Maka kalian semua adalah setara, karena keturunan kalian sama, dan kalian dihimpun oleh satu ayah dan satu ibu.
Oleh karena itu, tidak ada tempat untuk membanggakan keturunan, karena semuanya sama, dan tidaklah pantas sebagian dari kalian merendahkan sebagian yang lain, atau mencela sebagian yang lain, karena kalian adalah saudara dalam keturunan." (Tafsirur Munir, [Beirut: Darul ikr u'ashir, 1991 M], jilid XXVI, halaman 259]
Dengan demikian, kedua ayat ini secara singkat mengajak manusia untuk saling menghormati, menjalin persaudaraan, dan membangun masyarakat yang harmonis. Kesadaran bahwa semua manusia diciptakan sama dan bersaudara menjadi fondasi penting untuk mencapai hal tersebut. Wallahu a'lam
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, tinggal di Parung
Terpopuler
1
Fadli Zon Didesak Minta Maaf Karena Sebut Peristiwa Pemerkosaan Massal Mei 1998 Hanya Rumor
2
Mendesak! Orientasi Akhlak Jalan Raya di Pesantren
3
40 Hari Wafat Gus Alam, KH Said Aqil Siroj: Pesantren Harus Tetap Hidup!
4
LD PBNU Ungkap Fungsi Masjid dalam Membina Umat yang Ramah Lingkungan
5
Mendaki Puncak Jabal Nur, Napak Tilas Kanjeng Nabi di Gua Hira
6
Orang-Orang yang Terhormat, Novel Sastrawan NU yang Dianggap Berbahaya Rezim Soeharto
Terkini
Lihat Semua